Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Barter dengan

Prima comexindo, salah satu perusahaan hashim djojohadikusumo, mendapat akreditasi resmi dari pemerintah soviet setelah menembus birokrasi yang ru- mit.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdagang dengan Uni Soviet masih serba sulit. Birokrasi di sana ruwet, rubel semakin melorot. Tapi Hashim pantang mundur. EMPAT tahun yang lalu, Hashim tak akan dikenal orang jika tak ada nama Djojohadikusumo yang tersohor itu. Ketika Hashim mengambil alih saham PT Semen Cibinong pada tahun 1987, kalangan bisnis bertanya-tanya siapa sebenarnya "pendatang baru" itu. Sekarang, anak bungsu Prof. Sumitro Djojohadikusumo ini sudah kondang. Sejak Hashim membeli saham Semen Cibinong, yang sekarang 67% sahamnya dikuasainya, bisnisnya kian mekar. Ia memasuki industri keuangan -- dengan dua bank, Bank Industri dan Bank Kredit Universal plus satu perusahaan leasing -- - lalu merambah ke tambang batu bara dan perkebunan teh. Sekarang perhatiannya tertuju ke perdagangan. Dua pekan lalu Prima Comexindo, salah satu perusahaan Hashim, mengadakan pesta besar di Gedung Pusat Kebudayaan Soviet, di pusat Kota Moskow. Mereka merayakan keluarnya akreditasi resmi dari pemerintah Soviet untuk Prima. Sebenarnya, sudah sejak tiga tahun silam Prima masuk ke Soviet. Waktu itu perestroika memang sudah dikibar-kibarkan oleh Mikhail Gorbachev, tapi pelbagai rintangan masih sukar ditembus. Di samping birokrasi Rusia yang ekstraruwet, perubahan dari sistem ekonomi sosialis ke sistem baru yang belum jelas sosoknya benar-benar merepotkan semua pihak, baik Uni Soviet maupun mitra dagangnya. Apalagi kini, negeri itu tak punya cukup devisa untuk membeli komoditi dari negeri asing. Cadangan dolarnya semakin tipis, dan betul-betul diirit untuk kebutuhan pokok rakyat. Sementara itu, rubel Soviet kian merosot daya belinya, pula tak laku di pasar uang internasional. Formula imbal-beli, yang dilakukan Indonesia dengan Irak misalnya, juga tak bisa dilakukan. "Indonesia tak punya perjanjian dagang seperti itu dengan Uni Soviet," kata Hashim. Maka, satu-satunya cara adalah barter murni (in natura). Dalam barter pertama yang sudah disetujui akhir Mei lalu, Soviet mendapat teh, sementara Hashim memperoleh kapas dari Uzbekistan. Nilai barter itu, US$ 70 juta. Tapi, mengeluarkan komoditi seperti kapas dari salah satu republik yang tergabung dalam Uni Soviet tidaklah gampang. Pertama-tama harus ada izin dari pemerintah pusat di Moskow. Itu sebabnya dibutuhkan tiga tahun oleh Hashim untuk menyukseskan barter, di samping ongkos sekitar US$ 0,5 juta. Barulah upaya Hashim -- yang berpatungan dengan Alex Arifin, anak Bustanil Arifin -- - bisa menghasilkan kontrak dagang. "Mudah-mudahan pemerintah pusat semakin mengendurkan izin ini, supaya perdagangan lebih lancar," kata Ketua Komite Perdagangan Luar Negeri Republik Usbekistan, Anvar S. Makhmoudov. Tapi ia belum memikirkan satu formula yang lebih andal, apakah imbal-beli atau lainnya. Sergei S. Mourarov, seorang staf ahli dari Kementerian Hubungan Ekonomi Luar Negeri Soviet, berkomentar, "Toh buktinya kita bisa berdagang." Tetapi diakuinya, parlemen Soviet sedang menggodok berbagai rencana yang kelak melandasi perubahan besar dalam sistem ekonomi Soviet. Ke dalamnya termasuk keharusan izin ekspor -- dari pemerintah pusat untuk republik-republik di Uni Soviet -- yang diharapkan bisa dihapus. Mourarov melihat, tampaknya ada kecenderungan kuat ke arah itu. "Ekonomi Soviet memang akan segera menjadi ekonomi pasar, hanya seberapa cepat, itu persoalannya," ia menambahkan. Sementara itu, bisnis toh akan menemukan jalannya sendiri. Selain Hashim, dari Indonesia ada nama-nama besar seperti Salim Group milik Liem Sioe Liong atau pengusaha kawakan Hasjim Ning. "Kami ingin sebanyak-banyaknya pengusaha Indonesia masuk kemari," tutur Mourarov. Meskipun berbelit dan ekstrasulit, ada saja pengusaha yang melihat Soviet sebagai lahan yang subur untuk digarap. Hashim, sampai kini tetap optimistis. "Saya berani mematok masa satu tahun. Modal saya akan kembali," katanya yakin. Yopie Hidayat (Moskow)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus