KAPAL-kapal berbendera merah putih sejak 1 Januari lalu, menurut ketua Bulk & Tramping Group (BTG) INSA, Hartoto Hardikusumo, boleh bebas berlayar ke RRC. Sementara itu, kapal-kapal asing yang berlayar dari Indonesia ke RRC dibatasi. Menurut Hartoto, bekas kapten kapal selam ALRI yang kini memiliki perusahaan pelayaran samudra khusus, PT Andhika Lines, sejak 1983 sudah biasa mengoperasikan empat sampai lima kapalnya ke pelabuhan-pelabuhan Guang Dong dan Shanghai, dengan izin Hankam. Namun, akhir tahun lalu, RRC mulai memakai kapal-kapal asing untuk mengangkut barang-barang impornya dari Indonesia. "Rupanya, mereka ada main," kata Hartoto. Maksudnya, dalam soal tarif. Dengan keputusan pemerintah mengizinkan kapal-kapal Indonesia berlayar langsung ke RRC, dan membatasi operasi kapal asing, di harapkan armada Indonesia ke RRC akan meningkat. RRC biasa mengimpor komoditi tradisional, seperti kopi dan lada, dan akhir-akhir ini juga kayu lapis. Volume ekspor ke RRC langsung (tidak termasuk via Hong Kong dan Singapura), menurut data Biro Pusat Statistik, tahun 1983 sebanyak 26.850 metrik ton dan bernilai US$ 27 juta (FOB). Sedangkan impor Indonesia dari RRC, yang terdiri dari 200 macam komoditi (seperti daging, ikan, sutera, katun, peralatan listrik, sampai mesin komputer), berjumlah 307.123 metrik ton dengan nilai prangko Indonesia (CIF) US$ 204 juta, atau hampir 10 kali nilai ekspor dari Indonesia ke sana. Karena eksportir Indonesia tidak bisa menjual produk Indonesia dengan prangko RRC, perusahaan-perusahaan pelayaran samudra Indonesia harus mencari order pada importir RRC di Hong Kong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini