Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Banjir di Semarang Diduga Akibat Hujan Ekstrem Siklus 50 Tahunan, Apa Kata BMKG?

Siklus hujan ekstrem 50 tahunan disinyalir sebagai pemicu banjir di Semarang, Jawa Tengah. Apa kata BMKG?

7 Februari 2021 | 18.34 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Personel Tim Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Kementerian PUPR Jawa Tengah memotret jalan yang terendam banjir di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Sabtu, 6 Februari 2021. Sejumlah jalan di kawasan cagar budaya dengan julukan "Little Netherland" yang dibangun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda sekitar abad ke-18 itu terendam banjir dengan ketinggian bervariasi antara sekitar 20- 60 cm akibat curah hujan tinggi sejak Jumat malam. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Siklus hujan ekstrem 50 tahunan disinyalir sebagai pemicu banjir di Semarang, Jawa Tengah. Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan periode ulang 50 tahunan dari hujan ekstrem memiliki arti ekstremitas dari suatu kejadian hujan ekstrem.

"Ekstremitas kejadian ekstrem, bisa apa saja misal hujan, angin, suhu, debit sungai, umumnya ditunjukkan oleh dua parameter, yaitu besarannya (magnitudo) dan kejarangannya (periode)," ujar Siswanto kepada Tempo, Ahad, 7 Februari 2021.

Dalam dunia hidrometeorologi, kata Siswanto, banjir-banjir besar umumnya terkait dengan hujan ekstrem. Misalnya saja hujan ekstrem penyebab banjir Semarang diketahui terukur di Stasiun BMKG Bandara Ahmad Yani 173 mm/hari, di Stasiun Klimatologi BMKG Semarang 171 mm/hari, di Pos Hujan Beringin Ngaliyan 183 mm/hari.

Menurut dia, untuk wilayah Semarang, hujan harian bervariasi mulai hujan ringan (0-20 mm), sedang (20-50 mm), hingga hujan sangat lebat (100-150 mm). Februari, kata dia, merupakan bulan paling basah atau paling banyak hari hujan dan paling tinggi intensitas hujannya.

"Apabila angka-angka ini dihitung statistik ekstremnya dari data historis yang panjang, maka akan didapatkan periode ulang kejadian ekstrem sekitar 50 tahun. Artinya besaran lebih dari 150-180 mm/hari itu dari hitungan statistik memiliki peluang 1/50, terjadi sekali dalam 50 tahun," kata Siswanto.

Namun demikian, kata dia, hal tersebut tidak berarti hujan ekstrem tersebut baru berulang 50 tahun lagi. Kejadian tersebut bisa saja berulang setiap tahun dengan peluang 2 persen.

"Ini tidak diartikan bahwa 50 tahun lagi baru akan berulang. Tetapi peluangnya kecil untuk terjadi lagi dalam rentang 50 tahun (menunjukkan tingkat kejarangannya)," tutur Siswanto. "Tetapi dengan perubahan iklim yang terjadi, hal ini bisa berubah."

Berdasarkan temuan dalam studinya, Siswanto mengatakan hujan-hujan ekstrem dengan dengan besaran tertentu yang pada era iklim zaman dulu sangat jarang terjadi. Kini di era iklim modern menjadi lebih kerap terjadi. Artinya, periode ulangnya berubah makin pendek.

Siswanto berujar hitungan periode ulang ini sangat bergantung pada series data yang dipakai. Karena sifatnya interpolatif dan ekstrapolatif, maka semakin panjang data, akan semakin akurat. Ia menduga acuan periode ulang yang dipakai oleh banyak perencanaan infrastruktur masih memakai acuan lama. Misalnya untuk Jakarta menggunakan acuan periode ulang NEDECO atau JICA yang sudah lawas datanya.

"Perlu penyusunan acuan periode ulang baru berdasarkan pemutakhiran data. Apalagi dalam keadaan iklim yang sudah berubah," kata dia.

Menurut Siswanto, perhitungan periode ulang hujan ekstrem sangat penting digunakan dalam perencanaan desain banjir bagi para ahli hidrologi dan hidrolik. Pasalnya, struktur bangunan, misalnya, pengendali banjir harus didesain mampu menghadapi kejadian ekstrem untuk periode ulang tertentu.

Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meninjau banjir di kawasan Kota Lama Semarang didampingi Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanto Rahayu, Sabtu, 6 Februari 2021. Selain di Kota Lama, banjir menggenangi wilayah lain di Semarang.

Basuki mengatakan, banjir di Kota Semarang, terjadi akibat luapan Kali Beringin Mangkang dan Kali Plumbon Kaligawe, yang merupakan dampak siklus hujan lebat 50 tahunan. "Pada saat yang bersamaan, air pasang pun tingginya mencapai 1.4 meter," ujar dia.

Berdasarkan data BMKG, telah diperkirakan terjadi hujan ekstrem. “Sesuai prediksi BMKG bahwa cuaca ekstrem terjadi di bulan Februari, maka dalam beberapa hari terakhir curah hujan di Semarang mencapai 171 milimeter. Menurut hitungan hidrologi periode ulangnya 50 tahunan," kata dia.

Untuk mengatasi banjir di Semarang, Basuki mengatakan akan memaksimalkan seluruh pompa air yang dikelola Kementerian PUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana.

CAESAR AKBAR

Baca juga: Banjir Semarang, Menteri PUPR Instruksikan Semua Pompa Beroperasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus