Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berburu Dolar

Pemerintah menempuh berbagai cara untuk mengatasi pelemahan rupiah. Melibatkan eksportir.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR Bank Indonesia Agus Martowardojo masih berada di Basel, Swiss, ketika Presiden Joko Widodo memintanya datang ke Istana, 10 Maret lalu. Ia sedang menghadiri pertemuan reguler dua bulanan gubernur bank sentral sejagat. Mantan Menteri Keuangan itu akhirnya tiba di Jakarta esok harinya. Nilai tukar rupiah menembus level psikologis yang baru di angka 13 ribu—terendah sepanjang 16 tahun terakhir.

Alih-alih rehat setelah terbang sekitar 16 jam, Agus buru-buru menyiapkan materi untuk rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, pukul 16.00. Selain memanggil BI, Jokowi memanggil Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Darmansyah Hadad. Ini adalah pertemuan lanjutan. Sehari sebelumnya, Jokowi juga mengumpulkan mereka. Karena berada di Basel, Agus diwakili salah satu deputi BI. Intinya, Presiden ingin bank sentral menjaga rupiah agar tak semakin terpuruk.

Tak cuma "mengejar" BI dan OJK, Jokowi juga "memburu" pengusaha. Seorang pejabat bercerita, Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno menghubungi Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dan Menteri Perindustrian Saleh Husin.

Rachmat Gobel sedang berkunjung ke kantor Tempo ketika panggilan dari Pratikno masuk ke telepon selulernya, 13 Maret lalu. Lantas ia memerintahkan Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Nus Nuzulia Ishak mencari data eksportir terbesar berdasarkan komoditas. "Berapa nilai ekspornya, nama perusahaan, pemiliknya. Presiden minta," kata Rachmat memberi instruksi.

Dari data itu, menurut Rachmat, Presiden ingin mengetahui pengusaha yang memiliki stok dolar. Melalui Pratikno juga Jokowi meminta pengusaha itu dipanggil satu per satu, setiap malam. Intinya, Jokowi ingin mereka membawa pulang dana hasil ekspor dan valuta asing yang selama ini dicurigai diparkir di luar negeri.

Seorang pengusaha sawit besar membenarkan cerita itu. Yang sudah diundang antara lain bos Indofood, Franky Welirang; Franky Widjaja dari Sinar Mas; dan bos raja sawit, Wilmar. Ketika dihubungi, Rabu pekan lalu, Franky Welirang menolak bercerita. "Franky Widjaja kali, bukan saya," ucapnya berkilah. Rachmat Gobel menegaskan, pebisnis harus memiliki komitmen terhadap negara. "Pengusaha itu Merah Putihnya harus ada," ujarnya.

Selama pemerintahan Jokowi, setidaknya lima kali Agus Marto dipanggil ke Istana. Selain bicara tentang rupiah, dibahas soal suku bunga acuan alias BI Rate, yang menurut Presiden masih berpeluang turun. Seolah-olah tak mau kalah, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun mengundang.

Belakangan, pemerintah memang getol mendorong penurunan suku bunga. Jokowi mengatakan deflasi dua bulan berturut-turut merupakan sinyal untuk menurunkan BI Rate. Pemerintah berkepentingan suku bunga rendah untuk mengerek penyaluran kredit, sehingga sektor riil bergerak lebih cepat.

Sebaliknya, BI ingin menjaga stabilitas makroekonomi dengan mempertahankan suku bunga acuan di posisi 7,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur, 17 Maret 2015. Bank Indonesia justru ingin pemerintah membenahi defisit transaksi berjalan. "Defisit yang sehat akan mengurangi tekanan pada nilai tukar," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara.

"Campur tangan" pemerintah atas BI Rate sempat dipertanyakan investor. Seorang pejabat mengaku "ditodong" pertanyaan soal independensi BI dalam sebuah lawatan ke luar negeri. Investor menuding bank sentral Indonesia telah diintervensi pemerintah.

Mirza membantah. Ia menyebut pernyataan pemerintah soal BI Rate sebagai aspirasi. Agus Marto pun menjamin lembaganya bebas intervensi. Bahkan, jika ada perselisihan akibat kebijakan BI, ia siap membawanya hingga Mahkamah Konstitusi. "Atasan saya hanya Negara Republik Indonesia," ujar Agus.

Retno Sulistyowati, Tri Artining Putri


Rupiah dari Krisis ke Krisis

Setidaknya tiga krisis ekonomi terjadi selama 17 tahun terakhir. Peristiwa itu menyebabkan rupiah melempem, terutama terhadap dolar Amerika Serikat.

1998
Terendah Rp 14.650 per dolar Amerika (pada Juni, terendah sepanjang sejarah)
Tertinggi Rp 7.100 per dolar Amerika (pada Oktober)
Akhir tahun Rp 7.550

2008
Terendah Rp 12.501 (Desember 2008)
Tertinggi Rp 9.069 (Maret 2008)
Akhir tahun Rp 11.062

2010
Terendah Rp 9.502 (Januari 2010)
Tertinggi Rp 8.903 (November 2010)
Akhir tahun Rp 9.044

2011
Terendah Rp 9.096 (Desember 2011)
Tertinggi Rp 8.483 (Agustus 2011)
Akhir tahun Rp 9.069

2012
Terendah Rp 9.708 (Desember 2012)
Tertinggi Rp 8.952 (Februari 2012)
Akhir tahun Rp 9.708

2013
Terendah Rp 12.194 (Desember 2013)
Tertinggi Rp 9.653 (Januari 2013)
Akhir tahun Rp 12.149

2014
Terendah Rp 12.578 (Desember 2014)
Tertinggi Rp 11.313 (April 2014)
Akhir tahun Rp 12.441

2015
Terendah Rp 12.441 (Januari 2015)
Tertinggi Rp 13.183 (Maret 2015)
Per 18 Maret 2015 Rp 13.183

Sumber: Kementerian Keuangan Bernadette Christina Munthe, Evan PDAT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus