Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics (Indef), Rusli Abdullah, memperkirakan harga beras akan sulit turun hingga penghujung 2023 meskipun sudah ada bantuan sosial (bansos) beras yang disalurkan pemerintah. Hal ini dikarenakan tidak ada panen yang dilakukan sampai akhir tahun ini untuk menambah pasokan beras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau menurunkan harga, enggak bisa. Karena kan pasti suplainya harus ditambah. Di akhir tahun itu dalam kondisi normal, harga beras naik karena tidak ada panen,” ujar Rusli saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 8 September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kondisi normal tersebut, Rusli mengatakan, harga beras memang cenderung naik di bulan November dan Desember walaupun hanya berkisar Rp 100-400 per kilogram. Namun kenaikan tersebut bisa jadi berlipat pada tahun ini karena faktor kekeringan akibat El Nino dan permintaan yang naik usai pandemi.
Data Badan Pangan Nasional menunjukkan harga beras kualitas medium rata-rata nasional pada Selasa, 12 September 2023, berada di level Rp 12.620 atau naik ketimbang awal Agustus lalu Rp 11.980 per kilogram. Harga beras tersebut sudah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok di Pulau Jawa Rp 10.900 per kilogram.
Sementara harga beras pada Agustus tahun lalu masih bertengger di Rp 10.780 per kilogram. Sedangkan harga beras premium Rp 14.340 atau melambung bila dibanding pada Agustus tahun lalu di level Rp 12.480 per kilogramnya.
Lebih lanjut, Rusli juga mengatakan pemerintah juga akan menghadapi tantangan jika memilih untuk impor beras. Sebab, harga beras dunia sedang tinggi akibat kebijakan larangan ekspor beras yang diterapkan India pada pertengahan tahun.
“Inflasi terjadi karena ada ekspektasi kekurangan pasokan beras dari kekeringan yang disebabkan El Nino dan larangan ekspor beras oleh India,” ucap Rusli. Dampaknya, harga beras untuk impor dari luar negeri pun juga cenderung lebih tinggi dari harga normal.
Dalam kondisi ini, Rusli menilai pemerintah paling banter hanya dapat membuat harga beras melandai perlahan. Harga beras juga diyakini tidak akan turun hingga kembali menyentuh level awal tahun karena panen baru akan dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2024. “Jadi paling yang bisa dilakukan bertahan agar harga tidak lebih tinggi atau mengerem kenaikan harga,” ujarnya.
Salah satu caranya adalah dengan menyalurkan bansos beras yang sudah mulai dilakukan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan subsidi jika memutuskan untuk impor.
“Meskipun harga beras lebih tinggi, tapi dijual di domestik bisa dengan subsidi untuk menutup selisih harga yang diinginkan di domestik dengan harga pasar luar negeri,” kata Rusli.
Di samping itu, Rusli menekankan bahwa pemerintah harus mencegah terjadinya penimbunan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dengan memanipulasi harga. “Tugasnya mengantisipasi kalau ada oknum yang memancing di air keruh ini, yang meng-keep beras mereka, tunggu sampai jual tinggi baru dia lepas,” ucapnya.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso alias Buwas sebelumnya optimistis harga beras medium bakal turun usai bantuan sosial atau bansos beras digelontorkan. Ia memperkirakan harga beras bisa turun menjadi Rp 11.000 per kilogram.
Kendati demikian, ia menegaskan harga beras tak akan langsung turun setelah bansos beras digelontorkan. Namun, ia memastikan harga komoditas ini akan berangsur turun. Apalagi pemerintah juga telah melakukan intervensi pasar melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
SULTAN ABDURRAHMAN | RIANI SANUSI PUTRI