MENDENGARKAN keluhan, kata Menteri Ginandjar, memerlukan kesabaran. Dan daftar keluhan para pengusaha Jepang di sini memang panjang. Daftar yang panjang juga dibuat oleh Bank Bumi Daya yang dalam dua bulan terakhir ini mencoba mengumpulkan keluhan dari 20 PMA di seluruh Indonesia. "Dalam banyak hal ada benarnya," kata dirut BBD Omar Abdalla, yang juga mengikuti misi investasi ke Jepang, "Tapi banyak hal pula yang sudah diselesaikan atau masih menjadi perhatian pemerintah." Persoalan pokok dalam bidang politik, demikian pendapat pengusaha Jepang menurut survei BBD, cukup banyak. Dari mulai campur tangan pemerintah terhadap perusahaan lebih memprioritaskan PMDN, sampai korupsi, dan sebagainya. Di bidang sosial mereka melihat bahwa tenaga kerja di sini kurang bertanggung jawab dan kurang berdisiplin dan banyak yang mempergunakan ilmunya hanya untuk kepentingan pribadi. Di bidang peraturan disebutkan, antara lain, mengenal repotnya menyelesaikan pajak, terlalu banyak batasan untuk berusaha (misalnya larangan menyalurkan atau mengecerkan sendiri produksinya). Perlindungan terhadap buruh dinilai terlalu berlebihan. Alih teknologi, modal, dan manajemen sulit dilaksanakan karena, antara lain, mitra lokal tak mampu membeli saham atau sulit mencari tenaga staf lokal yang bagus dan berpengalaman. Dengan berbagai keluhan itu, sikap PMA di berbagai sektor industri berbeda-beda. Yang berusaha di industri tekstil, misalnya, kini lebih suka bersikap mempertahankan atau bahkan mengurangi skala produksi. Dalam konperensi Komite Ekonomi Indonesia-Jepang ke-5 di Tokyo, November silam, semua itu sebenarnya sudah dibicarakan. Pihak Indonesia pun sudah banyak memenuhi berbagai keinginan Jepang. Tapi, apa yang diberikan pihak Jepang - selain janji akan menurunkan tarif bea masuk kayu lapis yang baru dijanjikan akan dilaksanakan tahun 1987? Toshikuni Yahiro, kepala bagian investasi Keidanren (Federasi Organisasi-Organisasi Pengusaha Jepang) yang waktu itu memimpin utusan Jepang dalam konperensi tersebut, pekan lalu memberikan wawancara khusus kepada Seiichi Okawa dan Harun Musawa di Tokyo. Beberapa petikan: Pemerintah sudah banyak berbuat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dianggap menghambat kelancaran usaha PMA. Apakah pihak Jepang mengerti hal itu? Sebenarnya bukan kami tidak percaya kebijaksanaan Indonesia. Masalahnya, lebih dari dua pertiga perusahaan patungan kini mengalami kesulitan. Memang secara obyektif, perekonomian dunia beium bisa dikatakan baik. Sebab itu, waktunya belum matang untuk mengadakan investasi baru, apalagi kebutuhan dalam negeri tak begitu aktif belakangan ini. Bukankah pemerintah juga menciptakan iklim untuk menunjang ekspor? Memang. Tapi, kalau mau terjun ke pasar internasional, juga ke pasar kompetitif, pertama-tama harus siap untuk bersaing di berbagai sektor, yaitu kualitas, harga, dan lain-lain. Untuk itu pemerintah harus memberi perhatian lebih terhadap perindustrian ekspor daripada yang khusus bertujuan ke pasar lokal. Bagaimana caranya memikat Jepang lagi? Saya sudah bicara dengan Menteri Sumarlin dan Ginandjar mengenai soal ini. Daripada mengimbau investasi baru, sebaiknya membuat suatu iklim yang dapat mengatasi kesulitan perusahaan yang sudah ada. Kalau tidak, tak mungkin ada perusahaan yang mau datang lagi. Apa jawaban Ginandjar? Beliau mengerti. Pak Ginandjar, sebelum ke Jepang, memang sudah mengumpulkan dan mendengarkan keluhan Japan Club di Jakarta. Bidang apa kira-kira yang masih diminati Jepang? Bagaimana, ya? Perusahaan saya, Mitsui, sudah bergerak di 20-an bidang, tapi sekitar 70 persen tidak lancar. Tapi, pokoknya, industri-industri yang memerlukan tenaga kerja banyak dan murah, saya rasa cocok untuk Indonesia. Bidang agribisnis? Kami punya pengalaman yang pahit di Lampung (jagung dan singkong) karena kurang menguasai teknologi pertanian tropis dan . . . entah karena apa lagi. Tapi, barangkali menanam sayur-mayur di dataran tinggi baik, apalagi pemerintah tampaknya memberi perhatian pada bisnis itu. Tujuannya untuk ekspor, misalnya ke Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini