Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kusam Kurang Semir

Industri sepatu mulai berguguran. Reebok dan Nike sudah melepas order untuk beberapa perusahaan sepatu di Indonesia.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PABRIK sepatu seperti lagi kurang semir. Kusam. Ordernya melorot drastis, beberapa bahkan diputus kontrak dan mesti setop mesin sama sekali. Tengoklah, misalnya, nasib nahas yang menimpa PT Doson Indonesia, salah satu pabrik pembuat sepatu Nike yang berlokasi di Tangerang, Banten. Mulai November ini, Doson, yang telah 10 tahun menjadi subkontraktor Nike Inc., tak bakal lagi beroleh pesanan dari prinsipalnya di Amerika itu. Tak ayal, tujuh ribuan buruh yang mengais hidup di situ kelimpungan. Sudah dua pekan ini ratusan di antaranya menggelar demonstrasi, menuntut Nike memperhatikan hak mereka. "Nike, mana tanggung jawabmu?" begitu yang tertera di salah satu poster. Toh, pada akhirnya mereka hanya bisa pasrah. "Saya cuma berharap bisa dapat pesangon besar untuk buka warung," kata Sumiyati, buruh Doson bergaji Rp 700 ribu sebulan. Celakanya, Doson tak sendirian. Sebelumnya, nasib serupa telah dialami PT Primarindo Asia Infrastructure, yang kontraknya juga diputus Reebok International Ltd. Statistik juga telah memperlihatkan gejala mengkhawatirkan ini. Kinerja ekspor sepatu bermerek pada Januari-Maret 2002 cuma US$ 350 juta, turun 12,46 persen dari periode yang sama pada tahun 2001 sebesar US$ 401 juta. Padahal, angka ekspor sepatu dan komponennya pada tahun 2001 senilai US$ 1,5 juta juga telah melorot dari tahun sebelumnya, US$ 1,67 juta juta (lihat tabel). Menurut data yang dihimpun Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), pabrik sepatu sudah berguguran sejak tahun 1998. "Dari 198 industri anggota Aprisindo kini tinggal 90 saja," kata ketuanya, Anton J. Supit. Ini terang ancaman serius. Selama ini industri sepatu merupakan salah satu sektor andalan. Produksi Nike di Indonesia mencapai 35 persen dari total ordernya di seluruh dunia. Begitu pula dengan Reebok. Industri dalam negeri memasok 25 persen di antaranya atau sebanyak 19 juta pasang per tahun. Tengoklah, misalnya, nasib PT Victory Long Age II, pabrik pembuat sepatu Reebok yang berlokasi di Surabaya. Perusahaan dengan modal dari Taiwan ini sudah tutup sejak tahun 2000, juga karena Reebok tak kunjung memberikan order dengan alasan waswas akan situasi keamanan di negeri ini pasca-tragedi World Trade Center. Apes itu kini juga membayangi saudara kandungnya, PT Victory Long Age I. Tak sanggup lagi menutup biaya operasional karena volume pesanan menukik drastis, Victory I juga bakal tutup pabrik mulai bulan depan. Ada banyak penyebab dari gejala "kurang darah" ini. Salah satunya adalah anjloknya konsumsi sepatu dunia sejak tahun lalu. Reebok International Ltd., yang bermarkas di Massachusetts, Amerika Serikat, misalnya, baru mengumumkan penjualannya anjlok dua persen selama kuartal kedua 2002, dari US$ 256 juta menjadi US$ 250 juta. Kondisi ini diperparah oleh persaingan industri sepatu yang makin ketat. Indonesia makin keteteran menghadapi Cina dan Vietnam. Harga sepatu olahraga lokal di sini mencapai US$ 4,6 sepasang, padahal di Cina dan Vietnam cuma US$ 4 saja. Begitu pula untuk merek terkenal. Pabrik Nike di dalam negeri pasang tarif US$ 10 per pasang, padahal di Cina dan Vietnam harganya bisa terpaut jauh di bawah. Vietnam datang menyodok setelah Amerika memberikan status normal trade regulation seperti yang telah didapat Indonesia. Sebelumnya, Indonesia masih bisa unggul karena Amerika masih mengenakan tarif tinggi pada produk dari Vietnam. Hal lain adalah faktor keamanan, stabilitas politik, dan gerakan buruh, yang masih membuat waswas investor. Dengarlah bagaimana berhati-hatinya Country Manager PT Adidas Indonesia, Warren Kelly. Menurut dia, Adidas belum dapat menentukan angka pasti volume produksi tahun ini karena "masih perlu memantau perkembangan situasi politik dan ekonomi." Kesimpulannya, kata Anton, kalau ketiga hal itu tak bisa segera diantisipasi, "Kita akan makin susah bersaing dan tinggal menunggu belas kasihan." Agus S. Riyanto, Rian Suryalibrata, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus