EKSPOR barang-barang kerajinan rakyat memang dirangsang dengan
kebijaksanaan 15 Nopember. Eksportir akan beroleh rupiah lebih
banyak. Tapi itu tidak sendirinya membuat para produsen dan
eksportir kerajinan rakyat gembira.
Kesan ini tampak pekan lalu ketika berlangsung rapat antara
produsen eksportir kerajinan rakyat dengan Badan Pengembangan
Ekspor Nasional (BPEN) di gedung Sarinah Jakarta. Sekitar 12
eksportir menyampaikan umpan balik tentang apa yang tengah
dihadapi pada Ny. Suwarmilah, Kepala Pusat Pengembangan
Pemasaran Hasil Industri Kerajinan BPEN, Deperdagkop.
"Bagi eksportir, K-15-N memberikan angin baru," kata Husni
Hakim, manajer ekspor PT Japirex, salah satu eksportir terbesar
barang kerajinan rakyat. Namun "masih banyak yang harus diisi
dan dipecahkan pemerintah untuk peningkatan produksi," katanya.
Sebastian Tanamas (50 tahun) direktur Tanamas Industri & Co yang
juga ketua II Asosiasi Eksportir & Produsen Handicraft Indonesia
(Asephi) berkata: "Kami tak minta dianak emaskan, tapi jangan
pula dianak-tirikan." Selama ini PMA dan PMDN mendapat berbagai
fasilitas seperti tax holiday, pembebasan bea masuk, keringanan
pajak dan pemutihan modal. "Bagi kami jangankan mendapatkan
fasilitas itu, minta kredit pun amat sulit." Menurut dia, yang
diperlukan para produsen dan eksportir dewasa ini adalah
kemudahan, baik untuk mendapatkan kredit, prosedur ekspor dan
uang tambang kapal laut (ocea freight) yang lebih murah.
Jaminan
Berbagai upaya telah dicoba pemerintah untuk menggalakkan ekspor
kerajinan rakyat ini, seperti pembebasan pajak ekspor mulai
tahun 1971. Pintu kredit pun sudah dibuka liwat paket 1 April
1976 dengan penurunan sukubunga bank dari 18% menjadi 12%
setahun. BPEN dengan gencar melakukan promosi di mancanegara
dengan hasil "permintaan banyak, tapi realisasi sedikit," kata
Tanamas. Tahun lalu, hasil devisa yang diraih termasuk batik US$
18,3 juta, sedang Pilipina yang berpenduduk 38 juta, ekspor
kerajinan rakyatnya menghasilkan devisa lebih US$ 200 juta
setahun. Salah satu sebab keberhasilan Pilipina karena sektor
industri kerajinannya ditangani satu badan khusus yang
bertanggung jawab di bidang produksi dan pemasaran. Kredit bank
di Pilipina gampang diperoleh dengan bunga 6% setahun. Di
Indonesia ada Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal
Kerja Permanen (KMKP). "Tapi pada tahun 1976 cuma tersalurkan
40% dari dana yang disediakan Bank Indonesia" kata Husni Hakim.
60% sisanya masih mengendap di bank-bank pemerintah. Fasilitas
KIK dan KMKP rupanya kurang mampu mencapai sasaran. Pihak Asephi
beranggapan tidak tersalurnya dana itu "karena bank-bank kita
masih terlalu kaku mendasarkan pemberian kredit atas tersedianya
jaminan yang cukup atau koneksi." Bagaimana mengatasi
permodalan? Modal kerja pengrajin terbatas hingga tergantung
pada eksportir yang memberikan uang muka. Akibatnya: perputaran
menjadi lamban.
Faktor penting lain yang menghambat peningkatan ekspor menurut
pihak Asephi maupun BPEN adalah faktor freight yang mahal
dibanding negara-negara tetangga. Merckx-Desser and co Ltd,
sebuah perusahaan kongsi Belgia dan Inggeris misalnya, memesan
pada sebuah perusahaan di Jakarta minimal 20 peti kemas @ 50
buah kursi rotan setiap pengapalan. Harganya menarik: US$ 40 per
kursi FOB. Namun ekspor sulit dilaksanakan karena ocean freight
Tanjung Priok-Antwerpen yang diminta pihak perkapalan untuk 1
peti kemas berkisar antara US$ 2300 sampai US$ 2400. Jadi, untuk
1 kursi sampai di Antwerpen jatuhnya US$ 88. Dengan kata lain
untuk freight-nya saja dua kali lipat dari harga barang. Di
Singapura untuk tujuan yang sama ongosnya cuma US$ 1800 per peti
kemas, dan dari Hongkong hanya US$ 1500. Seorang pengusaha
meubel menyaranan agar pemerintah menurunkan Freight rate itu.
Jika tidak mungkin, agar kapal asing dari Singapura diizinan
singgah di Priok mengambil peti kemas berisi kursi rotan itu.
Kabarnya Desser and Co Ltd berusaha mengalihan permintaannya
pada Bangkok atau Singapura.
Dibatasi
Situasi yang sama juga dirasakan unuk pelayaran Priok-Brisbane
di pantai Timur Australia. "Minat luar negeri besar sekali untuk
barang-barang kerajinan Indonesia, meubel rotan dan kayu maupun
barang anyaman," kata Sebastian Tanamas yang menghadiri Pekan
Promosi Dagang Asean di Australia baru-baru ini. Eksportir kita
bukannya tidak bisa memperoleh order-order besar. Tapi
permintaan itu tak bisa dilayani karena terbentur freight kapal
dan EMKL yang tinggi.
Ongkos angkutan udara dengan Garuda pun lebih tinggi 20-30%
dibandingkan maskapai penerbangan asing dari Singapura,
Perancis, Soviet atau Australia. "Meski sama-sama anggota IATA,
maskapai asing itu memberikan potongan harga 40% bahkan ada 50%
dari tarif IATA," kata Husni Hakim. Kepusingan lain yang diakui
BPEN adalah mahalnya biaya bongkar muat di Tanjung Priok. Di
Hongkong misalnya, sebelum devaluasi jika dihitung dalam rupiah
cuma Rp 3000 per kubik, sedang di Priok bisa menelan antara Rp
5000 sampai Rp 10.000. Maka Asephi mengharapkan agar para
eksportir barang-barang kerajinan dapat langsung menghandle
barang-barangnya, seperti di Singapura dan Eropa. Selain itu
untuk mendorong ekspor hasil kerajinan rotan ekspor rotan mentah
agar dibatasi. Sebab 76% dari produksi rotan dunia berasal dari
Indonesia.
Bagaimana pun juga agaknya usaha perbaikan sepotong-sepotong itu
belum akan bisa membebaskan ekspor hasil kerajinan rakyat
Indonesia dari keruwetan yang melingkarinya. Mungkin cara
terbaik adalah apa yang telah dikemukakan Menko Ekuin Widjojo
pada TEMPO dua pekan lalu: "Model Bimas harus berlaku juga di
bidang kerajinan rakyat." Artinya sinkronisasi di berbagai
sektor, penyuluhan, bantuan dana maupun peraturan yang lebih
"memudahkan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini