Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Rencana pembangunan Bandara Internasional Bali Utara telah lama bergulir. Proyek ini masuk dalam Rencana Induk Bandar Udara melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 166 Tahun 2019, dan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Namun pengerjaan bandara tersebut belum juga dimulai.
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan pembangunan Bandara Bali Utara sedang dalam tahap pembebasan lahan. Setelah pembebasan rampung, kata dia, barulah pemerintah menentukan penetapan lokasi. “Mesti ditangani dulu proses yang terkait dengan daerah, seperti clearance lahan. Penetapan lokasi baru dapat ditentukan setelah itu,” ujar dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, Gde Wayan Samsi Gunarta, menyebutkan kelanjutan pembangunan Bandara Bali Utara menunggu analisis Kementerian Kehutanan mengenai dampak proyek itu terhadap fauna dan flora setempat. Musababnya, sebagian lokasi Bandara Bali Utara di Desa Sumberklampok, Kecamatan Grogok, Kabupaten Buleleng, menempati area taman nasional.
"Kementerian Perhubungan meminta sinkronisasi karena ada lokasi yang berdekatan dengan taman nasional. Kalau sudah selesai, kami akan maju lagi ke Kementerian Perhubungan,” ujarnya. Bandara Bali Utara, yang sebelumnya direncanakan dibangun di Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, dipindahkan karena keterbatasan lahan.
Ia mengungkapkan, konektivitas antara Bandara Bali Utara dan Bandara I Gusti Ngurah Rai di selatan Bali diperlukan, tapi tidak mutlak. Menurut Samsi, Bandara Bali Utara dirancang sebagai bandara yang berdiri sendiri. “Konektivitas antara Bandara Bali Utara dan Ngurah Rai, namun yang lebih penting ialah mengkoneksikan bandara baru ke destinasi di utara Bali,” Samsi menuturkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesawat penerbangan domestik di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai di Badung, Bali, 22 November 2022. TEMPO/Nita Dian
Data Dinas Perhubungan Bali menyebutkan, Bandara Bali Utara memerlukan tanah seluas 310 hektare. Sebanyak 150 hektare di antaranya diambil dari tanah milik Pemerintah Provinsi Bali, sementara sisanya berasal dari proses pembebasan lahan tanah masyarakat. Sisa kebutuhan tanah, ia mengimbuhkan, baru akan dipenuhi selepas uji kelayakan dan master plan bandara disusun.
“Dari persetujuan master plan akan berlanjut ke penetapan lokasi. Kalau sudah ditetapkan lokasinya, baru kami akan melakukan pengadaan tanah,” ujarnya.
Samsi menyebutkan, pembangunan Bandara Bali Utara mendesak dilakukan lantaran Bandara I Gusti Ngurah Rai sudah tidak lagi sanggup menampung pengguna. Pembangunan Bandara Bali Utara diperkirakan akan menelan dana Rp 14 triliun. Samsi percaya, jika Bandara Bali Utara terealisasi, ekonomi Bali akan kencang.
“Ekonomi Bali bagian utara akan semakin kuat. Peluang ekspor akan terbuka. Terlebih di utara Bali terdapat Pelabuhan Celukan Bawang,” kata dia.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, mengatakan pembangunan bandara baru merupakan suatu kebutuhan, mengingat Bandara Ngurah Rai yang sudah penuh. Namun ia menekankan perlunya mempertimbangkan aksesibilitas, jika ingin mendongkrak pariwisata.
"Atraksi pariwisata Bali bermacam-macam, hanya saja masih terpusat di daerah sana (selatan). Dengan adanya bandara baru di utara, pembagian kue ekonomi bisa merata,” ujarnya.
Pembagian Peran Dua Bandara
Ilustrasi desain Bandara Bali Utara. Dok. PT BIBU
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan pemerintah pusat dan daerah harus mengkaji secara mendalam harmonisasi antara Bandara Bali Utara kelak dan I Gusti Ngurah Rai. Ia memberi catatan mengenai beberapa hal yang patut diperhatikan pemerintah sebelum membangun bandara baru, seperti karakter pengguna transportasi udara di Bali yang didominasi warga asing.
“Berbeda dengan Bandara Soekarno-Hatta dan Halim Perdanakusuma yang meski merupakan bandara internasional, penggunanya 80 persen merupakan warga negara Indonesia,” ucap dia. Alvin juga mengingatkan pentingnya pembagian porsi pelayanan antara Ngurah Rai dan Bandara Bali Utara.
Ia berpendapat, dalam 5-10 tahun lagi Ngurah Rai sebetulnya masih memadai untuk memenuhi kebutuhan penerbangan di Bali. Namun ke depan diperlukan pengembangan, baik melalui penambahan runway atau landasan pacu baru maupun dengan menambah bandara baru. Jika ingin melakukan penambahan runway di Ngurah Rai, tantangannya ialah harus menguruk laut.
Menurut Alvin, tantangan terpenting bagi pemerintah ialah membagi peran antara Bandara Bali Utara dan Bandara I Gusti Ngurah Rai. “Jangan sampai sudah dibangun tidak ada yang mau terbang ke sana. Susah lagi, kan, orang yang turun di Bali Utara ujung-ujungnya ke Denpasar, Sanur, Ubud. Konektivitasnya bagaimana?” ujarnya.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo