BEBERAPA bank, kabarnya, sekarang bagaikan memelihara harimau lapar di Kalimantan dan Sumatera. Nasabah mereka, pabrik-pabrik pengolahan karet, terus disuapi kredit secara manja. Tapi, satu per satu pabrik tersebut tumbang meninggalkan belang utang. Tak kurang dari 10 perusahaan yang telah bangkrut, yakni lima di Kalimantan Barat, tiga di Sumatera Utara, satu di Jambi, dan satu lagi di Sumatera Selatan. Yang masih hidup pun sekarang cakar-cakaran. Pangkal utama, agaknya, jatuhnya harga karet di pasaran dunia sejak 1980. Karet jenis RSS I, misalnya, yang semula di pasar Singapura berharga S$ 3,07 per kg, kini tinggal sekitar S$ 1,62 saja. Sebelum devaluasi 12 September lalu, harga karet lembaran itu berarti Rp 850 per kg. Harga jual itu tidak cukup lagi untuk menutup biaya mulai dari bahan olahan karet rakyat (bokar) yang Rp 720 per kg, ditambah biaya pengolahan di pabrik (Rp 110), dan ongkos kirim (Rp 50) ke Singapura. "Biaya Rp 880 per kg itu belum termasuk bunga bank," tutur Edison, pemilik pabrik PT Sumber Meraman yang rontok di Kalimantan Barat, Juni lalu. Karena rugi terus, pabrik yang telah menyedot investasi Rp 2,6 milyar itu terpaksa gulung tikar, dan mem-PHK-kan 300 karyawannya. Awal dasawarsa ini ada 11 pabrik pengolahan karet yang berputar di Kal-Bar. Tapi PT Sinar Kapuas, Sumber Bersama Jaya, dan Sumber Hasil telah rontok 1982, disusul PT Pusaka 1985, dan terakhir PT Sumber Meraman tersebut di atas. Kini tinggal enam pabrik yang masih hidup. Tapi mereka pun sedang cakar-cakaran. Terutama karena bokar yang dipasok petani hanya sekitar 90.000 ton sedang kebutuhan mereka 120.000 ton per tahun. Suplai yang tak cukup itu menyebabkan para pedagang perantara bisa bermain dengan pabrik-pabrik besar untuk menentukan harga setinggi-tingginya. "Pabrik besar tentu berusaha mendapatkan jatah bokar sebanyak-banyaknya," kata Susanto, Direktur PT Giat Usaha Dieng, pabrik karet di Kalimantan yang berkapasitas serap 1.800 ton bokar. Namun, PT Sumber Djantin, pabrik terbesar di Kal-Bar dengan kapasitas 4.000 ton, merasa tidak seenaknya menentukan harga bokar. "Kami sendiri pernah berhenti produksi tiga minggu," tutur Darius, Direktur Sumber Djantin. Perusahaannya sendiri kini hanya bisa beroperasi sekitar 75% karena hanya bisa mendapatkan bokar 3.000-3.500 ton. Sementara di dalam negeri pabrik-pabrik itu terjerat harga tinggi untuk bahan baku, di luar negeri mereka saling membanting harga jual. Soalnya, bukan karena eksportir harus bersaing dengan karet Malaysia dan Muangthai. Banyak pabrik di Indonesia terhitung kecil sehingga sulit untuk menjual langsung kepada konsumen di luar negeri. Mereka terpaksa berhubungan dengan importir perantara di luar negeri. Sementara itu, bank-bank yang telah telanjur memberikan kredit kepada pabrikpabrik itu terjebak. Pabrik-pabrik yang menjadi nasabahnya terus dibantu agar tidak keburu mati sebelum yang lain-lain. "Akhirnya, kini bank seperti orang naik harimau," tutur Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Kal-Bar, Leo Abam. Munculnya devaluasi 12 September lalu merupakan obat sesak napas. Dengan kurs S$ jadi sekitar Rp 750, berarti harga karet di pasar Singapura jadi sekitar Rp 1.200 per kg. Dengan biaya produksi sekitar Rp 880 per kg, pabrik-pabrik itu bisa memetik untung sekitar Rp 400 per kg. Tapi, ternyata, mereka hanya bisa tertawa lebar seminggu. Akhir pekan lalu, harga bokar yang ditawarkan pedagang perantara, menurut sumber di Gapkindo Jakarta, sudah naik jadi Rp 1.020, naik 40% dibandingkan sebelum devaluasi. "Importir di luar negeri pun tentu telah tahu devaluasi rupiah, akan minta harga lebih murah," tutur kalangan pengusaha karet. M.W., Laporan Djunaeni K.S. (Kal-Bar) Mukhsin Lubis (Sum-Bar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini