MAKELAR, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisa berarti perantara perdagangan atau orang yang berjual-beli sekuritas untuk orang lain atas dasar komisi. Jenis profesi seperti inilah yang kini berkeliaran untuk menyelesaikan kasus besar yang bakal membuat Indonesia makin miskin: Karaha Bodas.
Agaknya berbagai pihak yang terkait dengan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi itu—Pertamina, PLN, dan pemerintah—sudah hilang akal dalam menyelesaikan kasus tersebut. Proyek di Garut yang dihentikan di saat krisis moneter tahun 1998 itu menyebabkan Pertamina diwajibkan membayar klaim total US$ 261 juta (sekitar Rp 2,3 triliun) kepada Karaha Bodas Company (KBC). Ini berdasar keputusan pengadilan arbitrase yang tampaknya tak bisa dibantah lagi.
Jalur non-pengadilan bukannya tak dicoba. Tapi, hingga kini janji Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, tak kelihatan wujudnya, sementara keputusan banding soal klaim itu akan keluar pada Agustus ini. Ada satu usaha lainnya yang dilakukan Pertamina, yaitu memastikan bahwa proyek itu melakukan penggelembungan nilai, berdasarkan laporan BPKP tentang kelebihan klaim KBC senilai US$ 19,1 juta. Sayangnya, entah mengapa, penyelidikan polisi dalam proyek yang diduga berbau korupsi itu hingga kini tak kunjung selesai.
Maka, di tengah ketersudutan itu, makelar pun dikontak. Siapa sih mereka? Yang pertama seorang perempuan—sebut saja namanya Sinta—yang mengaku disewa oleh pemerintah, Pertamina, dan PLN. Ia menyambangi kantor KBC untuk menyelesaikan masalah. Sukses? Boro-boro. Sinta ini rupanya cuma jual kecap.
Lalu, datang lagi seorang yang meng-aku makelar ke kantor Florida Power Light (FPL)—salah satu konsorsium KBC—di Florida, Amerika Serikat. Namanya Michael Villareal. Ia mengaku dari kantor pengacara Harvest International, yang sudah resmi ditunjuk PLN. Ini makelar asli? Rupanya begitu. Awal Agustus lalu, mereka berhasil memperoleh surat penunjukan dari Direktur Utama PLN—pihak yang tak beperkara dalam KBC—Eddie Widiono untuk membantu penyelesaian kasus Karaha di luar pengadilan, termasuk melakukan negosiasi jumlah klaim yang dapat dibayar oleh Pertamina. Pembayaran dilakukan PLN setelah negosiasi itu berhasil. Imbalannya? Sumber TEMPO menyebut, success fee biasanya 1-5 persen. Itu berarti para makelar bisa menikmati sekitar US$ 2,6 juta-13 juta. Hmm.
Harvest memang dikenal sebagai jago lobi dengan para pejabat pemerintah dan memiliki klien bertaraf internasional. Didirikan 15 tahun lalu di Jakarta oleh pengusaha Harvey Goldstein kelahiran New York, Harvest berkembang besar dan merajai lobi-lobi bisnis tingkat tinggi di Indonesia.
Tapi kali ini Harvest kepentok tembok. Para pemegang saham FPL rupanya kukuh memilih penyelesaian resmi, yakni lewat para pengacara, bukan para makelar. Sumber TEMPO menyebut bahwa Florida menyurati Harvest dan menghargai usaha mereka, tapi meminta tak datang lagi. Keinginan mereka melobi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta awal Agustus ini juga gagal.
Apa kata Harvest? Melalui sambungan telepon internasional, Harvey Goldstein mengakui soal penunjukan itu, tapi ia menyangkal sebagai negosiator keputusan pengadilan atau pelobi bisnis belaka. "Kami bukan kantor pengacara," katanya. Harvest memakai PLN karena, menurut dia, perusahaan listrik itu lebih fleksibel dan tidak termasuk yang beperkara di pengadilan. Ketika ditanyakan apakah benar Pertamina memintanya melakukan negosiasi atas jumlah US$ 111,1 juta—sesuai dengan pengeluaran KBC di proyek Karaha Bodas—Harvey mengaku tidak dibebani target menyangkut jumlah klaim yang harus dinegosiasikannya. Ia juga menolak dirinya disebut gagal melobi para direksi FPL dan Caithness. "Lobi kami cukup berhasil," ujarnya. Karena itu, Harvey akan tetap melanjutkan usahanya hingga ada kesepakatan yang tercapai antara PLN dan Karaha.
Rupanya, pemakaian makelar ini sudah direstui pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan, "Penunjukan itu adalah urusan PLN dan merupakan kesepakatan bisnis biasa saja."
Masalahnya, jika jalur makelar ini sukses, sementara penyelidikan mark-up terbukti, jalan mana yang akan dipilih? Direktur Utama Pertamina, Baihaki Hakim, tampak pasrah dan menyerahkan masalah ini kepada Tim Fasilitasi Karaha Bodas, yang dikomandani Menteri Koordinator Ekuin. "Kami akan mematuhi apa pun hasil tim Menko Ekuin," ujarnya. Ya, kalau dua jalur itu sukses. Kalau sama-sama gagal?
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini