Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Porsi belanja pegawai dalam APBN 2023 mencapai Rp 442,54 triliun.
Biaya perjalanan dinas lebih besar dari biaya pelaksanaan program.
Besarnya porsi belanja pegawai tidak sejalan dengan komitmen reformasi birokrasi.
JAKARTA — Beban belanja pegawai pemerintah terus membengkak dari tahun ke tahun. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, belanja pegawai menempati porsi cukup besar, yakni mencapai Rp 442,54 triliun. Angka itu meningkat dibanding jumlah pada tahun lalu yang sebesar Rp 426,52 triliun. Namun anggaran yang meningkat itu tak disertai dengan kualitas belanja yang efektif dan efisien. Persoalan yang sama terjadi pada alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Salah satu yang menjadi sorotan adalah alokasi anggaran perjalanan dinas, rapat, dan honor yang mendominasi, tapi dinilai tidak cukup produktif dan berdampak untuk masyarakat. Presiden Joko Widodo mengungkapkan terdapat temuan-temuan yang di dalamnya biaya pelaksanaan suatu program lebih rendah dibanding biaya perjalanan dinas yang dihabiskan. “Misalnya untuk program penyuluhan tenaga pertanian dengan total anggaran Rp 1,5 miliar, pagu belanja perjalanan dinasnya mencapai Rp 1 miliar,” ujar dia, kemarin.
Jokowi mengatakan biaya perjalanan dinas yang masuk biaya operasional alias overhead cost harus ditekan seefektif dan seefisien mungkin. “Seharusnya tidak lebih dari 20-25 persen dari total anggaran,” ucap dia. Menurut Presiden, alokasi anggaran belanja pegawai yang tidak produktif itu akan menjadi catatan evaluasi penting untuk meningkatkan kualitas belanja.
“Kita harus memastikan pelaksanaannya baik, terus dimonitor dan dievaluasi agar lebih tepat sasaran sehingga hasilnya betul-betul dirasakan rakyat,” Jokowi menuturkan. Alih-alih habis untuk biaya operasional dan perjalanan dinas, Jokowi mengimbuhkan, sasaran dan hasil dari program yang dicanangkan harus menjadi fokus utama dalam alokasi penggunaan anggaran.
Terjadi Setiap Tahun
Suasana di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta. TEMPO/magang/Ahmad Tri Hawaari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, berujar inefisiensi belanja dan disalokasi anggaran merupakan masalah klasik yang terjadi setiap tahun. Temuan belanja negara yang mubazir, khususnya di pos belanja pegawai, kerap berulang. “Ini seperti fenomena gunung es, yang mencerminkan bahwa memang sistem birokrasi anggaran kita mengalami masalah yang fundamental,” ucapnya.
Reformasi belanja dibutuhkan khususnya untuk mengarahkan dan memastikan belanja yang dilakukan di lintas kementerian/lembaga dan daerah berjalan harmonis sesuai dengan target utama yang ingin dicapai. “Selama ini terasa parsial sehingga masih saja ditemukan tumpang-tindih belanja antar-kementerian/lembaga. Karena itu dibutuhkan instrumen pengawasan serta evaluasi untuk setiap program dan kegiatan,” kata Abra.
Beban biaya pegawai kian berat akibat kenaikan tunjangan kinerja (tukin) pegawai negeri di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kenaikan itu disebut sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap kinerja baik yang diberikan berdasarkan penilaian pemerintah.
Meski demikian, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, memastikan adanya kenaikan tukin pegawai negeri itu tidak membebani APBN yang sedang berjalan. “Anggaran untuk menaikkan tukin tahun ini bisa dicukupi dengan anggaran yang sudah disediakan di setiap kementerian/lembaga melalui optimalisasi," kata dia. Sedangkan pada 2024, kenaikan tukin akan diperhitungkan ulang dalam peningkatan belanja di masing-masing kementerian/lembaga.
Baca juga: Lima Prioritas Belanja Negara Tahun Depan
Tidak Sejalan dengan Reformasi Birokrasi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan porsi belanja pegawai yang terlalu besar dalam anggaran pemerintah pusat sudah masuk kategori memberatkan sehingga tidak sejalan dengan komitmen reformasi birokrasi. “Kalau ingin mereformasi birokrasi ya porsi belanja pegawai dalam APBN harus diturunkan. Apalagi memasuki tahun politik, anggaran yang berkaitan dengan belanja akan rawan dipolitisasi,” ujarnya.
Penghematan biaya belanja pegawai, Bhima berpendapat, dapat dialihkan untuk kebutuhan pro-rakyat lainnya, seperti perlindungan sosial serta stimulus untuk dunia usaha, di tengah dinamika perekonomian global yang menyebabkan peningkatan gelombang pemutusan hubungan kerja. “Relevansi programnya harus ditinjau ulang, jangan sampai anggaran birokrasinya besar tapi tidak relevan dampaknya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo