Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Untung di Jalur Tol

Kalau porsi pembagian pendapatan jalan tol Jakarta antara Jasa Marga dan CMNP tak diubah, negara akan rugi Rp 1,9 triliun.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DADDY Hariadi tak tampak muka tidak kelihatan punggung. Ditunggu-tunggu kehadirannya Jumat kemarin, sang Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) tak muncul juga di Kantor Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Padahal petang itu sedianya berlangsung rapat penting membahas pengelolaan jalan tol lingkar dalam Kota Jakarta, yang tengah ramai dibicarakan. "Pertemuan ini dia sendiri yang minta," kata seorang pejabat, jengkel. Membentang di ruas Cawang-Grogol-Pluit-Tanjung Priok, proyek tol yang sedang dibahas itu seperti monumen perselingkuhan antara rezim Orde Baru dan perusahaan Cendana, dengan perusahaan negara sebagai sapi perahnya. Inilah, kata Junius Hutabarat, Inspektur Jenderal Permukiman, satu-satunya proyek yang langsung dipayungi surat keputusan bersama (SKB) dua menteri. Diteken 1 November 1989 lampau oleh Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar, beleid ini mengawinkan perusahaan pelat merah Jasa Marga dengan PT CMNP, yang mayoritas sahamnya ketika itu dikuasai Siti Hardijanti Rukmana. Campur tangan pemerintah waktu itu bahkan juga menjulur jauh ke soal pembagian pendapatan. Perusahaan milik putri sulung Soeharto itu, yang diberi hak mengelola sampai 30 tahun lebih, men-dapat porsi bagi hasil pendapatan 75 persen, sementara Jasa Marga hanya memperoleh 25 persen. Padahal, bila merujuk pada draf awal, hitung-hitungannya sampai pada rasio 65,5 : 34,5 untuk CMNP. Nyatanya, memang ruas jalan Jasa Marga-lah yang kini lebih banyak dilalui kendaraan ketimbang ruas CMNP (lihat peta). Dikaji oleh sebuah tim khusus yang diketuai Junius, kongsi remang-remang itu kini diekspos ke tempat terang. Dan tampak nyatalah betapa negara dibuat buntung oleh perjanjian pengelolaan tol itu. Hasil audit PricewaterhouseCoopers yang didapat TEMPO menunjukkan, setelah sepuluh tahun berjalan sejak 1990 hingga November tahun lalu, kas Jasa Marga bolong Rp 1,1 triliun lebih. Kalau diteruskan sampai 2023, kerugian Rp 1,9 triliun telah menunggu di depan mata. "Kerugian sebesar itu kan pada akhirnya mesti ditanggung rakyat juga," kata Menteri Permukiman Soenarno. Karena itulah, pada akhir Februari lalu ia angkat suara akan segera mencabut SKB dan meminta Jasa Marga-CMNP berunding untuk mengatur ulang pembagian hasil. Di mata Soenarno, porsi yang adil adalah 52 persen untuk Jasa Marga, 48 persen untuk CMNP. Tapi, tunggu punya tunggu, dua bulan telah lewat, keputusan ini tak kunjung diambil. Ada apa? Kata sumber TEMPO, belakangan rem diinjak lagi karena petinggi Lapangan Banteng minta supaya kemungkinan gugatan dari CMNP diantisipasi dulu. CMNP memang tak tinggal diam. Kalkulator mereka mengeluarkan data tandingan. Volume lalu-lintas tahun 2000 dalam versi mereka tak terpaut jauh: Jasa Marga 80,2 juta kendaraan (54 persen), CMNP 67,5 juta kendaraan (46 persen). Punya banyak ruas jalan layang, nilai investasi mereka klaim tiga kali lebih besar. Untuk membangun ruas Cawang-Priok-Pluit sepanjang 29,2 kilometer, mereka mengaku merogoh kocek hingga Rp 967 miliar. Sementara itu, di jalur Cawang-Grogol-Pluit dengan panjang 18,8 kilometer, Jasa Marga ditaksir cuma mengeluarkan duit Rp 392 miliar. Senin dua pekan lalu, Komisaris CMNP Jusuf Hamka bahkan melangkah ke jalur politis. Menemui Wakil Presiden Hamzah Haz, kabarnya ia mengeluhkan rencana pencabutan SKB, yang menurut dia "bernuansa politik dan menggunakan pendekatan kekuasaan". Menteri Keuangan Boediono mengaku telah meminta supaya pencabutan SKB tak gegabah dilakukan. Ia berkata, "Persoalan legal perlu diselesaikan dulu sebelum keputusan di-buat." Sependapat dengan koleganya, Soenarno pun meminta pendapat hukum dari Jaksa Agung. "Jadi, bukan macet. Saya tidak mengira soalnya jadi besar begini," katanya. Minta publik bersabar, ia menegaskan tak bakal beranjak dari pendirian semula untuk mencabut SKB. Ketua tim, Junius, bahkan menyatakan pekan ini juga, paling telat sebelum 30 April, beleid ganjil itu sudah akan ditebas. Sekaligus ini juga merupakan batas akhir perundingan Jasa Marga-CMNP. Menurut sumber TEMPO yang terlibat langsung dalam urusan ini, draf pendapat hukum dari kejaksaan telah rampung minggu lalu. Dan lampu hijau telah dinyalakan. "Prinsipnya, kejaksaan setuju (SKB) dicabut," katanya. Benarkah? "Kami tidak bisa ngomong, dong," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Mansyur Kartayasa, kepada Suseno dari Tempo News Room. Cuma, ia mengakui draf final sudah hampir rampung dan akan dikirimkan pekan ini juga. Sementara itu, meja perundingan tampaknya membentur tembok. Hingga pekan lalu kedua tim telah enam kali berunding, antardireksi juga sudah tiga kali bertemu. Tapi, kata sumber itu, hasilnya masih jauh dari kata sepakat. Beberapa poin penting yang menentukan perhitungan bagi hasil telah bisa didekatkan. Target volume lalu-lintas, misalnya. Jasa Marga mematok angka 726 ribu akan tercapai pada 2010. Meski lebih pesimistis dan baru diproyeksikan di 2023, CMNP mematok angka tak jauh terpaut: 707 ribu. Tarif pun begitu. Kedua pihak setuju mengacu pada peraturan pemerintah yang menetapkan kenaikan harga maksimum 25 persen per tiga tahun. Ber-selisih tipis, Jasa Marga dan CMNP sama-sama menaruh angka kenaikan tarif di kisaran 22 persen. Tapi titik temu tak bisa dicapai pada item paling vital: kalkulasi pengembalian investasi (internal rate of return). Selain faktor modal, CMNP ngotot minta supaya kredit mereka selama ini termasuk yang dihitung di dalamnya. "Ini kan sudah tidak logis," kata sumber TEMPO. Jasa Marga berpendirian cukup modal saja yang dikalkulasi. Direktur Utama Jasa Marga, Syarifuddin Alambai, membenarkan bahwa mereka belum juga satu kata hingga pekan lalu. "Angkanya belum ketemu," katanya. Namun, bahwa komposisi pembagian pendapatan perlu dikoreksi, semua pihak sudah sama-sama mafhum. Kalau perundingan membentur tembok, ia masih berpegang pada rencananya semula: membawa sengketa ini ke badan arbitrase. Langkah ini, kata sumber TEMPO, seratus persen akan didukung pemerintah. Bahkan bukan tak mungkin ditempuh jalur lebih ekstrem: men-jatuhkan talak tiga, sehingga tol diurus sendiri-sendiri. Tapi Direktur Utama CMNP, Daddy Hariadi, menyangkal negosiasi menumbuk jalan buntu. Menurut dia, perundingan sudah mulai mengerucut. Tinggal satu-dua hal yang belum disepakati. Soal nilai investasi, misalnya. Dia menuntut supaya risiko usaha yang jadi bebannya ikut dihitung. Umpamanya, jalur Priok selama ini tergolong kering buat dompet CMNP, tapi toh amat strategis buat kepentingan pemerintah menggenjot ekspor. "Di dunia ini apa sih yang tidak bisa diselesaikan?" katanya, yakin. Karaniya Dharmasaputra, Istiqomatul Hayati, Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus