PARA pengusaha batik tradisional kini cemas gara-gara serbuan
batik printing yang telah menggeser pasaran. Batik jenis ini
ternyata menang dalam jumlah produksi. Harganya pun jauh lebih
murah.
Buktinya, para pengusaha batik di Pekalongan sampai mengadakan
sarasehan bersama HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia),
koperasi primer, bank dan pejabat perindustrian. Pertemuan
sampai larut malam tanggal 16 Mei diwarnai dengan sederetan
daftar keresahan akibat munculnya pabrik batik printing atau
batik sablon di kota-kota besar. Akibatnya, pasaran batik
tradisional merosot sekitar 50%, sementara di beberapa kota
besar luar Jawa, seperti Medan dan Ujungpandang batik printing
merebut 90% pasaran.
Mengapa batik printing bisa merebut pasaran? Kecuali harganya
jauh lebih murah, batik ini bisa dibuat dengan cepat. Cara yang
paling sederhana, cetakan dibuat dari kain monyl yang dikaitkan
pada kerangka kayu berukuran 75 x 110 cm, digambari motif batik
dengan bahan penahan warna. Setelah cetakan diletakkan di atas
kain putih, zat pewarna dituangkan dan ditekan. Resapan zat
pewarna kemudian menempel pada kain putih. Dengan hanya
mengandalkan tenaga dua orang, alat printing sederhana ini mampu
mencetak sekitar 300 meter batik sehari. Sedang batik tulis yang
membutuhkan tenaga jauh lebih banyak, untuk menyelesaikan 1 kodi
saja makan waktu beberapa hari.
Yang ditakutkan pengusaha batik tradisional ternyata bukan alat
yang sederhana itu. Tapi pabrik batik modern yang digerakkan
dengan mesin otomatis. Pabrik semacam ini (seperti pabrik
tekstil besar) memakai sistem rotary print, yang juga bisa
mencetak batik dua muka. Dalam 1 menit mesin ini kabarnya mampu
mencetak 120 meter kain baik. Pabrik yang tiap unit mesin cukup
dilayani dua operator itu, dikabarkan sudah beroperasi daerah
Karet, Jakarta.
Batik Keris Solo pernah memakai mesin kilat itu, "Sekarang mesin
itu didiamkan. Tidak dipakai lagi," kata Rumadi, Humas PT Keris.
Mengapa? "Pakai mesin itu justru tidak untung," jawabnya.
Dengan mesin otomatis itu, setiap motif paling tidak harus
dibuat 10.000 yard. Permintaan di pasaran hanya sekitar 3.000 -
4.000 yard saja tiap motif. Akibatnya, pabrik batik terbesar di
Indonesia itu terpaksa menumpuk cadangan.
Kecenderungan membuat batik printing rupanya cukup ada alasan.
"Batik sekarang bukan lagi untuk kebutuhan adat, bukan lagi
seni, tapi sudah menjadi perangkat dagang. Yang dikejar cuma
untungnya," kata R.T. Hardjonagoro, ahli batik klasik dari Solo.
Batik printing sebagai kemajuan teknologi di dunia batik
kelihatannya akan menggusur nilai budaya batik yang dibanggakan
selama ini. Karena itu pula rupanya pengusaha batik Pekalongan
di bawah pimpinan Ketua HIPMI Kamaludin Bahir, meminta
pemerintah untuk menyetop pabrik batik printing modern membuat
motif batik. Dan tidak mengizinkan berdirinya tiga pabrik
rotary print di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini