Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Berebut Pasar yang Seksi

Seolah berlomba-lomba, berbagai media kesehatan muncul dengan kemasan mewah. Pembaca media kesehatan ternyata memang naik terus setiap tahun.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARRY Hardono, 35 tahun, mengidamkan hidup yang sehat. Renang, joging, tenis, dan bulu tangkis rutin dia lakukan demi tubuh yang bugar. Pengusaha ini juga rajin menyorot ulasan kesehatan di media massa. "Bosan ngikutin berita politik yang kisruh terus. Mendingan baca artikel kesehatan yang berguna," katanya. Yang hobi menyimak ulasan kesehatan tentu saja bukan hanya Harry. Malah makin banyak orang yang tertarik membaca artikel kesehatan. Sejak 1999, data perusahaan riset media AC-Nielsen menunjukkan pembaca media kesehatan di Indonesia naik 15 persen tiap tahun. Menurut pengamat pemasaran Rhenald Kasali, angka itu terus melaju seiring dengan makin mapannya masyarakat kelas menengah ke atas. Memang, dibandingkan dengan majalah wanita atau majalah umum, target pembaca media kesehatan tidak melimpah. Majalah Fit, yang perolehan iklannya ter-golong top, menurut AC-Nielsen, pada tahun 2001 hanya dibaca 63 ribu orang?bandingkan dengan majalah Kartini, yang dibaca 661 ribu orang. Namun, pembaca media kesehatan tak bisa dipandang enteng. "Mereka sangat peduli kesehatan dan tak segan membelanjakan uang," kata Rhenald. Walhasil, pasar media kesehatan pun jadi tampak seksi. Pemain yang memperebutkan pasar yang kecil-kecil cabai rawit itu makin beragam saja. Ada yang berbentuk tabloid yang cuma berharga Rp 3.300, ada pula majalah mewah yang dijual Rp 20 ribu per eksemplar. Jajaran produsen pun beragam. Ada yang merupakan rantai waralaba media asing seperti Health Today dan Men's Health, ada pula yang seratus persen produk lokal semisal tabloid Senior (grup Kompas) atau Fit (grup Femina). Pasar media kesehatan yang sudah diincar banyak pemain itu pun agaknya masih cukup seksi buat para pemain baru. Human Health dan Healthy Life, misalnya. Dalam empat bulan terakhir, dua majalah bulanan yang?meski bernama asing?sebenarnya merupakan produk lokal itu ikut meramaikan pasar. Penampilan Healthy Life, yang diterbitkan beberapa dokter bekerja sama dengan Jawa Pos, pun tak tanggung-tanggung. Setiap terbit, majalah seharga Rp 19 ribu per eksemplar itu menyisipkan bonus cakram video (VCD). Cakram ini, menurut Amaranila Lalita Drijono, Wakil Pemimpin Redaksi Healthy Life, untuk memperjelas informasi yang tercetak di majalah. "Dengan VCD, pembaca bisa mempraktekkan teknik memijat bayi atau yoga yang dipandu dokter," kata Amaranila, yang juga dokter spesialis kulit. Nah, kemasan media kesehatan yang mewah?apalagi plus bonus VCD?tentu menuntut ongkos produksi yang tinggi. Persoalannya: akankah mereka sanggup menangguk untung? Bagi media waralaba seperti Men's Health, kerepotan menjaring iklan sedikit-banyak terbantu oleh jaringan internasionalnya di 33 negara. Kalau dilihat perolehan iklannya pada Januari lalu, media ini memang termasuk media kesehatan yang lumayan menggaet iklan (lihat tabel). Dalam upaya menggaet pembaca pun, majalah yang dijual Rp 20 ribu per eksemplar itu tak mengecewakan pemiliknya. Menurut Yudho Kartohadiprodjo, Redaktur Pelaksana Men's Health, "Kami cetak 50 ribu eksemplar dan selalu laku lebih dari separuh." Lalu bagaimana dengan media lokal? Dalam hal perolehan iklan, majalah Fit atau Nirmala memang masih di bawah Men's Health. Namun, mereka masih berjajar di papan atas. Pendapatan iklan Healthy Life pada bulan Januari pun, menurut catatan AC-Nielsen, lumayan. Namun, Amaranila sendiri mengaku belum tahu persis respons pasar atas Healthy Life. Toh, sejumlah jurus simpanan sudah disiapkan. "Kami akan melebarkan pasar sampai ke Malaysia dan Brunei Darussalam," kata Amaranila. Nada optimistis juga muncul dari Zuhri Mahrus, Pemimpin Redaksi Human Health, yang terbit Januari lalu. Media kesehatan, menurut Zuhri, akan selalu kecipratan kue iklan karena industri farmasi adalah pengiklan yang tergolong rajin beriklan. Dalam keseluruhan belanja iklan, produk farmasi menempati peringkat ketiga?setelah produk toiletries dan makanan-minuman olahan. Potensi inilah yang membuat Zuhri yakin bahwa modal awal Human Health, sebesar Rp 10 miliar, bakal kembali dalam tempo empat tahun. Andi Sadha, associate media planner director dari Starcom Worldwide Indonesia, biro iklan yang banyak menangani iklan produk kesehatan, menyepakati pendapat Zuhri. Menurut peng-alaman Andi, kalangan industri farmasi tak akan lupa beriklan di media kesehatan yang membidik pasar khusus. "Ini untuk mendongkrak citra produk di kalangan masyarakat yang peduli kesehatan," kata Andi. Dengan peta pasar seperti itu, media kesehatan tampaknya memang berpeluang terus bertahan. Keyakinan ini juga disampaikan Rhenald Kasali. Hanya, pakar pemasaran ini mengingatkan, setiap media kesehatan sebaiknya punya ciri khusus. "Pendatang baru yang tak sanggup menyajikan sesuatu yang berbeda akan sulit bertahan," kata Rhenald. Mardiyah Chamim, Dwi Arjanto, Johan Budi S.P., Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus