SEBUAH bank di Amerika sedang mempertimbangkan pembelian seperangkat komputer. IBM nyaris kalah dalam penawarannya karena pimpinan bank kelihatannya lebih terpukau akan keunggulan teknologi dari sebuah merk komputer lain. Setelah pimpinan bank itu selesai berkata, F.G. "Buck" Rodgers dari IBM dengan santunnya berkata, "Saya hanya punya satu pertanyaan. Tuan ingin melakukan bisnis jual-beli dengan seorang penjual hardware, atau sebenarnya Tuan membutuhkan seorang mitra yang dapat melayani kebutuhan Tuan dalam otomatisasi?" Tak ada hal yang tricky dalam pertanyaan itu. Hanya sebuah pertanyaan jujur yang keluar dari seorang penjual yang belum putus asa menghadapi kemungkinannya kalah. Buck Rodgers punya keyakinan bahwa perusahaannya mempunyai sesuatu yang masih bisa ditawarkan yang lebih daripada sekadar keandalan teknologi. Buck pun tak ingin melakukan perdebatan yang antagonistis dengan calon pelanggannya. Pimpinan bank itu terhenyak di bawah pengaruh pertanyaan Buck. Lalu ia mengangkat kepalanya. "Ya, kami butuh mitra," katanya sambil mengulurkan tangan. "Ayo, salaman dulu dengan mitra baru." Begitulah Buck Rodgers -- bukan yang di serial televisi itu -- berhasil menjual komputernya. Begitu pulalah cara IBM melayani pelanggannya, seperti ditulis oleh Buck dalam bukunya yang baru terbit dan laris, The IBM Way. Dengan pengalamannya bekerja pada IBM selama 34 tahun, sepuluh tahun terakhir sebagai vice president marketing, Buck menulis sebuah buku yang otoritatif dan punya kedalaman yang mengungkap sebagian sukses IBM bertumbuh sebagai perusahaan besar yang disegani. Benang merah yang diulur Buck dalam bukunya itu adalah sebuah konsep yang berlaku di IBM: at IBM, everybody sells. Tidak peduli apakah ia CEO (Chief Executive Officer) atau resepsionis, atau karyawan pabrik, semuanya telah dibekali dengan kecakapan dan kesadaran untuk selalu melayani dan mengutamakan pelanggan. Kita semua tentu pernah merasakan sendiri betapa menyebalkan berurusan dengan perusahaan yang tidak sales oriented. Telepon Anda akan langsung dijawab, "Sebentar, ya!", lalu Anda dihubungkan kepada orang lain yang ternyata akan meminta Anda untuk memutar nomor lain di bagian penjualan. Di bagian penjualan pun belum tentu Anda akan memperoleh jawaban karena yang menerima telepon hanyalah pegawai administrasi penjualan yang tidak tahu-menahu tentang barang yang sedang sangat Anda butuhkan itu. Pernahkah Anda kesasar dalam sebuah kantor yang besar untuk mencari meja sales manager karena tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk mengantar Anda menemukan meja itu? Semuanya itu menunjukkan bahwa seolah-olah perusahaan itu tidak mempunyai kebutuhan untuk menjual barang. Atau, bahwa urusan penjualan itu semata-mata hanya menjadi urusan pegawai bagian penjualan saja. Padahal, tanpa adanya penjualan, tak akan ada yang dicapai perusahaan itu. Unless the cash register rings, the factory whistle cannot blow, and nothing happens in or economy. Tulisan Buck Rodgers dalam The IBM Way itu memang tidak untuk mendcwakan unsur sales dalam sebuah perusahaan. Tetapi, bahwa dalam perusahaan perlu ditumbuhkan sikap untuk melayani pelanggan dengan sebaik-baiknya. Percuma saja salesman berjuang setengah mati untuk mengunci sebuah jual-beli, bila kemudian pengantar barang secara sembrono melakukan pengantaran barang. Atau, kemudian penagihnya datang dengan muka dan gaya seolah-olah ia sudah siap akan menembak bila tidak segera dibayar. Seorang pimpinan Harper 8 Row setelah membaca buku The IBM. Way itu lalu menyadari bahwa semua komputer dan mesin bisnis di kantornya adalah IBM. Ia bertanya, apakah IBM lebih murah daripada mesin bisnis lainnya. Jawabnya: IBM memang tidak murah, tetapi ia bisa diandalkan. Dan itu memang bukan sekadar lip service. Seorang service representative IBM pada suatu hari harus mengantar sebuah suku cadang ke seorang pelanggan. Tetapi, perjalanan yang biasanya singkat dan menyenangkan itu berubah menjadi sebuah katastrofi. Hujan lebat mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Dengan tenang ia memarkir mobilnya di pinggir jalan, mengeluarkan sepatu roda dari bagasi, lalu meneruskan perjalanan mengantarkan suku cadang itu di atas sepatu roda. Di bawah hujan lebat. Ketika listrik mati selama 25 jam di New York -- dan itu sudah mirip neraka untuk ukuran New York -- para service rep IBM harus mendaki tangga gedung-gedung pencakar langit untuk tetap melakukan tugasnya melayani mesin yang perlu rawatan. IBM pun merupakan perusahaan yang terus-menerus berusaha meningkatkan waktu yang dipakai oleh para karyawannya untuk menjual dan menjual. Biasanya salesman dibebani dengan begitu banyak pekerjaan administrasi setelah melakukan penjualan. Di IBM non-selling time itu sudah dipersingkat dengan memberikan terminal kepada setiap salesman. Maklum, perusahaan komputer. Soalnya memang sederhana. Semakin banyak waktu yang dipakai untuk menjual, akan semakin banyak pula hasil yang tercapai. Semakin banyak perhatian yang diarahkan untuk melakukan layanan penjualan, semakin tinggi pula mutu kepuasan pelanggan. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini