Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan pada Ahad pekan lalu itu digelar oleh tiga bank milik pemerintah. Bank Mandiri, BRI, dan BNI mengundang pejabat dari sesama perusahaan negara yang bergerak di sektor nonbank, seperti PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT Garuda Indonesia Tbk, dan PT Krakatau Steel Tbk. Rapat pada hari libur itu membahas persoalan khusus, yakni kebutuhan dolar bagi sejumlah perseroan tersebut dalam beberapa bulan mendatang.
Urusan menjadi genting dan mendesak karena harga dolar Amerika Serikat di pasar terus melambung hingga level tertinggi sejak krisis moneter 1998. Kondisi bisa jadi lebih gawat jika perusahaan-perusahaan pelahap dolar itu dibiarkan liar mencari persediaan valuta asing untuk kebutuhan jangka pendek mereka. Sekretaris Perusahaan Bank BNI Tribuana Tunggadewi mengatakan pertemuan antarbadan usaha milik negara sektor bank dan nonbank rutin digelar secara periodik. "Untuk menjaga stabilitas nilai rupiah," katanya Kamis pekan lalu.
Salah satu peserta rapat menceritakan, topik obrolan pada Ahad itu meminta perbankan menjaga kekompakan memenuhi permintaan dolar, sehingga mereka tak perlu belanja ke luar dan semakin mengguncang pasar. Kebetulan, periode Maret-Juni, perusahaan-perusahaan itu memerlukan mata uang tersebut dalam jumlah besar. Ada yang harus membayar utang luar negeri yang jatuh tempo, sementara yang lain perlu dolar untuk mengimpor bahan baku atau membayar pembelian bahan bakar. "Jangan sampai bank yang satu lancar, yang lain sulit," ucapnya.
Analis BNI Securities, Thendra Chrisnanda, mengatakan kebutuhan dolar perusahaan meningkat menjelang pembagian dividen tahunan dan pembayaran utang pada April mendatang. Kebutuhan ini dinilai sebagai salah satu penyumbang melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Itu sebabnya, tiap dolar Amerika sudah diperdagangkan rata-rata Rp 13.022 sejak pekan pertama Maret. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah menyentuh angka 13.237 pada Senin pekan lalu—terendah dalam 16 tahun terakhir.
Loyonya rupiah ini membuat beberapa industri meriang. Salah satu yang terpukul adalah PT Krakatau Steel Tbk. Direktur Utama Krakatau Steel Irvan Kamal Hakim mengatakan, sebelum diterpa keperkasaan dolar, pabrik baja ini sudah terseok-seok akibat anjloknya harga produk mereka di pasar dunia. Tren harga baja canai panas atau hot rolled coil dunia menurun, dari rata-rata US$ 705 pada 2011, terjun bebas menjadi US$ 442 per metrik ton sejak pertengahan Januari lalu. "Mayoritas produsen baja dunia merugi," ujarnya.
Rendahnya harga baja dunia terjadi akibat melimpahnya produksi baja Cina. Tahun lalu Negeri Panda memproduksi hingga 802 juta ton. Jumlah itu melebihi konsumsi domestik mereka sebesar 751 juta ton. Kelebihan 51 juta ton inilah yang membanjiri pasar baja dunia, termasuk Indonesia.
Baja Cina sangat mudah masuk ke Indonesia karena tarif bea masuk yang rendah, yaitu 5 persen. Bea itu jauh di bawah negara tetangga, Malaysia, yang mengenakan tarif masuk 20 persen dan masih ditambah bea antidumping sementara sebesar 24 persen.
Banjir baja Cina di Indonesia dengan segera menggerus harga baja domestik. Harga baja canai panas domestik turun dari US$ 665,6 menjadi US$ 644,7 per metrik ton pada Desember tahun lalu. Di tengah memburuknya harga baja, datang badai kurs rupiah terhadap dolar.
Melemahnya rupiah membuat Krakatau Steel semakin berdarah. Mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli slab atau bahan baku baja setengah jadi dari Rusia dan bijih besi dari Brasil. Kebutuhan bahan baku impor ini mencapai 80 persen. Sebagian slab dibeli dari PT Krakatau Posco, perusahaan patungan antara Krakatau Steel dan Pohang Steel and Iron Company (Posco) dari Korea Selatan.
Krakatau Steel memegang 30 persen saham Krakatau Posco. Tapi, kendati berkongsi dan lokasi pabriknya berdempetan, pembelian slab dari Krakatau Posco tetap mengacu pada kurs dolar—sesuai dengan harga internasional.
Kebutuhan dolar juga meroket untuk membayar bahan bakar gas. Kendati gas dibeli dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Pertamina, Krakatau Steel harus membayar dengan patokan dolar senilai US$ 7,3-9,8 per juta British thermal unit (mmbtu). Sialnya lagi, turunnya harga gas dunia hingga US$ 4 per mmbtu sama sekali tidak bisa mereka nikmati. Alasannya, harga beli gas ke PGN dan Pertamina harus mengikuti kontrak yang bersifat tetap.
Direktur Keuangan Krakatau Steel Sukandar mengatakan kebutuhan dolar perusahaannya mencapai US$ 100 juta per bulan atau di atas Rp 1,3 triliun dengan kurs saat ini. Semakin mahal dolar, beban mereka akan semakin berat. Sebab, sebagian besar pendapatan dalam rupiah. "Inilah salah satu penyebab kerugian kami," tuturnya. Tahun lalu kerugian pabrik baja ini mencapai US$ 149 juta, dengan komposisi US$ 78 juta kerugian dari Grup Krakatau Steel dan US$ 71 juta disumbangkan KS Posco.
Sukandar berharap pemerintah segera memberlakukan kewajiban menggunakan rupiah untuk setiap transaksi di dalam negeri. Tujuannya agar harga beli gas ke PGN dan Pertamina serta harga beli slab ke Krakatau Posco dihitung dengan patokan rupiah. Ini akan menurunkan ongkos produksi hingga mencapai 60 persen.
Saat ini strategi Krakatau menghindari dampak buruk pelemahan rupiah ialah dengan melakukan lindung nilai atau hedging. Namun, kata Sukandar, langkah ini bukanlah solusi sempurna buat mereka dan bukan tanpa risiko biaya. "Hedging tidak melindungi kiri-kanan. Kalau giliran rupiah yang menguat, kami merugi."
SEMENTARA harga gas menjadi momok bagi Krakatau Steel, buat PT Pertamina yang berlaku adalah sebaliknya. Kesehatan keuangan perusahaan ini tertolong oleh harga gas yang diikat dengan kontrak tetap di awal. Kendati demikian, porsi keuntungan gas itu tidak menolong besarnya kerugian yang mereka derita. Lesunya kurs rupiah berimbas besar pada Pertamina. Sebab, perusahaan ini membutuhkan US$ 60-80 juta per hari atau setara dengan Rp 780 miliar-1 triliun.
Seorang pejabat pemerintah di sektor energi mengatakan Pertamina sedikit tertolong oleh harga minyak mentah yang rendah, yang sekarang rata-rata berada di angka US$ 50 per barel. Namun harga minyak mentah rendah juga membawa kerugian bagi Pertamina, yang harus menelan turunnya pendapatan dari penjualan crude di ladang minyak mereka di Aljazair, Vietnam, Irak, dan Malaysia.
Ini mengakibatkan Pertamina berpotensi merugi. Sebab, investasi di hulu tersebut berasal dari penerbitan surat utang internasional atau global bond, yang semuanya dihitung berdasarkan dolar. Dengan kalkulasi itu, investasi sektor hulu baru akan mendatangkan untung bagi Pertamina jika harga minyak mentah dunia di atas US$ 80 per barel.
Penerbitan global bond juga membawa persoalan tersendiri. Sejak 2011, Pertamina menerbitkan surat utang jenis ini lebih dari US$ 3 miliar saban tahun. Bunganya tergolong tinggi, yaitu 4,3-6,5 persen, dan harus dibayarkan setiap Mei. Itu sebabnya, menjelang waktu pembayaran tersebut, Pertamina selalu berbelanja dolar dalam jumlah besar. Sudah bisa dipastikan mereka makin merana bila rupiah terus melemah. Sebab, harga jual bahan bakar minyak nonsubsidi, seperti Pertamax 92 dan 95 serta Pertamina Dex, juga cenderung turun. Pada saat normal, produk nonsubsidi inilah yang menyumbang cukup besar bagi pendapatan mereka.
Seorang praktisi energi menghitung kerugian Pertamina mencapai Rp 800 miliar pada Februari lalu. Kerugian ini merupakan yang terburuk sejak era Ibnu Sutowo memimpin perusahaan minyak itu.
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengakui efek pelemahan rupiah menerpa kinerja keuangan perseroan. Namun ia mengklaim kesulitan itu lebih mudah dikelola. "Kami lebih sensitif terhadap harga minyak," ucapnya, Senin pekan lalu. Arief menampik anggapan bahwa persoalan kurs membebani pembayaran bunga global bond mereka. Dia juga enggan menanggapi spekulasi terkait dengan kerugian yang harus ditanggungnya. "Tunggu rapat umum pemegang saham saja."
DOLAR yang makin perkasa tidak hanya merugikan industri yang berbasis bahan baku impor, seperti Pertamina, PLN, Garuda Indonesia, dan Krakatau Steel. Eksportir yang seharusnya menangguk untung ternyata malah ikut buntung. Ini terutama menimpa eksportir komoditas yang merasakan pahitnya perlambatan ekonomi di sejumlah negara pasar utama, sehingga harga dagangan mereka anjlok.
Salah satunya Aryadi. Eksportir kayu olahan sengon di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, ini biasanya mampu mengekspor 400 kontainer kayu olahan per bulan. Tapi kini ia terpaksa memangkas volume pengiriman hingga 200 kontainer. Kendurnya permintaan dirasakan sejak Januari lalu. Masalahnya, harga yang disodorkan importir Cina, Timur Tengah, dan Korea Selatan turun dari US$ 300 (sekitar Rp 3,9 juta) menjadi US$ 265 (setara dengan Rp 3,4 juta) per meter kubik.
Pemilik pabrik kayu Mekar Abadi ini mulai putar otak agar bisnisnya tetap bertahan. Untuk sementara, Aryadi memilih mengekspor stok kayu olahan yang tersedia di gudang sembari memantau pemulihan harga. Dari strategi itu, ia berharap bisa mempertahankan omzet tiga pabriknya tetap pada penerimaan sebesar Rp 85 miliar setiap bulan. "Lebih baik kurs dolar stabil," ujarnya.
Akbar Tri Kurniawan, Retno Sulistyowati, Bernadette Christina Munthe, Faiz Nashrillah, Shinta Maharani (Wonosobo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo