Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak negara mendirikan lembaga pengelola investasi untuk mengembangkan kekayaan atau menarik investasi asing.
Indonesia memilih model lembaga pengelola investasi pemerintah Rusia dan India.
Pengelolaan yang sembarangan dan korupsi dapat berujung pada malapetaka, seperti skandal 1MDB di Malaysia.
RUSIA membuka jalan baru melawan pandemi Covid-19 setelah menyetujui penggunaan Sputnik V, vaksin yang dikembangkan Lembaga Riset Gamaleya dan Kementerian Pertahanan Rusia, pada Agustus lalu. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Rusia langsung melebarkan usaha untuk memasok produk itu ke sejumlah negara. Russian Direct Investment Fund (RDIF), lembaga pengelola dana investasi negara itu, menjadi motor untuk mendapatkan berbagai order guna menyebarkan vaksin tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan Rusia mengklaim Sputnik V telah lulus uji medis dan siap diedarkan. Namun para peneliti Rusia dan negara lain mempertanyakan soal transparansi pengembangan vaksin ini. Bahkan vaksin ini belum melewati fase ketiga uji klinis, yang merupakan pengujian secara luas dengan melibatkan ribuan partisipan sebelum bisa digunakan oleh masyarakat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan masih menunggu hasil uji klinisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama RDIF Kirill Dmitriev mengungkapkan, suplai awal Sputnik V bakal dikirim ke Argentina dan Peru setelah perjanjian kerja samanya diselesaikan. RDIF juga sudah menerima pesanan untuk mengirim vaksin itu ke Venezuela, Meksiko, dan Brasil. Pengiriman vaksin ke kawasan Amerika Selatan diperkirakan bisa dikerjakan pada akhir tahun ini. “Kami yakin bisa memulai pengiriman suplai mulai awal Desember,” kata Dmitriev seperti dilaporkan kantor berita Rusia, TASS, pada Selasa, 20 Oktober lalu.
Produksi dan distribusi vaksin Sputnik V ini menambah lini bisnis RDIF di bidang kesehatan. Selama ini, RDIF berkonsentrasi pada investasi di sektor infrastruktur, seperti pembangunan jalan, rel kereta, dan bandar udara; perdagangan; pengembangan kawasan dan energi; serta pengembangan teknologi. Lembaga itu telah menangani lebih dari 80 proyek, yang 95 persen di antaranya berada di Rusia.
Dibentuk pada 2011 di era kepemimpinan Presiden Dmitry Medvedev, RDIF menjadi perusahaan milik negara untuk menarik investasi asing ke Negeri Beruang Merah. Laporan RDIF menyebutkan modal awalnya sebesar 180 miliar rubel dan mereka berhasil mendapatkan investasi lebih dari 1,7 triliun rubel atau sekitar Rp 324 triliun dari mitra serta bank untuk proyek mereka. RDIF juga telah menarik investasi asing lebih dari US$ 40 miliar atau sekitar Rp 585 triliun lewat kerja sama dengan sejumlah negara, seperti Cina, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Prancis, dan Jepang.
Pada tahun pertamanya, RDIF langsung mendapatkan saham Moscow Exchange—bursa saham terbesar Rusia—dan perusahaan energi Enel Russia yang berbasis di Moskow. Lima tahun kemudian, Presiden Vladimir Putin mengubah status RDIF menjadi lembaga pengelola investasi untuk Federasi Rusia. Kini, RDIF menyalurkan lebih dari 60 persen investasinya di sektor teknologi.
Pertemuan pemimpin Rusia, Vladimir Putin, dan Direktur Utama RDIF Kirill Dmitriev. rdif.ru
Pada September lalu, RDIF bermitra dengan perusahaan Uni Emirat Arab, Mubadala, mengembangkan perusahaan startup NtechLab yang membuat teknologi pengenalan wajah. RDIF menggelontorkan investasi US$ 13 juta untuk NtechLab, yang sebagian sahamnya dimiliki Impulse VC, perusahaan investasi yang didirikan miliarder Rusia, Roman Abramovich. Mubadala juga menyalurkan sekitar US$ 5 miliar sebagai investasi dalam proyek infrastruktur di Rusia.
Sejumlah negara menggunakan lembaga pengelola investasi seperti RDIF untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah India membentuk National Investment dan Infrastructure Fund lima tahun lalu guna menggenjot perekonomian melalui pendanaan untuk proyek infrastruktur. Nilai aset lembaga yang berada di bawah pengawasan Kementerian Keuangan itu hampir US$ 4 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun.
Ada juga negara yang mendirikan lembaga pengelola investasi untuk mengembangkan kekayaan mereka. Uni Emirat Arab, misalnya, mendirikan Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) pada 1976 untuk mengelola keuntungan penjualan minyak bumi. Lembaga ini juga mengelola cadangan minyak yang nilainya diperkirakan mencapai US$ 875 miliar. Laporan Sovereign Wealth Fund Institute, lembaga peneliti pengelola investasi, menyebutkan nilai aset ADIA mencapai US$ 579 miliar pada tahun ini.
Khazanah Nasional, lembaga pengelola investasi pemerintah Malaysia, beroperasi menggunakan aset negara. Didirikan 17 tahun lalu, Khazanah saat ini memiliki aset hingga US$ 20 miliar. Seperti RDIF dan ADIA, Khazanah bergabung dalam Forum Internasional Lembaga Pengelola Investasi yang beranggotakan lembaga dari 33 negara.
Pemerintah Indonesia juga berencana membentuk lembaga pengelola investasi untuk menarik investasi asing. Tim Perumus Lembaga Pengelola Investasi Kementerian BUMN menyampaikan usul pembentukan lembaga itu dalam rapat bersama Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat saat membahas rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 21 September lalu.
Setelah mengkaji pengalaman sejumlah negara, tim tersebut memilih model lembaga pengelola investasi Rusia dan India sebagai yang paling sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Lembaga itu nantinya memiliki keleluasaan dalam mengambil keputusan investasi dan kebijakan bisnis. Meski statusnya milik pemerintah, lembaga itu beroperasi secara independen. “(Ia) bisa mengatur diri sendiri, termasuk soal kepegawaian dan standar gaji,” ujar Adityo, anggota tim itu, dalam rapat yang disiarkan secara daring (online).
Lembaga pengelola investasi memang dapat menambah pendapatan dan menggenjot perekonomian sebuah negara. Namun pengelolaan yang sembarangan dan praktik korupsi bisa berujung pada malapetaka, seperti yang dialami 1Malaysia Development Berhad (1MDB), lembaga pengelola investasi Malaysia. Skandal 1MDB bahkan membuat Perdana Menteri Najib Razak lengser dan diadili dalam kasus dugaan korupsi.
Skandal perusahaan pelat merah negeri jiran yang dibentuk pada 2008 itu mencuat setelah tercatat utang sekitar US$ 12,2 miliar. Investasi sebesar US$ 7,5 miliar yang dikucurkan selama 2009-2013 juga dinilai tak jelas hasilnya. Low Taek Jho, pengusaha Malaysia yang dikenal sebagai Jho Low, dituding sebagai otak pembobolan 1MDB.
Kasus ini memicu investigasi di enam negara. Pada 2016, Departemen Kehakiman Amerika Serikat menyita aset-aset yang dibeli dengan dana curian dari 1MDB dan mengembalikan lebih dari US$ 4,5 miliar kepada pemerintah Malaysia pada Juli lalu. Departemen juga menyelidiki Goldman Sachs, bank dan perusahaan investasi Amerika yang mengatur penjualan tiga obligasi senilai Rp 92 triliun untuk 1MDB. Nyaris separuh duit hasil penerbitan obligasi itu raib. Departemen menduga dana tersebut ditilap Jho Low untuk menyuap pejabat Malaysia dan mengongkosi gaya hidup mewahnya.
Pemerintah Malaysia lantas menggugat Goldman. Akhir Juli lalu, Goldman bersedia membayar US$ 3,9 miliar dan Malaysia mencabut gugatan pidananya. Keterlibatan Goldman Sachs dalam skandal 1MDB menjadi yang terburuk dalam sejarah bisnis bank berusia 151 tahun itu. “Kesepakatan ini mewakili aset yang seharusnya menjadi milik warga Malaysia,” tutur Menteri Keuangan Malaysia Tengku Dato Sri Zafrul Aziz seperti dilaporkan BBC.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (TASS, INDIA TIMES, ASSOCIATED PRESS, REUTERS, SWF INSTITUTE)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo