EDDY TANSIL mendapat duitnya, Bapindo kebagian getahnya. Dan getah kredit macet bukan sekadar menjerat, tapi juga bisa menjatuhkan kreditur. Tak mengherankan bila ada yang mengkhawatirkan ketidakmampuan Bapindo dalam membayar banker's draft -- yang dibeli oleh perusahaan asing dan dananya disalurkan ke tiga proyek petrokimia milik Eddy Tansil -- saat surat berharga itu jatuh tempo, akhir tahun ini. Ujung rasa khawatir itu adalah kemungkinan berubahnya kredit itu menjadi kredit macet. Yang meragukan kelancaran pelaksanaan proyek itu adalah A. Baramuli dari Komisi VII DPR RI. Oktober tahun lalu, diam-diam ia melongok kompleks petrokimia milik Eddy Tansil yang berlokasi di Cilegon itu. "Saya melihat, belum ada mesinnya," kata Baramuli. Padahal, menurut informasi yang diterimanya, seharusnya awal 1993 barang yang dibutuhkan sudah sampai. Ia curiga: dikemanakan dana itu? Bila proyek ini mandek di tengah jalan, beban yang disangga pasukan Direktur Utama Bapindo, Towil Heryoto, makin berat. Tanpa belitan Golden Key pun, Bapindo sudah menghadapi masalah yang cukup menyesakkan. Tiga tahun terakhir ini, kredit macet yang dialami Bapindo terus meningkat. Dari kredit yang disalurkan Rp 9,8 triliun tahun lalu, sekitar 5,4% (Rp 485 miliar) masuk kelompok macet. Ini merupakan peningkatan hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1992, kredit yang macet 2,9% (Rp 248 miliar). "Ini karena tahun lalu kita dihantam suku bunga tinggi," kata Towil Heryoto di DPR, Rabu pekan lalu. Jumlah kredit macet bank pemerintah yang tertinggi disandang oleh BDN, dan terendah BNI. Juli lalu, mereka yang tak membayar tunggakan selama lebih dari 21 bulan dimasukkan dalam daftar cekal. Dan dari 300 nama yang tak boleh meninggalkan Indonesia itu, negara punya piutang sebesar Rp 2,1 triliun. Dari jumlah ini, biasanya sebagian saja yang bisa ditagih. Menurut pengalaman seorang pejabat penting di BUPLN, dari kasus yang diajukan ke kantornya, hanya sekitar 35% piutang yang dapat ditangani. Pejabat itu mengeluh. Ia paling kesal kalau mengeksekusi agunan milik Bapindo dan Bank Bumi Daya. "Kalau terpaksa dilelang, agunannya paling cuma laku separuh di bawah harga pasar," tuturnya. Agunan di kedua bank itu, biasanya, punya sifat khas: cacat hukum, atau dihargai terlalu tinggi. Ini lain dengan agunan di bank swasta, yang biasanya bersih dari persoalan hukum sehingga bisa laku sampai 80% dari harga pasar. Selain BUPLN dengan cekalnya, ada lembaga gijzeling alias lembaga sandera, yang dianjurkan oleh sejumlah pakar agar diaktifkan kembali. Mengapa? Karena, jika debitur tak mungkin dipaksa membayar utangnya -- padahal ia mampu -- si nakal ini perlu diberi pelajaran dengan penyanderaan. Dan mereka ini bisa "dititipkan" di rumah tahanan maksimal 14 hari. Tapi, pada tahun 1965, Mahkamah Agung mengeluarkan edaran yang isinya melarang gijzeling. Barulah pada tahun lalu muncul keinginan untuk menghidupkannya kembali, tapi belum kesampaian. Ide lain yang terlontar adalah melibatkan kejaksaan dalam merampungkan urusan kredit macet. Di sini kejaksaan berfungsi sebagai penengah, wasit, atau negosiator. "Kalau terpaksa, baru kita tempuh jalur pengadilan," kata Suhadibroto, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Ada yang berpendapat, tindakan melibatkan kejaksaan dan mencekal masih belum cukup. Profesor Sadli, bekas anggota kabinet yang kini lebih dikenal sebagai pengamat ekonomi, pernah menyatakan, sebaiknya para penunggak yang nakal itu diumumkan. "Ini merupakan suatu tanda bahwa pertanggungjawaban kepada masyarakat dilakukan secara serius," katanya. Seorang bankir pemerintah yang terkemuka mengakui betapa beratnya menuntaskan masalah kredit macet. "Ini persoalan berat. Masing-masing punya persoalan sendiri sehingga kami tak bisa menyamaratakan persoalan," tuturnya. Lalu, apa yang dilakukan bankir ini? "Itu adalah bagian kerja kami yang tak perlu diceritakan," katanya. Lain lagi tindakan bank pembangunan daerah (BPD) di Sumatera Utara dalam mengatasi rongrongan kredit macet. Sejak diangkat menjadi Direktur Utama BPD Sumatera Utara, Agustus 1992, Armyn dihadang persoalan kredit macet yang menumpuk selama empat tahun, sebesar Rp 100 miliar. Ini jumlah raksasa mengingat jumlah kreditnya saja tahun lalu Rp 200 miliar. Untuk menagih tunggakan itu, Armyn menempuh cara yang tidak lazim. Ia setiap hari mengirimkan orang-orangnya ke nasabah penunggak. Rumah nasabah itu ditongkrongi, difoto. Dan akhirnya, karena tak tahan menanggung malu, nasabah membayar utangnya. Lewat cara itu, dalam waktu dua tahun Armyn berhasil menggaet kembali kredit yang macet sebesar Rp 43 miliar. Tapi dia banyak mendapat protes. Yang dikhawatirkan, semua bank pemerintah yang tergencet kredit macet akan mengambil jalan pintas seperti Armyn. Wah, bisa geger.Iwan Q.H., Dwi Setyo Irawanto, dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini