Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami telah memulihkan kepercayaan dan kedaulatan ekonomi, sekaligus mengangkat kredibilitas nasional." Kata-kata itu terlontar dari mulut Jin Nyum, Menteri Keuangan Korea Selatan (selanjutnya disebut Korea), ketika melunasi cicilan terakhir utang negaranya ke Dana Moneter Internasional (IMF) dua tahun lalu. Jin dan seluruh rakyat Korea pantas berbesar hati karena Korea hanya perlu waktu satu tahun untuk melewati masa post-program monitoring (PPM) dengan IMF.
Indonesia diperkirakan akan sulit mengikuti prestasi Korea itu. Seperti diumumkan dua minggu lalu, pemerintah telah memutuskan mengikuti PPMsetelah kerja sama dengan IMF berakhirserta mencicil utang, setidaknya untuk satu tahun mendatang.
Kebijakan yang sangat hati-hati ini segera ditanggapi oleh para ekonom yang tergabung dalam tim "Indonesia Bangkit". Mereka menilai pemerintah tidak percaya diri karena enggan mempercepat pelunasan utang dan memilih PPM. Akibatnya, menurut Dradjad Wibowo, pemerintah menunda kesempatan membuat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan domestik.
Dradjad berpendapat, Indonesia sebenarnya bisa saja menghindar dari PPM. Diakuinya, sejak pertengahan tahun 2000, IMF memang menetapkan bahwa seluruh anggotanya yang berutang lebih dari kuota wajib mengikuti PPM. Namun, menurut Dradjad, ketentuan itu bukan harga mati. "Memang tidak ada yurisprudensi untuk itu," katanya lagi. Hanya, perjanjian kredit multilateral tidak harus selalu mengikuti apa yang telah terjadi. Dradjad lalu menyebutkan Islamabad Scheme sebagai pengecualian. "Apakah sebelumnya ada negara lain yang mendapat penghapusan utang seperti yang diterima Pakistan?" demikian ia mempertanyakan.
Namun, tak sedikit pula yang mendukung PPM. Mereka menilai tidak salah mengikuti PPM dulu, kemudian baru memikirkan percepatan pembayaran utang. "Terlalu riskan jika langsung melakukan percepatan pembayaran. Apalagi tahun depan ada pemilu," ujar Anton Gunawan, ekonom Citibank di Jakarta. Ia menilai IMF tidak lagi akan terlalu mendikte Indonesia karena PPM lebih bersifat konsultasi. "Semua negara anggota IMF yang utangnya di bawah kuota pun wajib berkonsultasi dengan IMF setiap tahun," ia menegaskan.
Becermin pada pengalaman Korea dan Thailanddua negara yang telah lulus dari IMFpilihan Indonesia pada PPM sepertinya tidak terlalu buruk. "Yang penting, bagaimana pemerintah bisa merancang kebijakan ekonomi dan meyakinkan IMF bahwa kebijakan itu perlu," ujar seorang analis yang enggan disebut namanya. Berikut sekelumit cerita di balik keberhasilan Korea dan Thailand.
Thailand
Negeri Gajah Putih ini jatuh sebagai korban pertama, di tangan para spekulan uang kelas dunia. Pada 1999, para ekonom pun memperkirakan Thailand tidak akan menjadi negara pertama yang pulih. Ramalan itu didasarkan pada lambatnya pemerintah Thailand merestrukturisasi sektor usaha. Belakangan terbukti bahwa Thailand memang didahului oleh Korea dalam menyelesaikan program PPM.
Di masa PPM, Thailand sempat mengalami pergantian kepala pemerintahan dari Chuan Leekpaiterkenal dengan julukan Mr. Cleanke Thaksin Sinawatra. Terjadi pada akhir tahun 2000, di bawah kepemimpinan Thaksin yang kontroversial itu, Thailand menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih progresif. Dradjad menuturkan bahwa IMF sempat uring-uringan menghadapi sepak-terjang Thaksin. Maklumlah, Thaksin meluncurkan sejumlah stimulus ekonomi, terutama di sektor pertanian, yang membutuhkan dana. Sementara itu, IMF bersikukuh dengan jurus pengetatan anggaran.
Namun, IMF tak kuasa untuk tidak mengacungkan jempolnya saat Thailand berhasil melewati PPM. Dradjad turut memuji Thaksin. "Pemberian kredit memungkinkan para pelaku usaha memutar kembali roda bisnis mereka," ujarnya. Dengan stimulus semacam itu, tidak hanya lapangan kerja yang terbuka, tapi kualitas kredit sektor pertanian yang sempat macet pun dapat membaik," demikian Dradjad menyimpulkan.
Korea
Korea pantas menjadi negara nomor satu yang menuntaskan kerja sama dengan IMF. Sebelum memasuki periode PPM, Negeri Ginseng ini pun sudah lebih serius dibanding Indonesia dan Thailand dalam mereformasi sektor korporat, yang merupakan jantung utama permasalahan negara-negara Asia. Salah satu "korban" kebijakan pemerintah Korea adalah kelompok usaha Daewoo, chaebol terbesar kedua di Korea, yang harus terpecah di tahun 1999. Proses restrukturisasi utang sektor swasta di Korea kian mulus karenaseperti kata Anton Gunawansebagian besar kreditor mendukung mereka. Apalagi Korea relatif tidak mengalami gangguan di sektor politik.
Dalam pandangan Dradjad, keberhasilan Korea keluar dari krisis tak lain karena pemerintahnya bersedia memproteksi industri andalan, yaitu microchip. Dengan industri barang canggih itu, Korea mampu menggenjot surplus perdagangan sehingga mampu mencicil utang.
THW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo