Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menggeser yang tradisional

Para pengusaha batik tradisional kini cemas gara-gara serbuan batik printing, yang telah menggeser pasaran. batik printing harganya jauh lebih murah, bisa dibuat cepat. (eb)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pengusaha batik tradisional kini cemas gara-gara serbuan batik printing yang telah menggeser pasaran. Batik jenis ini ternyata menang dalam jumlah produksi. Harganya pun jauh lebih murah. Buktinya, para pengusaha batik di Pekalongan sampai mengadakan sarasehan bersama HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), koperasi primer, bank dan pejabat perindustrian. Pertemuan sampai larut malam tanggal 16 Mei diwarnai dengan sederetan daftar keresahan akibat munculnya pabrik batik printing atau batik sablon di kota-kota besar. Akibatnya, pasaran batik tradisional merosot sekitar 50%, sementara di beberapa kota besar luar Jawa, seperti Medan dan Ujungpandang batik printing merebut 90% pasaran. Mengapa batik printing bisa merebut pasaran? Kecuali harganya jauh lebih murah, batik ini bisa dibuat dengan cepat. Cara yang paling sederhana, cetakan dibuat dari kain monyl yang dikaitkan pada kerangka kayu berukuran 75 x 110 cm, digambari motif batik dengan bahan penahan warna. Setelah cetakan diletakkan di atas kain putih, zat pewarna dituangkan dan ditekan. Resapan zat pewarna kemudian menempel pada kain putih. Dengan hanya mengandalkan tenaga dua orang, alat printing sederhana ini mampu mencetak sekitar 300 meter batik sehari. Sedang batik tulis yang membutuhkan tenaga jauh lebih banyak, untuk menyelesaikan 1 kodi saja makan waktu beberapa hari. Yang ditakutkan pengusaha batik tradisional ternyata bukan alat yang sederhana itu. Tapi pabrik batik modern yang digerakkan dengan mesin otomatis. Pabrik semacam ini (seperti pabrik tekstil besar) memakai sistem rotary print, yang juga bisa mencetak batik dua muka. Dalam 1 menit mesin ini kabarnya mampu mencetak 120 meter kain baik. Pabrik yang tiap unit mesin cukup dilayani dua operator itu, dikabarkan sudah beroperasi daerah Karet, Jakarta. Batik Keris Solo pernah memakai mesin kilat itu, "Sekarang mesin itu didiamkan. Tidak dipakai lagi," kata Rumadi, Humas PT Keris. Mengapa? "Pakai mesin itu justru tidak untung," jawabnya. Dengan mesin otomatis itu, setiap motif paling tidak harus dibuat 10.000 yard. Permintaan di pasaran hanya sekitar 3.000 - 4.000 yard saja tiap motif. Akibatnya, pabrik batik terbesar di Indonesia itu terpaksa menumpuk cadangan. Kecenderungan membuat batik printing rupanya cukup ada alasan. "Batik sekarang bukan lagi untuk kebutuhan adat, bukan lagi seni, tapi sudah menjadi perangkat dagang. Yang dikejar cuma untungnya," kata R.T. Hardjonagoro, ahli batik klasik dari Solo. Batik printing sebagai kemajuan teknologi di dunia batik kelihatannya akan menggusur nilai budaya batik yang dibanggakan selama ini. Karena itu pula rupanya pengusaha batik Pekalongan di bawah pimpinan Ketua HIPMI Kamaludin Bahir, meminta pemerintah untuk menyetop pabrik batik printing modern membuat motif batik. Dan tidak mengizinkan berdirinya tiga pabrik rotary print di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus