Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANDAR UDARA Kualanamu di Deli Serdang, Sumatera Utara, tengah berbenah. PT Angkasa Pura II (Persero), pengelola fasilitas penerbangan internasional itu, sedang mencari mitra strategis untuk memperluas terminal penumpang. Kapasitas terminal akan dilipatgandakan dari saat ini bisa menampung 8 juta orang menjadi dua kali lipatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan serupa terjadi di PT Cinere Serpong Jaya—anak usaha Jasa Marga Infrastruktur. Perusahaan ini menguasai proyek strategis pembangunan dua jalan tol milik PT Jasa Marga (Persero) Tbk, yakni ruas Serpong-Cinere (10,14 kilometer) dan Cengkareng-Kunciran (14,19 kilometer). “Keduanya direncanakan beroperasi fungsional pada Desember 2020,” kata Ayu Widya Kiswari, Direktur Utama PT Cinere Serpong Jaya, pada awal Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beres-beres Angkasa Pura II dan Cinere Serpong Jaya adalah bagian dari skema besar pengalihan sebagian aset badan usaha milik negara. Penerimanya adalah sovereign wealth fund bernama lembaga pengelola investasi (LPI). Pengalihan aset BUMN adalah salah satu upaya pemerintah menambah modal awal lembaga itu.
“Salah satu sumber investasi atau aset LPI memang berasal dari aset negara dan aset BUMN,” ujar Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata pada Jumat, 23 Oktober lalu. Pemindahan aset negara kepada LPI dapat dilakukan sebagai penyertaan modal negara (PMN) atau dengan cara jual-beli, hibah, serta tukar-menukar. Begitu pula pengalihan kekayaan BUMN. Total nilai aset yang akan dikelola LPI sebesar Rp 75 triliun. “Tentu bertahap prosesnya,” ucap Isa. Pada periode awal, pemerintah akan mengucurkan dana tunai senilai Rp 15 triliun.
Pada periode berikutnya, aset-aset negara dan BUMN mulai dipindahkan ke LPI. Saat ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mencatat nilai barang milik negara setelah direvaluasi pada 2019 sebesar Rp 10.467 triliun. Adapun aset BUMN pada 2018 bernilai Rp 8.092 triliun.
Selain memindahkan aset tak bergerak, Kementerian Keuangan diminta Dewan Perwakilan Rakyat membuka kemungkinan mengalihkan aset berupa saham dan surat berharga ke LPI. Saham pemerintah di BUMN yang sudah go public, seperti di Bank Mandiri, bisa dipindahtangankan ke LPI. “Ada 9 persen (saham BMRI) milik pemerintah yang bisa di-inbreng-kan ke LPI. Yang penting negara masih pegang 51 persen,” tutur Andreas Susetyo, anggota Panitia Kerja Omnibus Law Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Petugas memeriksa calon penumpang pesawat di area pemeriksaan di Terminal keberangkatan Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Juni 2016./ TEMPO/Rully Kesuma
Dengan modal awal Rp 75 triliun itu, Andreas berharap LPI bisa menggandeng mitra sesama sovereign wealth fund global. Lima besar sovereign wealth fund sedunia pada 2019 adalah Norway Government Pension Fund Global, China Investment Corporation, Abu Dhabi Investment Authority (Uni Emirat Arab), Kuwait Investment Authority, dan Hong Kong Monetary Authority Investment Portfolio. Di bawah mereka ada GIC Private Limited (Singapura), National Council for Social Security Fund (Cina), SAFE Investment Company (Cina), Temasek Holdings (Singapura), serta Qatar Investment Authority. “Seharusnya LPI bisa menarik dana mereka hingga US$ 30 miliar,” katanya.
Antusiasme Andreas direspons pemerintah dengan ekstrahati-hati. Isa Rachmatarwata menolak memastikan opsi inbreng saham BUMN bakal digunakan untuk memenuhi target penyediaan modal awal sebesar Rp 75 triliun di LPI. Menurut Isa, pemerintah saat ini masih mengkaji saham perusahaan pelat merah mana yang akan dialihkan. “Prinsipnya, hal itu dapat dilakukan, tentu dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kondisi BUMN yang bersangkutan, legalitas, serta dampak terhadap industri dan perekonomian,” ujar Isa.
Setelah aset BUMN berpindah ke LPI, bukan berarti badan usaha itu akan kehilangan aset selamanya. Anggota tim perumus konsep LPI dari Kementerian BUMN, Adityo Kusumo, memberikan ilustrasi sederhana untuk memudahkan pemahaman publik: “Pada tahun pertama, LPI bisa berinvestasi dengan membeli kepemilikan minoritas di berbagai proyek pemerintah,” ucapnya.
Pada tahun kedua, dia melanjutkan, LPI akan menempatkan perwakilan di manajemen proyek untuk memperbaiki skema operasional dan finansial. Ujungnya tentu mendongkrak valuasi perusahaan itu. Terakhir, pada tahun ketiga, LPI menjual kembali aset itu kepada badan usaha milik negara atau mitra strategis lain. “Dengan demikian, aset BUMN tidak hilang, bahkan valuasinya malah naik,” ujar Adityo.
Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi mendukung skema yang dirancang Kementerian BUMN. Menurut dia, aset yang tidak berkembang memang perlu dioptimalkan agar menjadi tambahan sumber pendapatan. “Bandara Kualanamu itu memang idle sehingga perlu dioptimalkan,” katanya.
Dengan deretan aset negara dan BUMN yang akan dialihkan, target LPI mengumpulkan modal awal Rp 75 triliun tampaknya tak bakal sulit dicapai. Yang menjadi ganjalan hanya status sui generis lembaga ini. Dengan status itu, laporan keuangan lembaga ini tak bakal bisa diakses publik, apalagi diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Hanya kantor akuntan publik swasta yang bisa menggantikan peran BPK.
Salah satu anggota tim perumus, Robertus Bilitea, membela desain LPI sebagai sui generis. “Semua lembaga sovereign wealth fund di luar negeri juga diaudit oleh kantor akuntan publik independen,” ucapnya.
Kelebihan lain model itu, Robertus menambahkan, adalah menjauhkan LPI dari kepailitan. “Memang masih bisa dipailitkan, tapi harus dibuktikan bahwa perusahaan itu memang dalam keadaan insolven. Jadi harus ada uji insolvensi,” tutur Robertus dalam rapat bersama Badan Legislasi DPR. Kepastian bebas pailit itu juga dinilai bisa menjauhkan kekhawatiran di benak para investor mengenai masa depan dana yang mereka tanam di negeri ini.
Yang menarik, ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, menilai rencana pembentukan LPI ini merupakan strategi yang keliru. “Untuk menarik investasi, yang diperlukan bukan lembaga baru, tapi reformasi fundamental ekonomi,” katanya. Dia menunjuk penurunan incremental capital output ratio sebagai indikator yang lebih akurat untuk efisiensi investasi, biaya logistik, serta pemberantasan korupsi yang lebih baik.
Bhima juga menyoroti inkonsistensi dalam sasaran besar LPI. Di satu pasal, misalnya, disebutkan bahwa aset LPI dapat digunakan untuk jaminan pinjaman. Ketentuan itu mengarah pada model investasi portfolio. “Itu tipe investasi yang easy in and easy go,” ujarnya. Investasi portofolio semacam itu juga berisiko bagi stabilitas perekonomian. Padahal, di sisi lain, pemerintah selalu menegaskan bahwa tujuan Undang-Undang Cipta Kerja adalah mendorong investasi langsung untuk penciptaan lapangan pekerjaan baru. “Ini tidak sinkron,” ucap Bhima.
Selain itu, dia menilai keberadaan LPI justru membuka lebar celah korupsi. Masalahnya, salah satu pasal di Undang-Undang Cipta Kerja menegaskan bahwa kerugian lembaga pengelola investasi bukanlah kerugian negara. “Ini aneh, karena lembaga ini membawa aset pemerintah, tapi ketika rugi dianggap bukan kerugian negara,” kata Bhima.
RETNO SULISTYOWAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo