Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah tak sanggup lagi menahan harga BBM.
Ada ongkos yang mahal untuk mengendalikan inflasi.
Kenaikan suku bunga berulang kali akan mengerem pertumbuhan ekonomi.
PRESIDEN Joko Widodo akhirnya menyerah juga. Pemerintah tak sanggup lagi menambah subsidi bahan bakar minyak. Subsidi melonjak karena harga minyak dunia terus bertahan tinggi. Selain itu, tingkat konsumsi BBM di dalam negeri naik amat pesat setelah pandemi mereda. Anggaran negara sudah terkuras terlalu dalam karenanya. Jika tetap berkeras menahan harga BBM, pemerintah bisa terancam kehabisan uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, harga beberapa jenis BBM yang mendapat subsidi dan kompensasi naik mulai Sabtu, 3 September lalu. Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10 ribu per liter, sementara harga solar naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Jokowi, ini keputusan pahit. Sebelumnya, dalam beberapa kesempatan, Presiden sempat membanggakan kebijakan ekonominya. Salah satunya guyuran subsidi yang seolah-olah tanpa batas mampu membuat harga BBM di Indonesia jauh lebih murah ketimbang harga di negara-negara lain. Ketika hampir semua negara di dunia mulai tercekik inflasi tinggi, Indonesia justru menikmati rekor inflasi terendah sepanjang sejarah. Kenyataannya, segala kenikmatan yang muncul lantaran guyuran subsidi itu harus berakhir. Ada batas kemampuan keuangan pemerintah yang tak mungkin terlampaui.
Kini baik korporasi maupun investor harus mengkaji ulang berbagai asumsi yang menjadi dasar keputusan bisnis ataupun realokasi investasi. Yang paling mendasar tentu asumsi inflasi. Perkiraan analis di pasar, kenaikan harga BBM bisa mendorong inflasi tahunan di Indonesia naik menjadi 7 persen pada akhir 2022. Sebagai catatan, inflasi tahunan per akhir Agustus 2022—sebelum ada kenaikan harga BBM—masih 4,69 persen.
Bagaimana perkiraan untuk 2023? Pemerintah masih terlihat optimistis mampu mengendalikan inflasi. Dalam asumsi makro yang menjadi dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023, pemerintah berani mematok target inflasi cukup rendah, 3,3 persen saja. Pertanyaannya, mungkinkah asumsi ini tercapai?
Di sinilah investor perlu mencermati bagaimana respons kebijakan bank sentral dalam mengendalikan inflasi. Jika mengikuti pakem ekonomi yang lazim, kebijakan paling efektif untuk mengatasi inflasi adalah kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga. Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga rujukannya bulan lalu, menjadi 3,75 persen. Jika di bulan-bulan berikutnya BI benar-benar konsisten berupaya menjaga inflasi dengan menaikkan bunga, ada kemungkinan inflasi benar-benar terkendali, target pemerintah tahun depan pun tercapai.
Persoalannya, kenaikan bunga berulang kali dalam besaran yang cukup tinggi tentu akan mengerem pertumbuhan ekonomi. Biaya modal menjadi lebih mahal. Perusahaan membutuhkan dana lebih besar untuk berekspansi. Daya beli masyarakat juga menurun. Bunga mahal membuat kemampuan konsumen untuk berutang ikut menurun. Ini semua kombinasi ampuh yang ujung-ujungnya akan muncul dalam bentuk perlambatan ekonomi.
Sepertinya begitulah arah pergerakan ekonomi Indonesia hingga tahun depan. Inflasi merambat naik. Suku bunga turut menanjak. Sedangkan pertumbuhan ekonomi akan melambat. Ekonomi Indonesia yang pada akhir kuartal II 2022 masih tumbuh pesat sebesar 5,44 persen akan memasuki era perlambatan.
Kendati pahit, Presiden Jokowi sebaiknya menerima situasi ini dengan tidak memaksakan kebijakan terus menggenjot pertumbuhan. Ada pesan penting dari Ketua The Federal Reserve Jerome Powell yang patut menjadi pertimbangan. Tahun lalu, Powell keliru mengantisipasi pergerakan inflasi di Amerika Serikat. Demi mendorong pertumbuhan ekonomi, ia tetap menahan suku bunga ketika ada gelagat inflasi merayap naik. Akibatnya, tahun ini The Fed harus lintang pukang menaikkan bunga dengan agresif karena inflasi tahunan di Amerika melompat tak terkendali, mencapai 9,1 persen akhir Juni lalu.
Belajar dari kekeliruan itu, Powell membagikan pengalamannya dalam pertemuan tahunan bank-bank sentral dari seluruh dunia yang berlangsung di Jackson Hole, Wyoming, Amerika Serikat, Agustus lalu. Beginilah inti sarinya: “Mengurangi inflasi memerlukan pertumbuhan lebih lambat dalam periode yang cukup lama. Bisnis, rumah tangga, akan menderita. Inilah ongkos yang mahal untuk melawan inflasi. Namun, jika kita gagal mengembalikan stabilitas harga, penderitaan yang kita alami akan jauh lebih berat….”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo