APAKAH harga minyak mentah akan naik? Inilah pertanyaan yang
diharapkan akan terjawab dalam konperensi para menteri
perminyakan negara OPEC di Abu Dhabi, ibukota Uni Emirat Arab
(UEA) yang dimulai 16 Desember ini. Harga minyak dunia telah
dibekukan selama 2 tahun terakhir ini pada tingkat $ 12,70 per
barrel (untuk standar minyak ringan Arab Saudi). Dengan alasan
inflasi serta turunnya nilai dollar, banyak negara produsen yang
menuntut penyesuaian kembali harga.
Kembali sikap negara OPEC terbagi dua. Sikap keras yang menuntut
kenaikan sampai 25% diwakili Irak, Libia dan Aljazair. Sikap
moderat seperti biasa diambil Arab Saudi dan UEA. Iran yang dulu
menganut garis keras kali ini tidak banyak bersuara. Mungkin
sekali ini karena krisis politik yang sedang dialaminya, yang
mengakibatkan produksi minyaknya sejak akhir Oktober merosot
sampai 75%. Bisa jadi untuk menutup kerugian ini Iran juga akan
mendukung kenaikan harga yang tinggi.
Bagaimana Indonesia? "Indonesia mengharapkan dan berusaha untuk
dapatnya diadakan penyesuaian harga minyak mentah pada sidang
OPEC mendatang," kata Menteri Pertambangan dan Energi Subroto
pada Komisi VI DPR awal bulan ini. Tapi penyesuaian itu harus
sedemikian rupa hingga tidak mengancam perekonomian dunia yang
akhirnya dapat merugikan Indonesia sendiri terutama dalam usaha
meningkatkan ekspor non-minyak.
Jelas ini sikap moderat: Indonesia mendukung kenaikan, harga
tapi tidak drastis. Menurut perhitungan Dana Moneter
International (IME), dibanding 1976 waktu harga minyak dunia
naik. Inflasi dunia mencapai tingkat sedikit di atas 10%. Sedang
nilai dollar dibanding SDR (special drawing right) turun sampai
13%. Hingga penyesuaian harga yang riil adalah antara 20 - 25%.
"Jelas Indonesia tidak akan menerima kenaikan setinggi itu,
sebab kalau dipaksakan perekonomian kita bisa terganggu," kata
Adimir Adin, Sekretaris Ditjen Migas pada TEMPO pekan lalu.
Bulan lalu Adimir mewakili Indonesia dalam sidang Economic
Commission Board (Dewan Ekonomi) OPEC di Jenewa yang selalu
bersidang mendahului pertemuan tingkat menteri.
Sikap keras beberapa negara OPEC mungkin karena minyak merupakan
sumber satu-satunya devisa mereka. Bagi Indonesia kenaikan harga
yang melonjak bisa mengganggu perekonomian dunia yang kemudian
bakal mempengaruhi ekspor non-minyak kita. Ini yang ingin
dihindari.
Semua tahu, akhirnya Arab Saudi sebagai produsen terbesar yang
akan menentukan. Bulan lalu Menteri Perminyakan Saudi, Zaki
Yamani, mengatakan pada prinsipnya ia menentang tiap kenaikan
harga minyak, tapi ia meragukan kemampuan negaranya untuk
menawarkan sikap ini pada negara OPEC lain. Isyarat ini berarti:
Saudi setuju kenaikan harga. Pekan lalu Yamani berbicara lebih
jelas lagi ia bisa menerima kenaikan sampai 8%. Tapi kenaikan
itu diingininya dilakukan secara bertahap, pertriwulan atau 6
bulan.
Ada yang menganggap kenaikan bertahap itu akan merepotkan.
"Sebenar nya tidak sulit. Bagi konsumen yang penting suatu
kepastian, hingga mereka bisa mengadakan kalkulasi harga
berdasarkan itu dan bisa mengadakan persiapan. Yang mereka
hindari kejutan yang membuat kacau perencanaan," kata Adimir
Adin. Tampaknya kompromi kenaikan harga moderat yang akan
tercapai di Abu Dhabi. Berapa? "Syukur dapat 10%. Bagi kita itu
sudah baik," jawabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini