Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memintal selisih harga

Pemerintah membuka impor serat polyester. padahal produksi 4 pabrik sudah memcukupi. alasannya, untuk menombok kekurangan produksi lokal. disambut hangat oleh produsen tekstil terpadu lantaran murah.(eb)

27 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA aba-aba mata pintal tujuh perusahaan pemintalan dibuka untuk serat polyester impor. Padahal, bahan baku untuk tekstil ini sudah bisa dibuat empat pabrik di dalam negeri, dan tahun depan dua pabrik lagi siap berproduksi. Kontan persediaan polyester di empat pabrik itu -- Tifico, Indonesia Toray Synthetics, Kuma Fiber, dan Tri Rempoa Solo Synthetic Factory -- kini semakin menggelembung di gudang. Menurut Dharmakumara, Manajer PT Kuma Fiber, kebutuhan polyester pabrik pemintalan di dalam negeri tahun ini ditaksir akan mencapai 85 ribu ton, sementara produksi keempat pabrik itu bakal digenjot hingga 84 ribu ton. "Kekurangan 1.000 ton masih bisa ditutupi dengan stok tahun-tahun sebelumnya yang hingga kini masih menumpuk," katanya. Sampai semester pertama tahun ini diperkirakan lima ribu ton polyester belum terjual. Namun, pemerintah punya perhitungan tersendiri. Menurut Menteri Perindustrian, Hartarto, kebutuhan serat polyester untuk tahun ini akan mencapai 88 ribu ton guna memenuhi kebutuhan 47 perusahaan pemintalan. Sedang kapasitas produksi nasional hanya 75,5 ribu ton per tahun. "Impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan, dan jumlahnya hanya 3% dari seluruh kebutuhan nasional," katanya. Karena itu pemerintah mengizinkan tujuh perusahaan pemintalan memasukkan polyester dari luar sebanyak 3.750 ton. Bisa jadi selisih harga polyester dalam negeri dan eks impor ikut menjadi pertimbangan. Selain itu Paket Kebijaksanaan 6 Mei (Pakem) memang membolehkan pemintalan mengimpor bila sebagian produknya diekspor. Saat ini polyester lokal ditebus dengan harga Rp 1.500 hingga Rp 1.600 per kg. Sedang yang impor, sebelum devaluasi baru-baru ini, hanya Rp 1.350-Rp 1.400. Tentu saja izin impor bisa mencekik penghasil serat lokal. Tapi, setelah devaluasi, barangkali perhitungannya akan menjadi lain. Apalagi, pagi-pagi, sudah tercapai kesepakatan antara pengusaha yang terlibat dalam urusan tekstil -- mulai bahan baku sampai produk jadi -- untuk memelihara harga polyester tak lebih mahal dari pasar internasional. Perbedaan harga selama ini, menurut Dharmakumara, tidak lain karena perusahaan sudah menanamkan modal yang tidak kecil (US$ 60 juta) di sampin masih harus membayar bunga pinjaman yang juga tinggi. "Belum lagi biaya listrik yang mahal," katanya. Tapi mungkin juga karena, sejak Mei lalu, mereka harus mengambil PTA (Purified Terephthalic Acid) dari Pertamina lewat PT Humpuss dengan harga di atas harga internasional. Taktik dumping yang dilakukan Taiwan juga turut dituding merusakkan harga polyester di pasaran. RRC, yang selama ini leluasa menggunakan devisanya untuk memasukkan serat polyester, mendadak mengurangi impornya. Tapi Taiwan tidak kehilangan akal: polyesternya dibuang ke sejumlah negara Asia Tenggara dengan harga hanya sekitar Rp 1.100 per kg. Lain soal bagi produsen tekstil terpadu. Ketentuan baru itu, walaupun tidak secara langsung dirasakan, tetap disambut hangat. Beberapa pabrikan mengaku sudah lama menggunakan polyester impor. "Karena harganya memang lebih murah," kata sebuah sumber. Sumber yang memproduksi kain polos jenis katun polyester 65/35 (65% polyester dan 35% katun) ini setiap bulan membutuhkan 80 ton polyester dan 40% di antaranya diimpor dari Malaysia dengan harga Rp 1.400 per kg. Memang, sejak Pakem '86, para pengusaha tekstil seperti mendapat peluang bagus untuk membeli bahan baku dari luar guna menekan biaya produksi, agar pasar ekspor bisa mereka masuki dengan harga bersaing. Menurut sumber tadi, dari dua juta yard produksinya per bulan, yang diekspor mencapai 70%. "Sisanya kami pasarkan di dalam negeri. Untuk jaga-jaga, siapa tahu, pasaran ekspor lesu," kata sumber itu lagi. Yusroni Henridewanto, Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus