Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Belum sampai kartu merah

Kredit macet yang melanda bank-bank pemerintah telah menurunkan gengsi perbankan Indonesia di mata lembaga keuangan asing. tapi dana masyarakat yang masuk ke bank-bank itu semakin besar saja.

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FANTASTIS! Itulah komentar seorang pengamat ekonomi setelah mendengar peristiwa kredit macet Bapindo yang lebih kurang sama besarnya dengan krisis keuangan Pertamina 20 tahun silam: US$ 10,5 miliar atau Rp 1,3 triliun. Jumlah tersebut kurang lebih sama besarnya dengan sasaran penerimaan Pajak Bumi & Bangunan (PBB) 1994-1995. Itu baru sebuah paket kredit dari Bapindo. Belum lagi kredit macet di seluruh perbankan kita, yang menurut data Bank Indonesia (BI), sampai Desember 1993 mencapai Rp 6,07 triliun. Barangkali karena itu pula, kendati suku bunga deposito sudah turun hingga 10-11% setahun, bank-bank masih gemar memasang suku bunga pinjaman 17% setahun. Selisih besar ini, menurut seorang bankir swasta, banyak dipakai untuk menambal biaya kredit macet. "Bunga yang dinikmati oleh bank sebenarnya cuma setengah persen," kata bankir tadi. Tidak salah jika Dekan Fakultas Ekonomi UI, Dr. Arsjad Anwar, merasa waswas mendengar komentar orang di luar negeri. "Mereka bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi dengan lembaga keuangan di Indonesia," kata Prof. Arsjad. Perasaan seperti itu pula dikemukakan oleh James T. Ryadi, Presiden Direktur dari konglomerat Lippo Group. "Sekarang ini memang agak sulit untuk memperoleh pinjaman dari pihak asing. Apalagi setelah adanya kasus Bapindo, tentunya, akan semakin sulit," kata James. Sebagai contoh, dulu perbankan di Indonesia bisa memperoleh pinjaman dengan bunga 1,5% di atas Sibor (bunga antar-bank yang berlaku di Singapura). Sekarang sudah naik menjadi 2% di atas Sibor. Adakah peran Indonesia yang terkenal sebagai negeri yang stabil politiknya mulai kurang bergengsi di mata para calon investor? Begitulah penilaian CIS (Capital Information Service) di Hong Kong. Lembaga yang mengedarkan analisanya setiap kuartal secara terbatas, belakangan ini telah menempatkan rating Indonesia dalam peringkat BBB. Artinya, tak banyak berubah dari posisi 1990. Rating keuangan sebuah negara biasanya dinilai dari yang paling bagus, yakni AAA atau triple A (seperti Swiss), lalu triple A minus double A plus double A double A minus single A plus single A single A minus triple B plus triple B triple B minus dan seterusnya sampai C minus (lihat TEMPO, 5 Februari 1994). Adapun RRC dan Malaysia, kini sudah melejit di peringkat A. "Ini mengejutkan. Beberapa waktu yang lalu posisi kita masih sama dengan RRC," kata Direktur PDBI, Christianto Wibisono. Orang masih bisa berdebat, apakah macetnya kredit besar itu merupakan biang kerok turunnya peringkat Indonesia di luar negeri. Tapi yang agaknya pasti, banyak pengusaha yang terkena penyakit sulit tidur sejak Menteri Keuangan dan Gubernur BI mengeluarkan instruksi untuk memantau sekitar 600 nasabah besar di enam bank pemerintah. "Rasanya nggak enak terus-terusan dimonitor. Makanya kami sudah bersiap-siap untuk keluar dari bank pemerintah," kata seorang pengusaha terkenal di Jakarta. Dia terlibat utang bermasalah sebesar US$ 150 juta kepada bank pemerintah. Suatu jumlah yang konon merupakan setengah dari kredit yang diterimanya dari beberapa bank pemerintah. Keluar dari bank pemerintah sudah dilakukan oleh Grup Barito. Jika para pengusaha mengambil sikap seperti itu, lalu lebih suka mencari dana di negeri orang, yang terpukul tentu bank pemerintah juga. Bukan apa-apa. Para pengusaha kelas konglomerat itu umumnya merupakan tambang bunga penghasilan bank- bank pemerintah yang cukup besar. Adakah bahaya bank pemerintah akan dinyatalkan bangkrut? Rasanya kok tidak. Buktinya, tak terdengar ada penarikan dana besar-besaran dari Bapindo yang lagi dirundung malang, misalnya. Juga bank pemerintah lainnya, yang sejak paruh tahun lalu dililit urusan kredit macet, kelihatannya masih tenang. Menarik untuk disimak, betapa dana yang masuk ke bank pemerintah malah menunjukkan kenaikan yang luar biasa. Menurut data dari BI, di bulan Juni 1993, ketika kabar kredit macet menembus pintu-pintu gerbang bank pemerintah, posisi dana (rupiah dan valuta asing) yang dihimpun bank pemerintah mencapai Rp 55 triliun. Dalam tiga bulan, di tengah gegernya kredit macet, dana pihak ketiga yang masuk ke bank-bank pemerintah bertambah dengan Rp 7,7 triliun. Padahal, di saat yang sama, bank swasta cuma mampu menarik dana Rp 4 triliun. Barangkali itu pula sebabnya, seorang ahli keuangan menilai perbankan Indonesia baru terkena "kartu kuning" di mata asing. Krisis kepercayaan, memang, merupakan satu hal yang selalu dicegah oleh Bank Indonesia. Karena itu, menurut ekonom kondang Marie Pangestu, ketegasan sanksi terhadap bank-bank yang melakukan praktek-praktek berbahaya merupakan hal yang penting saat ini. "Krisis kepercayaan terhadap bank ini tergantung bagaimana kita menanganinya. Jepang juga punya masalah kredit macet yang cukup serius," kata Mari Pangestu.Bambang Aji dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum