Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menerka Nasib Industri Sawit

Produksi CPO petani sawit tahun ini diperkirakan turun 10 persen menjadi 11,7 juta ton. Bagaimana nasib industri tahun ini?

20 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja mengangkut tandan buah kelapa sawit ke dalam truk di kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara, 17 Februari 2024. ANTARA/Yudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia memprediksi tahun ini menjadi puncak penurunan produksi minyak kelapa sawit mentah atau CPO dari petani sawit.

  • PT Asta Agro Lestari (AALI) menyebutkan produksi TBS perseroan tumbuh 4,8 persen pada 2023 dibandingkan 2022.

  • Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia memproyeksikan tahun ini ekspor turun 11,95 persen, menjadi 29 juta ton.

JAKARTA — Meski harga tandan buah segar (TBS) sawit di pasar stagnan, para petani masih menggantungkan nasib pada komoditas ini. Seperti di Kalimantan Barat, tak sedikit petani yang mengandalkan sawit, bahkan membuka lahan baru. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat Kalimantan Barat, Marjitan, menuturkan harga TBS sawit tak bergerak dari Rp 2.300-2.600 per kilogram pada tahun lalu.

“Minimal tidak turun, bertahan di situ harganya,” ujar Marjitan kepada Tempo, kemarin, 19 Februari 2024. Dia tidak berharap harga TBS naik tinggi seperti sepuluh tahun lalu karena masih dapat mengantongi margin. Marjitan tak mengerti penyebab harga TBS sawit masih rendah di pasaran. Padahal permintaan relatif stabil.

Tantangan petani saat menanam bibit sawit hingga panen terbilang tak mudah. Faktor cuaca tak menentu menjadi masalah bagi petani saat berada di kebun. “Sesekali hujan, siang dan malam. Ini berpengaruh ke sistem perawatan,” kata Marjitan. Tingginya harga pupuk juga ikut menyulitkan petani sawit. Marjitan berharap adanya bantuan pupuk harga terjangkau dari pemerintah.  

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat M.E. Manurung memprediksi tahun ini menjadi puncak penurunan produksi minyak sawit mentah atau CPO dari petani sawit. Dia memperkirakan produksi CPO petani sawit turun 10 persen dari 13 juta ton menjadi 11,7 juta ton. Pelemahan produksi disebabkan oleh rendahnya penggunaan pupuk, faktor cuaca, dan melemahnya harga TBS. “Petani mengurangi pupuk dari 2,5 kilogram per batang menjadi 1 kilo.”

Sawit dalam Angka

Petani Kurangi Porsi Pupuk

Efisiensi pemberian pupuk disebabkan oleh harga pokok produksi (HPP) TBS, yakni Rp 2.150 per kilogram, lebih rendah dari rata-rata harga jual TBS 2023, Rp 1.900 per kilogram. Gulat menuturkan biaya pupuk menelan 40-60 persen dari total ongkos produksi. Pengurangan porsi pupuk yang dimulai sejak dua tahun lalu baru berdampak pada produksi CPO pada 2024. 

Gulat menuturkan produktivitas kebun rakyat masih rendah. Pasalnya, luas kebun rakyat mencapai 42 persen dari total lahan sawit nasional, tapi hanya menyumbang 28 persen CPO dari total produksi nasional. Penurunan produksi CPO dari kebun rakyat akan menekan produksi CPO secara keseluruhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun PT Asta Agro Lestari (AALI) menyebutkan produksi TBS perseroan tumbuh 4,8 persen pada 2023 dibanding pada 2022. Secara keseluruhan, produksi TBS kebun inti perseroan 2023 sebesar 3,31 juta ton atau naik 4,8 persen dari periode sebelumnya, 3,15 juta ton. Untuk tahun ini, AALI menargetkan produksi TBS tumbuh 5 persen dengan mengoptimalkan proses operasional dan ketuntasan panen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain itu, produksi TBS kebun inti dioptimalkan oleh peremajaan atau replanting tanaman sawit, pengembangan bibit unggul, serta penggunaan pupuk hasil riset AALI. Direktur Utama AALI, Santosa, menargetkan replanting tahunan seluas 5.000-6.000 hektare. Prioritas program replanting menyasar tanaman yang memiliki produktivitas di bawah rata-rata. Biaya replanting dan ongkos perawatan tanaman yang belum menghasilkan akan menggunakan  alokasi belanja modal 2024 sebesar Rp 1,5 triliun.

Menurut Santosa, pengembangan varietas bibit telah menghasilkan tanaman yang memiliki potensi kandungan minyak sawit 20 persen dari bibit yang lain. "Kita sudah tahun ke-14 melakukan riset dan rilis varietas kita sendiri," katanya. Santoso juga menggunakan pupuk organik untuk tanaman sawit. Seperti pupuk Astemic yang 100 persen berbahan organik yang diambil dari lahan sawit serta endofit dari tanaman sawit. 

Penggunaan pupuk Astemic, menurut Santosa, menjadi alternatif dari pupuk kimia NPK yang harganya berfluktuasi dan stoknya terbatas. Dia mengklaim Astemic dapat mengurangi pemakaian 25 persen pupuk NPK. Astra Agro menggunakan Astemic di lahan sawit sendiri dan mitra seluas 50 ribu hektare pada tahun ini. "Harapannya dalam jangka panjang dengan hektare yang tetap, produksi kami akan naik," katanya. 

Badan Pusat Statistik mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2024 sebesar US$ 2,02 miliar atau menyusut dibanding surplus Desember 2023 sebesar US$ 3,29 miliar. Surplus neraca perdagangan Januari 2024 masih ditopang oleh sektor nonmigas. 

Neraca perdagangan nonmigas pada Januari 2024 mencatat surplus sebesar US$ 3,32 miliar, seiring dengan tetap kuatnya ekspor nonmigas yang mencapai US$ 19,13 miliar. Kinerja ekspor nonmigas tersebut disumbang oleh ekspor komoditas lemak dan minyak hewan/nabati seperti CPO, besi dan baja, serta alas kaki. 

Pekerja memanen tandan buah sawit ke dalam truk di kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara, 17 Februari 2024. ANTARA/Yudi

Ekspor CPO Menyusut

Pada 2023, total ekspor CPO sebesar 32,93 juta ton atau tumbuh tipis 1,69 persen dari 32,2 juta ton pada 2022. Untuk tahun ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan ekspor turun 11,95 persen menjadi 29 juta ton. Penurunan ekspor ini disebabkan oleh kenaikan konsumsi domestik menjadi 25,4 juta ton, atau naik 9 persen. Konsumsi domestik CPO meningkat untuk memenuhi kebutuhan biodiesel, oleochemical, dan makanan. 

Penurunan ekspor dan berakhirnya era pesta komoditas tak membuat Santosa pesimistis terhadap industri sawit pada masa mendatang. Dia yakin permintaan CPO tumbuh seiring dengan kenaikan populasi global. Tantangan industri sawit nasional, kata dia, lebih berasal dari potensi meningkatnya pasokan minyak nabati lain, seperti soybean dan bunga matahari.

Produk CPO Indonesia saat ini menguasai 53 persen pasar ekspor global. Perwakilan Bidang Komunikasi Gapki, Fenny Sofyan, mengatakan turunnya ekspor Indonesia akan menekan harga CPO global. Penurunan ekspor disumbang dari program biodiesel B35 yang akan diterapkan penuh pada tahun ini. Karena itu, Gapki memprediksi harga CPO sepanjang tahun ini naik. “Kalau program biodiesel menjadi B40, porsi ekspor menjadi lebih sedikit lagi.”

Dia menuturkan permintaan CPO 2024 secara global akan kembali normal setelah melemah pada 2023. Pelemahan permintaan global pada tahun lalu terjadi lantaran negara net importir, seperti India, menyimpan stok lebih banyak yang didapat dari Ukraina. Sedangkan untuk tahun ini, stok India dan Cina menipis yang membuat harga CPO kembali naik. 

Kementerian Perdagangan mencatat harga referensi (HR) CPO untuk penetapan bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) periode 1-29 Februari 2024 sebesar US$ 806,40 per metrik ton, naik 4,06 persen dibanding sebelumnya.

Sumber harga penetapan harga referensi CPO diperoleh dari rata-rata harga selama periode 25 Desember 2023 hingga 9 Januari 2024 pada bursa CPO di Indonesia US$ 790,84 per metrik ton, bursa CPO Malaysia US$ 821,97 per metrik ton, dan pasar lelang CPO Rotterdam sebesar US$ 806,40 per metrik ton.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso menyebutkan penyebab peningkatan harga referensi CPO adalah peningkatan permintaan minyak sawit yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi, terutama dari Indonesia dan Malaysia, serta peningkatan harga minyak mentah dunia.

Sementara itu, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyoroti godaan ekspor bagi industri sawit cukup besar. Sebab, menguasai pasar global adalah posisi strategis produsen CPO dalam menjamin pemasaran dalam jangka panjang. Selain itu, pasar ekspor CPO memberi potensi keuntungan lebih tinggi. Pasalnya, penjualan ke pasar domestik membutuhkan ongkos lebih tinggi, seperti biaya logistik dan kebijakan harga minyak goreng yang tak pasti. 

ALI AKHMAD NOOR HIDAYAT | ASEANTY PAHLEVI | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus