Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Badak, Bersikut Pasar

Sengketa produk merek Cap Kaki Tiga belum berakhir. Setelah digugat bekas mitra bisnisnya, perusahaan Singapura, Wen Ken Drug, digugat warga negara Inggris.

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fu Siang Jeen bakal lebih kerap berkunjung ke Indonesia tahun ini. Perusahaan Singapura yang dia pimpin, Wen Ken Drug Co Pte Ltd, digugat seorang warga negara Inggris, Russel Vince, di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Previanny Annisa, kuasa hukum Vince, mengatakan logo bermerek Cap Kaki Tiga milik Wen Ken menyerupai lambang Isle of Man, koloni Inggris di Laut Irlandia.

Vince menggugat agar majelis hakim membatalkan merek serta menghentikan produksi, distribusi, dan promosi produk Cap Kaki Tiga. Pria itu juga menuntut penarikan produk-produk yang mengandung unsur dalam 49 sertifikat merek Cap Kaki Tiga dari peredaran.

Fu butuh waktu untuk memahami maksud gugatan itu: warga negara Inggris, tinggal di Cina, menggugat perusahaan Singapura di Indonesia. Ia curiga terhadap motif Vince dalam gugatan itu. "Dia bukan penduduk Isle of Man, mengapa ia sangat terganggu oleh logo kami?" kata Fu, Selasa dua pekan lalu. Kuasa hukum Fu Siang Jeen, Yosef Badeoda, menuding gugatan itu tak murni soal hukum. "Ada pihak lain di belakang penggugat. Ini persaingan bisnis," ujar Yosef.

Wen Ken Drug tak asing dengan lorong-lorong pengadilan di Indonesia. Lima tahun terakhir perusahaan farmasi yang berdiri pada 1937 ini saling gugat dengan mantan mitra bisnisnya selama 30 tahun di Indonesia, PT Sinde Budi Sentosa. Keduanya terlibat serangkaian pengklaiman hak cipta. Satu di antaranya atas lukisan badak dalam kemasan Larutan Penyegar, minuman obat tradisional yang disebut berkhasiat mengobati sariawan dan panas dalam.

Potensi bisnis larutan penyegar di Indonesia memang cukup menggiurkan. Menurut Deputy Marketing Director PT Sinde Budi, Herman Notolegowo, pertumbuhan pasar larutan penyegar mencapai 20-30 persen setahun, meski sempat stagnan saat keduanya saling gugat di meja hijau. Fu Siang Jeen memberikan estimasi kasar kapitalisasi pasar produk ini sekitar Sin$ 80 juta per tahun.

Kerja sama antara Wen Ken dan Sinde Budi berawal dari pertemanan. Fu Weng Liang—ayah Fu Siang Jeen, saat itu executive director—mengirim surat penunjukan lisensi merek Cap Kaki Tiga kepada Tjioe Budi Yuwono, pemilik Sinde Budi, pada 8 Februari 1978. Selembar surat bertulis tangan dalam bahasa Mandarin menjadi landasan bisnis hingga keduanya pecah kongsi pada 2008.

Sengketa bermula ketika Wen Ken menyadari adanya perubahan kemasan produk. Logo Cap Kaki Tiga dan kata "cap" dihilangkan dalam kemasan produk pada 2000-an. Fu belakangan tahu lukisan badak dalam kemasan produk didaftarkan atas nama Budi pada 1991. "Lukisan badak dan merek Cap Kaki Tiga itu satu kesatuan, mengapa didaftarkan terpisah?" ucapnya. Fu makin risau karena merasa pembayaran royalti dari pihak Budi tak transparan.

Keduanya sempat bernegosiasi untuk membuat perjanjian lisensi. Namun, ketika perjanjian hendak diteken, mereka kembali bertengkar. Dalam pertemuan itu, menurut Fu, Budi tak ingin berdiskusi lagi seputar perjanjian atau lukisan badak. Tak ada titik temu, Fu memutus kontrak.

Jony Yuwono, putra kedua Budi Yuwono, punya cerita berbeda. Menurut dia, pihak Wen Ken justru memberikan mereknya kepada sang ayah. Wen Ken, kata Jony, sempat mendaftarkan merek Cap Kaki Tiga di Direktorat Paten Indonesia, tapi ditolak. Saat itu, sudah ada merek Kaki Tiga Roda milik Thee Tek Seng, yang memiliki kesamaan pokok. Fu Weng Liang, ujar Jony, meminta bantuan pendaftaran merek kepada kerabatnya, Fu Siong Lim, asal Jambi.

Namun justru Budi yang sukses melobi Thee Tek Seng untuk melepas mereknya. Belakangan Budi menikahi putri Fu Siong Lim dan mendapatkan merek Cap Kaki Tiga sebagai balas jasa. "Kami memenuhi kewajiban mendaftarkan merek Cap Kaki Tiga," kata Jony, Kamis pekan lalu. "Lukisan badak di kemasan larutan didaftarkan terpisah karena itu ide Ayah."

"Ayah sempat berpikir gambar macan, ayam jago..., tapi itu semua sudah dipakai," ucapnya. Pilihan akhirnya jatuh ke badak, hewan asli Indonesia. Jony menduga pihak Wen Ken Drug ingin mengambil semua keuntungan setelah produk ini laris manis di pasar. "Larutan Penyegar bisa seperti ini karena ayah saya rajin berpromosi. Itu juga dengan modal sendiri," kata Jony.

Pembayaran royalti, ujar dia, selalu tepat waktu. "Sampai mereka menolak menerima dan menyampaikan somasi pemutusan kontrak." Tidak tercapainya kesepakatan soal lisensi, kata Jony, lantaran Wen Ken mengubah perjanjian di saat akhir.

Fu tak cuma membantah cerita Jony. Dia menunjukkan bukti pertama kali memakai lukisan badak melalui fotokopi advertising di koran Singapura, Sin Chew Jit Poh. Lukisan badak yang dipermasalahkan ada dalam iklan pada 1959 itu. "Kami tidak bohong, Sinde Budi baru memproduksi sejak 1980. Kami sudah lebih lama dari itu," ucapnya.

Nyatanya Mahkamah Agung memenangkan Sinde Budi dalam silang sengketa merek ini. Cap Kaki Tiga harus menghapus lukisan badak dan kata "Larutan Penyegar" dalam bahasa Indonesia serta Arab dari semua produknya. Direktorat Jenderal Hak Cipta membatalkan itu pada 20 Februari 2012. "Kami menghapus badak dari produk kami sejak 3 Januari," ujar Harry Sanusi, Direktur Utama PT Kinocare Era Kosmetindo, pemegang lisensi baru Cap Kaki Tiga sejak 2011.

Harry bersurat ke Badan Pengawas Obat dan Makanan meminta waktu penarikan produk Cap Kaki Tiga dengan lukisan Badak. BPOM memberi waktu hingga 31 Mei 2012. Sebelum tenggat terlampaui, Budi melaporkan agen distributor Cap Kaki Tiga di 12 provinsi karena menggunakan merek tanpa hak pada 24 Februari-1 Agustus 2012.

Pelaporan itu dinilai janggal oleh Yosef Badeoda. Kasus Haryanto Sanusi, agen distributor di Pontianak, yang juga adik Harry, misalnya. Pada 13 Maret 2012, dia dilaporkan. Di hari yang sama, tokonya digeledah dan disita. Sepekan pascapelaporan, statusnya ditingkatkan menjadi tersangka. Di wilayah lain, agen distributor dan toko-toko kecil yang menjual produk ini terus dipanggil dan dimintai keterangan. Harry menduga ada upaya menakut-nakuti para agen dan distributor. "Yang dipanggil hanya toko-toko yang menjual produk Cap Kaki Tiga," katanya.

Herman Notolegowo, Deputi Direktur Pemasaran Sinde Budi, mengatakan pelaporan itu merupakan perlindungan terhadap produknya. "Apakah salah kalau kami melaporkan produk yang seharusnya tak beredar? Benar atau salah, biar polisi yang menentukan," ujarnya. Herman justru menilai ada kejanggalan dalam terpilihnya Kinocare sebagai pemegang lisensi baru. "Harry Sanusi itu distributor kami pada 1992," katanya. Akibat perbedaan pendapat, ujar Herman, kerja sama distribusi dengan Harry diputus pada 1997, kecuali untuk wilayah Kalimantan Barat, yang berlanjut hingga 2003. "Setelah 2003, mengapa pihak Singapura gelisah?" ujarnya.

Harry membenarkan sebagian cerita itu. "Kami sempat memegang 70 persen Kaki Tiga. Dari hampir enggak laku sampai laku sekali," ucapnya. Mendadak Sinde memutus kontrak. "Katanya kami jual produk kompetitor, padahal tidak," ujarnya. Selain Cap Kaki Tiga, Harry mendistribusikan sejumlah produk, di antaranya air freshener alias penyegar udara. "Entah karena bahasa Inggrisnya terlalu pintar, mereka artikan itu air penyegar," katanya. Kuasa hukum Harry, Amir Syamsuddin, mengusulkan untuk menggugat balik. "Tapi kuasa hukum Sinde minta damai," ujarnya.

Menurut Harry, pascakejadian itu, dia berkonsentrasi pada bisnis personal care. Pada 2010, Fu menghubungi dia. "Fu mengatakan dalam proses mencabut lisensi Sinde," katanya. Harry sempat menyarankan keduanya agar terus bermitra. "Tapi Fu bilang sudah tak bisa."

Setelah kasasi pemutusan lisensi dimenangi Wen Ken, Kinocare ditunjuk sebagai pemegang lisensi baru. Fu dan Harry merasa dirugikan oleh rentetan kejadian ini. "Ini seperti dirampok. Mulanya kami tak bisa menggunakan lukisan badak, lantas tak boleh menyebut Larutan Penyegar. Setelah itu, ada sengketa lokal di wilayah dan gugatan logo," ucap Fu.

Kuasa hukum Sinde Budi, Arief Nugroho, mengatakan kliennya tidak ada hubungannya dengan gugatan logo Cap Kaki Tiga. "Klien kami hanya ingin berbisnis secara fair," kata Arief. Herman juga membantah tudingan itu. "Kami harapkan masalah mereka cepat selesai," ujarnya.

Jony mengatakan perusahaan ayahnya lebih berfokus mengembangkan Larutan Penyegar Cap Badak—merek baru Sinde setelah lisensi Cap Kaki Tiga dicabut. "Komposisi produk kami berasal dari ramuan tradisional Cina dengan kecukupan asupan untuk mengatasi panas dalam," katanya.

Amandra Mustika Megarani, Setri Yasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus