Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) saat ini tengah mengkaji penerbitan mata uang digital atau central bank digital currency (CDBC). “Kami masih proses kajian awal, dan kajiannya akan terus kami lakukan lebih dalam lagi seperti yang dilakukan oleh bank sentral lain di dunia,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Onny Widjanarko, di kantornya, Rabu 31 Januari 2018.
Onny menuturkan pihaknya menargetkan kajian tersebut setidaknya akan selesai pada 2020 mendatang. Menurut dia proses kajian mendalam membutuhkan waktu yang cukup panjang karena kompleksitas indikator dan implikasi. “Kajian harus clear dulu kalau sudah baru diputuskan go atau not go, jadi akan kami teliti terus,” ucapnya.
Simak: Ingin Berkarir di Bank Indonesia? Ini Kriterianya
Onny menjelaskan kajian yang dilakukan mencakup tentang biaya dan keuntungan atau cost and benefit CDBC hingga referensi penerapan serta kajian yang telah lebih dulu dilakukan di negara. Salah satu negara yang telah melakukan uji coba CDBC adalah Ekuador. “Kalau belum cermat kajiannya ya nggak akan dilakukan, Inggris sudah mulai kajian sejak 2016 tapi sampai sekarang belum selesai, langkah Ekuador ini berani.”
Poin penting dari kajian itu menurutu Onny adalah terkait dengan dampak atau implikasinya terhadap stabilitas sistem moneter, sistem keuangan, sistem pembayaran, dan perlindungan konsumen. “Begitu dengan dengan kesiapan infrastruktur juga pengamanannya nanti, kami ingin melihat semuanya,” katanya. Selanjutnya, Bank Indonesia juga harus melakukan harmonisasi dan menelaah regulasi yang telah ada seperti undang-undang mata uang. “Tujuan dari CDBC ini untuk menghargai teknologi menyesuaikan, jadi nanti seperti mata uang rupiah sekarang tapi digital.”
Onny menampik jika rencana kajian CDBC dilontarkan pasca ramainya penggunaan mata uang virtual atau virtual currency seperti bitcoin. Dia menegaskan penelitian dan kajian tersebut telah dimulai khususnya oleh bank-bank sentral negara lain sejak beberapa tahun lalu. CDBC pun berbeda dengan virtual currency seperti bitcoin. “CDBC tidak volatile seperti bitcoin, lalu mereka juga ada underlying-nya, legal tender, dikeluarkan oleh regulator, diatur dalam undang-undang tidak boleh ditolak,” ujarnya.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengungkapkan penerbitan CDBC dimungkinkan untuk dilakukan untuk menggantikan mata uang rupiah dalam bentuk kertas dan logam saat ini. “Jadi yang diharapkan ke depan uang kartal yang saat ini jumlahnya Rp 590 triliun itu berkurang, beralih ke murni digital,” katanya, kepada Tempo. David menuturkan jika ingin diterapkan di Indonesia, aspek utama yang harus diperhatikan adalah kesiapan infrastruktur. “Karena kita kan negara kepulauan ya, proyek Palapa Ring 1,2,3 misalnya masih belum selesao, kan aneh kalau di beberapa negara sudah siap sisanya belum.”
David mengatakan selain aspek infrastruktur dan teknologi, hal lain yang harus diperhatikan adalaj aspek sosiologis masyarakat. “Berarti kan nanti ke depan penggunaan smartphone harus lebih terjangkau, ini bergantung pada pendapatan masyarakat, lalu jangan lupa juga kan saat ini tidak semua penduduk tinggal di perkotaan dan sudah terbiasa dengan teknologi,” ucapnya. Kesiapan dari sisi pengamanan infrastruktur penunjang juga harus menjadi prioritas. “Sistem finansial itu harus hati-hati sekali, jangan sampai mudah diretas, jadi jangan buru-buru juga nanti malah kacau.”
Sementara itu, menurut David mata uang digital juga memiliki manfaat di antaranya sebagai bentuk efisiensi karena tak perlu lagi melakukan pencetakan mata uang kertas maupun logam, serta memudahkan regulator untuk memantau jumlah uang beredar, hingga memudahkan pelacakan aliran transaksi keuangan untuk menghindari tindak pidana pencucian uang hingga pendanaan untuk terorisme dan narkotika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini