SIKAP Amerika menghadapi utang negara-negara Dunia Ketiga telah berubah. Jumat dua pekan silam Menteri Keuangan AS Nicholas Brady, di depan sidang Komite Bretton Woods mengatakan bahwa bank-bank komersial seharusnya menghibahkan sebagian piutang mereka pada negara-negara berkembang. Komite Bretton Woods merupakan wadah sekelompok tokoh dunia dan pakar ekonomi yang menekuni isu-isu ekonomi internasional. Tak salah lagi, forum yang dipilih Menteri Keuangan AS ini cukup bergengsi untuk menampung gagasan yang juga bergengsi itu. Selama ini, dalam berbagai pertemuan internasional yang membahas krisis utang negara berkembang, AS paling keras menentang pemangkasan jumlah utang pokok. Satu-satunya cara yang ditempuh Menteri Keuangan AS (kini Menteri Negara) James Baker yakni memberikan utang baru, dengan persyaratan yang lebih lunak. Bantuan paling lunak yang dicobakan AS di Meksiko tahun silam ternyata tak banyak manfaatnya. Meksiko dipersilakan membeli obligasi berjangka 20 tahun, tanpa bunga, yang dikeluarkan Departemen Keuangan AS. Obligasi bernilai US$ 10 milyar itu ditebus Meksiko dengan harga hanya US$ 1,9 milyar. Meksiko kemudian menggunakannya sebagai jaminan untuk mengeluarkan obligasi bernilai US$ 10 milyar, yang dilelang dengan harga lebih tinggi, kepada bank-bank asing yang mempunyai tagihan di Meksiko. Semula diharapkan obligasi itu akan laku lebih dari US$ 20 milyar. Dengan demikian, utang Meksiko yang US$ 78 milyar bisa tersisa US$ 58 milyar. Ternyata, bank-bank membeli obligasi senilai US$ 2,6 milyar dengan harga US$ 3,7 milyar. Apa daya, Meksiko hanya bisa memangkas utang komersialnya sekitar US$ 1 milyar. Dengan kata lain: gagal. Kini Menteri Keuangan AS menyuruh bank-bank menghibahkan sebagian utang mereka. Konon, kebijaksanaan itu harus ditopang Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang mempunyai cadangan devisa berlebih. Bagaimana caranya, belum jelas. Perubahan sikap AS ini diduga karena keributan yang terjadi di Venezuela akhir Februari lalu. Waktu itu, lebih dari 300 rakyat Venezuela tewas karena berebut bahan makanan. Pangkalnya, Venezuela sudah mengencangkan ikat pinggang secara terlalu ketat. Negeri itu harus menanggung beban utang luar negeri US$ 35 milyar, sehingga kue hasil pembangunan terpaksa dipakai untuk membayar utang. Program pemangkasan Menteri Keuangan AS Nicholas Brady ini konon ditujukan kepada 39 negara berkembang yang dinilai berpenghasilan rendah. Sudah dipastikan, jumlah utangnya sekitar US$ 340 milyar, yang bakal terpotong US$ 70 milyar (sekitar 20,5%). Pengurangan jumlah utang pokok dengan sendirinya akan mengurangi beban cicilan bunga. Maka, negara pengutang diharapkan akan mempunyai tabungan tambahan sekitar 20%, untuk dimanfaatkan bagi pembangunan. Hanya saja, nama negara tak disebutkan, tapi kantor berita Reuters pekan silam mengatakan bahwa Indonesia kemungkinan besar tidak termasuk kelompok itu. Indonesia sebenarnya mempunyai utang lebih besar dari Venezuela. Menurut perkiraaan Bank Dunia, utang Indonesia (pemerintah dan swasta) pada akhir 1988 sekitar US$ 50 milyar. Beban utang ini bukannya belum dipermasalahkan. Menteri Keuangan Sumarlin tahun silam pernah mengusulkan supaya donatur Jepang, termasuk Exim Bank, menghibahkan sebagian piutangnya pada Indonesia. Tapi ada kesan, waktu itu, Jepang tidak antusias menyambut gagasan ini. Presiden Soeharto juga pernah mengungkapkan, pakar-pakar ekonomi dari Bank Dunia dan negara-negara donor harus mencari jalan bagaimana supaya Indonesia, yang patuh membayar utang, jangan sampai terhambat pembangunannya. Sementara ini, usaha untuk menekan beban utang Indonesia ialah dengan terus membuat utang baru -- gali lubang tutup lubang, begitu.MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini