SUSANA pembukaan sidang OPEC seperti biasa diramaikan oleh
ratusan wartawan dan kilauan blits para juru potret serta awak
televisi. Tiba-tiba suasana menjadi tenang ketika Presiden OPEC
Dr. Subroto meminta segenap hadirin untuk berdiri. Selama kurang
lebih satu menit ruang konperensi Salle De Baldi Hotel
Intercontinental yang megah di Jenewa itu terasa hening. Berita
kecelakaan pesawat terbang yang mengakibatkan tewasnya Jaime
Roldos, Presiden Equador yang masih muda itu, 39 tahun, bersama
nyonya serta sejumlah penumpang lain di perbatasan negeri itu
baru diketahui Menteri Pertambangan dan Energi Subroto pagi itu
juga, sekitar dua jam sebelum dibukanya sidang tengah tahunan
OPEC yang ke-60, 25 Mei 1981.
Barangkali baru pertama kalinya dalam sejarah organisasi para
produsen dan pengekspor minyak (OPEC) yang 21 tahun ini, para
anggota delegasi secara berbondong-bondong meninggalkan sidang.
Karuan saja sekuriti dan polisi Swiss yang teliti tapi tidak
menyolok itu menjadi kewalahan.
Puluhan mobil sedan yang diparkir di pelataran hotel meluncur
cepat satu demi satu. Dan di tengah gerimis serta udara dingin
yang masih juga mengganggu udara Mei di Jenewa, iring-iringan
itu menuju kantor perwakilan tetap Equador di PBB, Jenewa, untuk
menyatakan dukacita.
Equador, penghasil minyak di bawah satu juta barrel sehari,
punya peranan penting dalam tubuh OPEC. Rene Ortiz, Sekjen OPEC
selama 3 tahun, baru berhasil digantikan oleh Nan Nguema dari
Gabon dalam sidang ke-60 ini. Wakil Sekjen dari Irak, Al
Chalabi, akan tetap melanjutkan kedudukannya sampai sidang
berikut pertengahan Desember nanti.
Tapi yang lebih menarik dari sidang kali ini adalah penentuan
nasib minyak itu sendiri. Mau diapakan produksi minyak yang
setiap hari berlebih (glut) antara 2 sampai 3 juta barrel itu?
Bagaimana pula mengatasi pasaran harga minyak yang kini
mengendur itu? Produksi OPEC telah merosot menjadi 25 juta
barrel sehari, dari sekitar 31 juta barrel sehari pada 1979. Toh
dengan produksi yang dalam dua tahun turun sebanyak 6 juta
barrel, glut itu belum juga bisa dibendung. Bahkan menurut
Humberto Calderon Berti, Menteri Energi dan Pertambangan
Venezuela yang lincah itu, OPEC perlu menurunkan produksi
minyaknya lagi antara 5 sampai 10%. "Dan Venezuela, yang sampai
sekarang belum terkena akibat glut itu, bersedia
mempeloporinya," katanya. Produksi Veneuela, menurut Calderon
berti, sampai sekarang masih bertahan dengan 2,2 juta barrel
sehari.
Ajakan Humberto Calderon itu banyak disambut para anggota yang
lain. "Kita tak bisa bicara soal unifikasi harga tanpa bicara
soal penurunan produksi," kata seorang peserta dari Aljazair.
Menteri Perminyakan Irak Tayeh Abdul Karim dengan tandas
mengatakan, "Masalah yang paling penting sekarang ini adalah
menghindari kelebihan minyak." Karim kemudian berkata, "Adalah
tak mungkin bicara soal pembekuan harga tanpa lebih dulu
mencapai kesepakatan tentang pengaturan produksi."
Revisi
Pembekuan harga, yang terjadi dalam sidang OPEC di Bali pada
1975, rupanya kambuh kembali kini. Dan yang berteriak paling
nyaring tentang perlunya pembekuan harga minyak itu, siapa lagi
kalau bukan Sheik Zaki Yamani. Beberapa hari sebelum dimulainya
sidang ke 60 ini, dalam suatu konperensi tentang energi di
Berlin Barat, Menteri Perminyakan Arab Saudi itu mendesak agar
OPEC membekukan harga minyaknya yang sekarang.
Tapi lebih dari itu Sheik Yamani meminta suatu tindakan yang
agaknya mustahil diikuti kebanyakan anggota OPEC: Supaya harga
resmi minyak yang US$ 36 per barrel diturunkan menjadi US$ 32,
sesuai dengan harga patokan jenis Arabian Light Crude, yang juga
disebut Marker's Crude.
Zaki Yamani rupanya menginginkan agar dilakukan suatu revisi
terhadap keputusan di Bali pertengahan Desember tahun lalu.
Selain adanya harga patokan yang US$ 32 per barrel, Bali juga
memutuskan apa yang dikenal sebagai Deemed Marker's Crude, atau
yang dianggap sebagai harga patokan sebesar US$ 36 per barrel.
Ini sampai sekarang berlaku bagi semua anggota OPEC kecuali Arab
Saudi. Di atas itu, Bali juga membolehkan pungutan ekstra
(differentials) sampai US$ 5 per barrel bagi minyak kualitas
tinggi seperti dimiliki kelompok Afrika Utara.
Menteri Subroto, yang diperpanjang jabatannya sebagai Presiden
OPEC enam bulan lagi, setuju untuk merevisi keputusan di Bali.
Tapi menurut dia, sidang di Jenewa perlu memiliki harga patokan
tunggal, yakni US$ 36 per barrel untuk jenis Arabian Light itu.
Bisa dipastikan ajakan seperti itu banyak mendapat sambutan,
terkecuali dari Arab Saudi.
Sekalipun demikian, beberapa peserta merasa yakin, suatu
kompromi akan ditelurkan dari sidang di Jenewa. Sheik Yamani
kabarnya tak keberatan kalau produksi OPEC yang sekarang
ditanggung bersama oleh semua anggota. Ia kabarnya juga tak
keberatan untuk mengatrol harga patokan dari US$ 32 menjadi US$
34 per barrel.
Kalau benar demikian untuk sementara pasaran minyak masih akan
mengidap glut sebanyak 1 juta barrel. Dan beda antara dua harga
"patokan" itu juga bertambah kecil. Suatu langkah maju untuk
mewujudkan cita-cita unifikasi harga? Agaknya memang begitu.
"Arah Saudi membutuhkan masa penyesuaian," kata Subroto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini