Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Saratoga berusaha mengurangi ketergantungan pada perusahaan-perusahaan portofolio natural resources industry.
Fokus Saratoga tahun ini adalah menambah portofolio di sektor kesehatan dan energi baru terbarukan.
Pendapatan dari investasi di sektor energi terbarukan diperkirakan butuh waktu panjang.
JAKARTA – PT Saratoga Investama Sedaya Tbk berencana mengurangi dominasi tiga saham blue chip terhadap pendapatan perusahaan. Emiten berkode SRTG ini mencari peluang investasi di sektor lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami berusaha menciptakan pilar baru supaya ketergantungan kami pada perusahaan-perusahaan portofolio natural resources industry ini dapat berkurang," ujar Investor Relation SRTG, Ryan Sual, di Jakarta, kemarin, 15 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 85 persen portofolio Saratoga saat ini didominasi saham blue chip PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG). Besarnya kontribusi ketiga perusahaan ini salah satunya tecermin dari pendapatan dividen. Adaro, misalnya, menyumbang dividen sebesar Rp 1,90 triliun pada 2022, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,09 triliun.
Namun dominasi ini membawa sejumlah risiko. Tahun lalu, Saratoga mencatat penurunan laba bersih sebesar 81,34 persen menjadi Rp 4,62 triliun. Salah satu penyebabnya adalah volatilitas di pasar saham.
Selain pada ketiga perusahaan tersebut, Saratoga sudah menanamkan investasi di sejumlah industri, dari gas, otomotif, media, hingga teknologi digital. Menurut Direktur Investasi Saratoga, Devin Wirawan, fokus perusahaan tahun ini adalah menambah portofolio di sektor kesehatan dan energi baru terbarukan. "Bukan berarti kami akan menjual (saham blue chip), melainkan kami akan menambah investasi baru di sektor lain," kata dia.
Petugas saat melakukan memeriksa unit solar cell di Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, J9 September 2022. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W
Investasi Energi Terbarukan yang Dilirik Saratoga
Investasi di sektor energi terbarukan yang dilirik Saratoga antara lain pembangkit listrik. Saat ini perusahaan sudah memiliki PT Xurya Daya Indonesia yang berfokus pada penyediaan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap. Ke depan, Devin mengatakan ada peluang untuk menanamkan modal pada pembangkit listrik dari energi terbarukan lainnya, seperti panas bumi. Selain pada pembangkit, Saratoga berinvestasi pada Forest Carbon, pengembang proyek restorasi di Asia Tenggara.
Sektor lain yang menjadi sasaran Saratoga adalah kesehatan. "Saya pikir rumah sakit merupakan salah satu fokus kami karena sebelumnya kami sudah berhasil dengan Primaya," tuturnya.
SRTG pernah memiliki 425,44 juta lembar saham PT Famon Awal Bros Sedaya Tbk atau PRAY. Namun, pada Maret lalu, perusahaan memutuskan melepas seluruh kepemilikannya karena menilai sudah berhasil mengembangkan bisnis fasilitas kesehatan tersebut. Indikatornya, antara lain, bertambahnya cabang dari empat menjadi 16 rumah sakit.
Devin mengatakan perusahaan juga baru menggelontorkan dana untuk klinik spesialis ZAP. Selain itu, layanan telemedicine menjadi perhatian Saratoga. "Kami sempat melihat, tapi belum ada yang cocok saat ini," tuturnya.
Saratoga menganggarkan modal sebesar US$ 100-150 juta tahun ini untuk mengembangkan portofolio mereka, baik terhadap investasi yang sudah ada maupun ekspansi. Devin tak bersedia membocorkan anggaran untuk setiap sektor. Namun perusahaan menargetkan return investasi mencapai 20 persen dari entitas mereka.
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani, mengatakan investasi pada energi hijau sedang menjadi tren dalam tataran global, termasuk di Indonesia. Wacana beragam negara untuk memperlambat perubahan iklim makin gencar terdengar. "Tentu ini bidang yang menarik para investor karena ini industri yang booming," ujarnya.
Namun Arjun menuturkan pendapatan dari investasi di sektor energi terbarukan masih butuh waktu panjang untuk bisa menandingi sektor lain. Sebab, mayoritas pemanfaatan energi di dunia masih berasal dari energi fosil. Di sisi lain, biaya pengadaan energi nonfosil masih belum bisa semurah energi fosil. "Jadi, masih ada banyak tantangan untuk berkembang energi hijau ini, terutama di pasar berkembang seperti Indonesia."
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo