Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bendera hitam di kediri

Surya wonowijoyo, pendiri perusahaan rokok gudang garam, meninggal dunia di selandia baru, akibat serangan jantung. perusahaan diteruskan anak-anaknya, sedang dibayangi masa sulit oleh persaingan. (eb)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Bendera hitam di kediri
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TAK ada deringan bel sepeda pagi itu. Juga tak ada gending Jawa yang mengalun mengiringi pembuatan rokok kelobot seperti lazimnya. Keriuhan ribuan buruh Gudang Garam hilang, Sabtu lalu, dan mereka ikut berjejal hening di pinggir jalan dekat pabrik di Kediri. Tiga buah helikopter lalu mendarat di halaman pabrik unit-III Dandangan, menurunkan sebuah peti mati berselimutkan kain merah. Mereka berduka. Pemilik dan pendiri pabrik rokok kretek terbesar, Surya Wonowidjojo, 62, meninggal. Surya memang telah lama menggunakan katup jantung sintetis - terbuat dari plastik - sejak operasi di Auckland, Selandia Baru, 1974. Sewaktu ia beristirahat di vilanya di Batu, Malang, pertengahan Agustus lalu, penyakit jantungnya kambuh. Kedatangan dua dokter ahli dari Singapura tak mampu mengatasi keadaan. Baru, setelah dr. Brian Barrat Boyes yang dulu mengoperasi jantung Surya datang, diketahui bahwa katup telah tak berfungsi lagi. Pesawat DC-10 Garuda dicarter untuk menerbangkan Surya ke Selandia Baru. Namun, terlambat. Sebelum sempat dioperasi lagi, Kamis pekan lalu, Surya tak tertolong. Hanya jenazah yang dapat diterbangkan kembali ke Surabaya, untuk selanjutnya diangkut ke Kediri dengan heli. Beberapa karangan bunga - di antaranya dari Presiden dan gubernur Jawa Timur - mewarnai iringan duka itu. Banyak hal yang telah diperbuat Surya terlahir sebagai Tjoa Jien Hwie di Fukkien, Cina, yang diajak ayahnya merantau ke Sampang, Madura, selagi usianya tiga tahun - bagi masyarakat Kediri: Semula ia bekerja di pabrik rokok "93" milik pamannya. Karena berselisih paham, ia keluar membawa 50 buruh, dan mendirikan pabrik rokok sendiri, dengan Gudang Garam sebagai merk. Dengan sedikit modal, kerja keras - "kadang ia harus bergadang sampai pagi," kata Thomas Darmadji, yang pernah membantu Surya dalam distribusi - ditambah kemampuannya membuat saus rokok yang memilin lidah, usaha Surya berkembang. Selama dua puluh tujuh tahun, Gudang Garam tumbuh hingga punya enam unit pabrik yang berdiri di atas tanah 100 hektar. Jumlah buruh juga membubung. Setidaknya, lebih dari 42 ribu buruh dan 3 ribu karyawan tetap - sebanding dengan jumlah karyawan Pertamina - yang menopang dan menggantungkan hidup pada Gudang Garam. Dari sana, tahun lalu, dihasilkan 11,4 milyar batang sigaret kretek tangan serta 12,7 milyar batang sigaret kretek mesin. Suatu jumlah yang masih lebih banyak dibanding Djarum, 20,6 milyar batang, serta Bentoel yang menghasilkan 10,1 milyar batang (TEMPO, 29 Juni 1985). Dengan omset lebih dari Rp 800 milyar, tuah keberhasilan Surya juga mengalir ke pemerintah melalui cukai. Selama lima tahun ini, Gudang Garam setiap tahun menyetor lebih dari Rp 100 milyar - atau rata-rata 35% dari seluruh penerimaan cukai rokok negara. Melimpahnya keuntungan juga tumpah ke masyarakat sekitarnya, dengan pembangunan jalan dan penerangan listrik puluhan kilometer sarana pendidikan dan olah raga, sampai pembangunan masjid. Tapi Surya tak mungkin terus-menerus berperan sendirian. Usia dan kondisi fisiknya mengharuskan Surya menunjuk pengganti: pilihan, ternyata, jatuh pada Rachman Halim, anak tertuanya sendiri. Sedang ilmunya meracik dan mencicip saus rokok telah diturunkannya kepada Soesilo, anak keempatnya. Tak ada perubahan manajemen, kecuali semacam alih generasi. Namun, alih generasi dibayangi dengan masa sulit. "Kami benar-benar akan mengalami ujian untuk tetap bisa bertahan," kata Halim, terus terang. Masalahnya, Djarum Kudus, saingan terdekatnya, sangat gencar menyerang lewat berbagai usaha dan berhasil merebut 7,5 milyar batang pasar baru (meningkat 55%) serta mengurangi pemasaran 2,6 milyar batang Gudang Garam. Waswas akan persaingan itu, Surya, yang telah menjadi presiden komisaris itu, terjun kembali mengawasi langsung jalannya usaha. Promosi yang dulu malu-malu dibangkitkan. Namun, nyawa tetap tak bisa diajak kompromi. Tahlil tujuh malam kini berdengung di musala Gudang Garam. Zaim Uchrowi Laporan Choirul Anam (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus