TENDER yang lama ditunggu itu diumumkan pemenangnya, Kamis pekan lalu. Indonesia kalah dari Australia. Pasokan gas ke Kota Guangdong, Cina, sekitar 3 juta ton per tahun selama 20 tahun, yang nilainya mencapai US$ 20 miliar, akan dilakukan oleh Australia, yang 16 persen sahamnya dimiliki oleh BP internasional.
Jadi, Lapangan Tangguh di Papua akan menganggur? Direktur Utama Pertamina, Menteri Energi, dan BP Indonesia ramai-ramai menyangkalnya. Menurut mereka, 8 Agustus lalu China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) menyatakan Indonesia mendapat hak untuk memasok kota lain—Fujian—sebesar 2,5 juta ton per tahun, terhitung mulai tahun 2007. Rabu pekan lalu, Perdana Menteri Cina Zhu Rongji juga menyurati Presiden Megawati, mengabarkan hasil tender itu.
Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro menolak kekalahan di Guangdong itu disebut sebagai kegagalan diplomasi Indonesia. "Kita dapat Fujian, dan Tangguh bisa berproduksi. Di mana gagalnya?" katanya. Indonesia, ujarnya, sudah berusaha keras memberikan harga yang terbaik dan memberikan tawaran penyertaaan saham kepada CNOOC, tetapi keputusan di tangan pemerintah Cina. Dirut Pertamina Baihaki Hakim juga menyatakan hal serupa dan yakin bahwa suplai gas dari Tangguh akan bisa dipasarkan ke negara lain seperti Jepang, Taiwan, dan Filipina. Bahkan DN Power dari negeri Gloria Arroyo itu sudah menjajaki kemungkinan membeli LNG Tangguh 1,3 juta ton per tahun.
Dengan kebutuhan gas 8 juta ton per tahun, kata Menteri Purnomo, Tangguh masih bisa memenangi tender 2,5 juta ton untuk memasok kawasan pantai timur Cina. Lapangan Tangguh diharapkan bisa berproduksi mulai tahun 2006 dengan cadangan gasnya sekitar 18,3 triliun kaki kubik. Apakah tindakan Cina memilih Australia dan menolak Indonesia itu ada hubungannya dengan Undang-Undang Migas yang baru? Dalam undang-undang itu memang disebut bahwa pasar migas di hulu dan hilir akan dibuka untuk pasar besar sehingga setiap perusahaan bisa bersaing. Tapi isu ini dibantah Rahmat Sudibjo, Kepala Badan Pelaksana Migas. "Tangguh itu masih dipasarkan Pertamina," ia menegaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini