Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Seperti Pabrik Tahu

Pemerintah sepakat Pertamina masuk Blok Mahakam dengan kepemilikan maksimal 40 persen lebih dulu. Total bersedia melepas hak operator setelah masa transisi.

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rombongan pensiunan pejabat Pertamina itu mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sekitar pukul satu siang, awal pekan lalu. Mereka antara lain bekas wakil direktur utama Mustiko Saleh, mantan direktur hulu Bagus Setiardja, dan bekas direktur hulu Sukusen Soemarinda. Pejabat Kementerian yang menemui mereka adalah Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo, didampingi Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Edy Hermantoro.

Para pensiunan itu menyerahkan petisi berisi dasar pijakan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Inti petisi itu: Undang-Undang Migas bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pengelolaan minyak dan gas nasional, menurut mereka, sebaiknya diserahkan kepada Pertamina secara tunggal atau eksklusif. Dengan begitu, otoritas dan kedudukan pemerintah atas sektor minyak dan gas tetap utuh.

"Saya diajak, tapi tidak mau ikut," ujar mantan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno. Ari dan para pensiunan itu memang berseberangan. Di media, misalnya, ia mengeluarkan pernyataan tentang perpanjangan kontrak Blok Mahakam yang bertolak belakang dengan pemikiran kelompok itu.

Pengelolaan blok di Kalimantan Timur itu menjadi isu panas belakangan ini. Kontrak Total E&P Indonesie (Prancis) dan Inpex Corporation (Jepang) di blok gas itu akan berakhir pada 2017. Keduanya memegang saham masing-masing 50 persen.

Kepala Hubungan Media Total Kristanto Hartadi mengatakan cadangan gas di Blok Mahakam masih sekitar 5,6 triliun kaki kubik. Sedangkan cadangan minyaknya 185 juta barel. "Setelah 2017, gas yang tersisa masih dua triliun kaki kubik," ujar Kristanto ketika ditemui di kantor Total, Jakarta. Total dan Inpex telah meminta perpanjangan sejak 2008. Seharusnya pemerintah memberikan keputusan lima tahun sebelum kontrak berakhir.

Kedua perusahaan asing itu sudah menganggarkan investasi pasca-2017 dengan nilai US$ 12,7 miliar atau lebih dari Rp 120 triliun. Per tahun, Total dan Inpex mengalokasikan sekitar Rp 20 triliun untuk eksplorasi dan eksploitasi di Blok Mahakam. Dua rig dari PT Apexindo Pratama Duta Tbk telah mereka sewa untuk dua tahun ke depan senilai Rp 5,6 triliun. Semua uang tersebut untuk mencegah penurunan produksi sejak 2011. Di lapangan Blok Mahakam, hampir 75 persen cadangannya telah berproduksi.

Total tidak menutup kesempatan Pertamina masuk ke pengelolaan Blok Mahakam. "Kami siap bekerja sama dengan konsorsium nasional," ujar Kristanto. Selaku operator, Total siap memberikan masa transisi 3-5 tahun setelah 2017 kepada Pertamina. "Kami mau melepas operatorship," katanya.

Rencana itu, menurut Ari Soemarno, lebih masuk akal. "Apa hebatnya Pertamina selama ini?" ujar Ari ketika ditemui di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta. "Duit dan teknologi tidak punya, mindset-nya seperti bohir doang." Teknologi memang bisa dibeli, tapi tidak untuk aplikasi dan pengalaman. Selama tiga tahun menjabat direktur utama, ia tahu Pertamina belum menguasai teknologi lapangan lepas pantai (offshore) dan daratan (onshore) sekaligus seperti Blok Mahakam.

Selain itu, dari pengalaman 30 tahun bekerja di Pertamina, Ari menunjuk lemahnya perusahaan pelat merah ini dalam pendataan geologi dan geofisika. Itu sebabnya produksi minyak di Lapangan Pondok Tengah, Bekasi, tidak sesuai dengan harapan. "Sewaktu membelinya, data tiga dimensi dan eksplorasi belum selesai," katanya. Ada pula Lapangan Gas Matindok yang sempat diklaim cadangannya 6-7 triliun kaki kubik, tapi ternyata hanya 0,7 triliun kaki kubik.

Setelah mengambil Blok West Madura Offshore pun, Pertamina tidak bisa menunjukkan kinerja yang bagus. Produksi minyak terus turun hingga ke titik terendah pada Januari lalu, 6.000 barel per hari. Padahal, sebelum blok itu diambil Pertamina Hulu Energi pada 2011, produksinya bisa mencapai 14-15 ribu barel per hari.

Pertimbangan pembeli juga penting. Selama ini, 80 persen gas Blok Mahakam masuk ke kilang LNG Bontang untuk konsumen Jepang yang disebut Western Buyer. Mereka adalah Chubu Electric Power, Kansai Electric Power, Nippon Steel, Osaka Gas, dan Toho Gas. Sisa 20 persen untuk PT Pupuk Kaltim dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk. "Mereka (Western Buyer) pasti melihat pengalaman dan rekam jejak Pertamina," ujar Ari. "Pembeli tidak mau jadi kelinci percobaan."

1 1 1

Kendati sebelumnya ngotot menjadi operator, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan akhirnya menyerah terhadap keinginan pemerintah di Blok Mahakam. Pernyataan itu terlontar saat acara trustee and paying agent agreement dengan BNI di kantor Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

"Kami coba dulu beberapa persen," katanya. "Bila nanti kami sudah mampu, SKK Migas akan memberikan 100 persen pengelolaan Blok Mahakam ke Pertamina." Rencana ini, menurut dia, sesuai dengan arahan Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Presiden. BUMN itu diminta tidak hanya berfokus menggarap kilang dalam negeri, tapi juga ekspansi. "Jadi nanti portofolionya bisa terbagi," ujar Karen.

Menteri Energi Jero Wacik pekan sebelumnya mengatakan sebaiknya Pertamina mengambil 40 persen dulu saham di Blok Mahakam. Ia sudah meminta Pertamina menggandeng pemerintah daerah setempat atau perusahaan nasional lain. Tapi perhitungan kemampuan keuangan tetap harus menjadi pertimbangan utama. Penyertaan modal dan investasi Blok Mahakam bisa mencapai triliunan rupiah. "Karena itu, saya minta Pertamina atau perusahaan migas nasional lainnya yang tertarik menghitung dengan cermat pengambilan saham ini," kata Jero.

Kalau memang tidak mampu 40 persen, menurut dia, 30 persen pun cukup baik. Ia mengatakan, sebanyak apa pun kepemilikan perusahaan nasional di Blok Mahakam, negara tetap diuntungkan dari bagi hasil migasnya. Selama ini, porsi bagi hasilnya 70 persen untuk negara dan 30 persen swasta.

Sempat beredar kabar bahwa perusahaan migas milik Keluarga Bakrie, PT Energi Mega Persada Tbk, sudah bersiap menjadi partner Pertamina. "Tapi masih berupa keinginan karena mereka sedang kesulitan keuangan," ucap seorang praktisi minyak dan gas. Energi Mega sepertinya enggan menanggapi isu tersebut. Telepon dan pesan pendek dari Tempo tidak berbalas.

Wakil Menteri Energi Susilo, ketika berkunjung ke kantor Tempo beberapa waktu lalu, mengatakan sependapat dengan pernyataan Menteri Jero. "Kami sudah ngobrol dengan Pertamina dan tanya you mampunya berapa, jangan ngomong doang," ujarnya. Keberpihakan dengan perusahaan nasional soal Blok Mahakam, menurut dia, "seribu persen". "Tapi kami tetap harus rasional."

Susilo menegaskan, ada dua keinginan pemerintah di Blok Mahakam. Pertama, produksi tidak boleh terganggu, jangan turun. Untuk mencegahnya, perlu eksplorasi berkelanjutan. Tapi jangan sampai biaya produksi per barel jadi tinggi, seperti yang terjadi di Blok Offshore North West Java. "Biaya per barelnya paling tinggi sejak diambil Pertamina (pada 2009)," katanya. Kedua, Pertamina ikut dalam kepemilikan Blok Mahakam. Namun Total tetap ikut memiliki atas dasar pertimbangan teknis, yaitu teknologi.

Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengingatkan ada risiko keuangan jika mengambil alih seluruh Blok Mahakam. "Di sana tidak seperti pabrik tahu; sekarang dikasih, besok pasti dapat hasil," ujarnya. "Jangan semua uang Pertamina masuk ke situ, bisa bahaya." Jalan terbaik, ia mengatakan, Pertamina masuk pelan-pelan. Dalam 1-5 tahun, barulah BUMN ini menjadi operator. Sikap Jero, Susilo, dan Rudi menjadi sinyal posisi Total dan Inpex aman setelah 2017.

Sorta Tobing, Ananda Putri, Rafika Aulia


Perpanjangan Kontrak Blok Mahakam

Blok Mahakam, Kalimantan Timur, mulai berproduksi pada 1974. Produksi awalnya adalah minyak, baru gas. Sejak itu hingga akhir 2011, sudah 15,3 triliun kaki kubik gas dan 1,08 miliar barel minyak diproduksi. Investasi yang telah dikeluarkan mencapai US$ 25 miliar atau lebih dari Rp 200 triliun. Pemerintah menerima US$ 85 miliar atau lebih dari Rp 800 triliun dari produksi tersebut.

Pada 2005-2010, blok yang dimiliki Total E&P Indonesie (Prancis) dan Inpex Corporation (Jepang) itu mengalami puncak produksi. Kemudian mengalami kondisi very mature karena 75 persen cadangannya telah tereksploitasi.

Produksi Gas Blok Mahakam 2008-2011
Volume (juta standar kaki kubik per hari/MMSCFD)
TahunVolume (juta standar kaki
kubik per hari/MMSCFD)
20082.660
20092.649
20102.581
20112.314

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus