Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Kantong Kempis Menanti Janji

Arus kas PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memburuk. Terimpit masalah lesunya kinerja penjualan listrik, lonjakan biaya pembelian, tambahan utang, hingga pembayaran dana kompensasi pemerintah yang seret.

1 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Suasana sepi kantor PLN Pusat Jalan Trunojoyo, Jakarta, 27 Juli lalu. Tempo/Tony Hartawan
material-symbols:fullscreenPerbesar
Suasana sepi kantor PLN Pusat Jalan Trunojoyo, Jakarta, 27 Juli lalu. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Aneka penugasan baru di tengah memburuknya keuangan PLN.

  • Pertumbuhan penjualan melambat, beban pembelian listrik membengkak.

  • Dana kompensasi pemerintah yang tak kunjung tiba.

SEPUCUK surat singgah ke meja direksi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Rabu, 29 Juli lalu. Pengirimnya: Rida Mulyana. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu meminta direksi PLN membebaskan ketentuan rekening minimum dan biaya beban (abonemen) bagi pelanggan kelompok sosial, bisnis, dan industri untuk tagihan Juli-Desember 2020.

Pemerintah memutuskan konsumen di kelompok pelanggan tersebut cukup membayar sesuai dengan penggunaan setrumnya, tanpa biaya lain. Pelonggaran biaya ini berlaku bagi pelanggan kategori sosial dengan daya 220-900 volt-ampere (VA), juga konsumen kelas bisnis dan industri pengguna daya 900 VA ke atas. “Sebagai badan usaha milik negara, kami siap menjalankan kebijakan pemerintah,” kata Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril, Kamis, 30 Juli lalu.

Bob ogah berbicara banyak tentang efek kebijakan yang masih satu rangkaian dalam program stimulus pemerintah untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 tersebut. Toh, ini bukan pertama kalinya pemerintah memberikan kemudahan bagi pelanggan PLN selama pandemi. Awal April lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberian insentif dalam bentuk pembebasan tagihan listrik konsumen rumah tangga pengguna daya 450 VA, juga diskon pembayaran sebesar 50 persen untuk rumah tangga kelompok 900 VA.

Saat itu Rida mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak terhadap PLN. Tapi ia memastikan keuangan perusahaan setrum pelat merah ini tidak akan terganggu. Sebab, pemerintah akan mengalokasikan anggaran Rp 3 triliun untuk menanggung seluruh biaya yang didiskon atau digratiskan tersebut. “Uangnya tetap ada. Cuma, pembayarannya tiga bulan nanti. Sabar sedikit,” ujarnya, 2 April lalu.

Namun di kantor pusat PLN, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, penugasan berupa insentif anyar dari pemerintah itu menjadi buah bibir. Pembebasan abonemen sama saja mengurangi potensi penerimaan pendapatan pada semester II 2020. Padahal, seorang pejabat di PLN mengungkapkan, manajemen sedang kelimpungan. Capaian kinerja perusahaan sepanjang enam bulan pertama tahun ini merosot drastis akibat pandemi.

Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Amin A.K., juga khawatir kebijakan dadakan semacam itu bakal makin mengganggu arus kas PLN yang kritis. Sebab, dalam catatan alat kelengkapan DPR yang membidangi perindustrian—di antaranya BUMN dan usaha kecil-menengah—tersebut, pemerintah baru menganggarkan duit buat insentif pelanggan rumah tangga. “Yang ada baru anggaran program bebas tagihan dan diskon untuk konsumen rumah tangga senilai Rp 3 triliun,” tutur Amin, Rabu, 29 Juli lalu.

Dua hari sebelum surat Kementerian Energi diterima PLN, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebenarnya sudah membocorkan keputusan pemerintah memberikan pelonggaran pembayaran listrik bagi pelanggan sektor sosial, industri, dan bisnis tersebut. Menurut dia, kebijakan baru ini bertujuan mengakomodasi keluhan pelaku industri dan sektor pariwisata. “Mereka minta keringanan pembayaran minimum listrik,” ucapnya dalam konferensi video, Senin, 27 Juli lalu.

Kala itu, Airlangga memaparkan bahwa pelanggan yang berhak mendapat insentif baru ini meliputi 112.223 pelanggan kategori sosial, 330.653 pelanggan bisnis, dan 28.886 pelanggan industri. Bila dihitung menggunakan tarif minimum atau skema normal, tagihan Juli-Desember ketiga kelompok pelanggan ini diproyeksikan mencapai Rp 5,6 triliun. Adapun dengan kebijakan pelonggaran terbaru, pembayaran mereka diperkirakan tinggal Rp 2,6 triliun. Selisih pembayarannya, Rp 3 triliun, akan ditanggung pemerintah.

Menurut Ketua Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin, relaksasi abonemen listrik bagi industri merupakan arahan langsung dari Presiden Jokowi. Tim Satuan Tugas menyiapkan skema implementasinya bersama Kementerian Keuangan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus