Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beku dari Jenewa?

Sidang opec ke-60 di jenewa, membicarakan masalah pembekuan harga-harga, mengurangi produksi minyak dan mencari harga patokan. zaki yamani menghendaki revisi terhadap keputusan sidang di bali. (eb)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSANA pembukaan sidang OPEC seperti biasa diramaikan oleh ratusan wartawan dan kilauan blits para juru potret serta awak televisi. Tiba-tiba suasana menjadi tenang ketika Presiden OPEC Dr. Subroto meminta segenap hadirin untuk berdiri. Selama kurang lebih satu menit ruang konperensi Salle De Baldi Hotel Intercontinental yang megah di Jenewa itu terasa hening. Berita kecelakaan pesawat terbang yang mengakibatkan tewasnya Jaime Roldos, Presiden Equador yang masih muda itu, 39 tahun, bersama nyonya serta sejumlah penumpang lain di perbatasan negeri itu baru diketahui Menteri Pertambangan dan Energi Subroto pagi itu juga, sekitar dua jam sebelum dibukanya sidang tengah tahunan OPEC yang ke-60, 25 Mei 1981. Barangkali baru pertama kalinya dalam sejarah organisasi para produsen dan pengekspor minyak (OPEC) yang 21 tahun ini, para anggota delegasi secara berbondong-bondong meninggalkan sidang. Karuan saja sekuriti dan polisi Swiss yang teliti tapi tidak menyolok itu menjadi kewalahan. Puluhan mobil sedan yang diparkir di pelataran hotel meluncur cepat satu demi satu. Dan di tengah gerimis serta udara dingin yang masih juga mengganggu udara Mei di Jenewa, iring-iringan itu menuju kantor perwakilan tetap Equador di PBB, Jenewa, untuk menyatakan dukacita. Equador, penghasil minyak di bawah satu juta barrel sehari, punya peranan penting dalam tubuh OPEC. Rene Ortiz, Sekjen OPEC selama 3 tahun, baru berhasil digantikan oleh Nan Nguema dari Gabon dalam sidang ke-60 ini. Wakil Sekjen dari Irak, Al Chalabi, akan tetap melanjutkan kedudukannya sampai sidang berikut pertengahan Desember nanti. Tapi yang lebih menarik dari sidang kali ini adalah penentuan nasib minyak itu sendiri. Mau diapakan produksi minyak yang setiap hari berlebih (glut) antara 2 sampai 3 juta barrel itu? Bagaimana pula mengatasi pasaran harga minyak yang kini mengendur itu? Produksi OPEC telah merosot menjadi 25 juta barrel sehari, dari sekitar 31 juta barrel sehari pada 1979. Toh dengan produksi yang dalam dua tahun turun sebanyak 6 juta barrel, glut itu belum juga bisa dibendung. Bahkan menurut Humberto Calderon Berti, Menteri Energi dan Pertambangan Venezuela yang lincah itu, OPEC perlu menurunkan produksi minyaknya lagi antara 5 sampai 10%. "Dan Venezuela, yang sampai sekarang belum terkena akibat glut itu, bersedia mempeloporinya," katanya. Produksi Veneuela, menurut Calderon berti, sampai sekarang masih bertahan dengan 2,2 juta barrel sehari. Ajakan Humberto Calderon itu banyak disambut para anggota yang lain. "Kita tak bisa bicara soal unifikasi harga tanpa bicara soal penurunan produksi," kata seorang peserta dari Aljazair. Menteri Perminyakan Irak Tayeh Abdul Karim dengan tandas mengatakan, "Masalah yang paling penting sekarang ini adalah menghindari kelebihan minyak." Karim kemudian berkata, "Adalah tak mungkin bicara soal pembekuan harga tanpa lebih dulu mencapai kesepakatan tentang pengaturan produksi." Revisi Pembekuan harga, yang terjadi dalam sidang OPEC di Bali pada 1975, rupanya kambuh kembali kini. Dan yang berteriak paling nyaring tentang perlunya pembekuan harga minyak itu, siapa lagi kalau bukan Sheik Zaki Yamani. Beberapa hari sebelum dimulainya sidang ke 60 ini, dalam suatu konperensi tentang energi di Berlin Barat, Menteri Perminyakan Arab Saudi itu mendesak agar OPEC membekukan harga minyaknya yang sekarang. Tapi lebih dari itu Sheik Yamani meminta suatu tindakan yang agaknya mustahil diikuti kebanyakan anggota OPEC: Supaya harga resmi minyak yang US$ 36 per barrel diturunkan menjadi US$ 32, sesuai dengan harga patokan jenis Arabian Light Crude, yang juga disebut Marker's Crude. Zaki Yamani rupanya menginginkan agar dilakukan suatu revisi terhadap keputusan di Bali pertengahan Desember tahun lalu. Selain adanya harga patokan yang US$ 32 per barrel, Bali juga memutuskan apa yang dikenal sebagai Deemed Marker's Crude, atau yang dianggap sebagai harga patokan sebesar US$ 36 per barrel. Ini sampai sekarang berlaku bagi semua anggota OPEC kecuali Arab Saudi. Di atas itu, Bali juga membolehkan pungutan ekstra (differentials) sampai US$ 5 per barrel bagi minyak kualitas tinggi seperti dimiliki kelompok Afrika Utara. Menteri Subroto, yang diperpanjang jabatannya sebagai Presiden OPEC enam bulan lagi, setuju untuk merevisi keputusan di Bali. Tapi menurut dia, sidang di Jenewa perlu memiliki harga patokan tunggal, yakni US$ 36 per barrel untuk jenis Arabian Light itu. Bisa dipastikan ajakan seperti itu banyak mendapat sambutan, terkecuali dari Arab Saudi. Sekalipun demikian, beberapa peserta merasa yakin, suatu kompromi akan ditelurkan dari sidang di Jenewa. Sheik Yamani kabarnya tak keberatan kalau produksi OPEC yang sekarang ditanggung bersama oleh semua anggota. Ia kabarnya juga tak keberatan untuk mengatrol harga patokan dari US$ 32 menjadi US$ 34 per barrel. Kalau benar demikian untuk sementara pasaran minyak masih akan mengidap glut sebanyak 1 juta barrel. Dan beda antara dua harga "patokan" itu juga bertambah kecil. Suatu langkah maju untuk mewujudkan cita-cita unifikasi harga? Agaknya memang begitu. "Arah Saudi membutuhkan masa penyesuaian," kata Subroto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus