Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Nabi' itu Membakar Jakarta

Pentas raksasa rock Rick Wakeman di Jakarta Hall Convention Center pekan lalu mengembalikan ingatan orang pada kejayaan rock progresif.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAN dewa itu meloncat ke panggung. Ia memakai jubah putih keperakan kebesarannya. Sinar laser berwarna hijau menembak penonton. Di hadapannya, empat keyboard merek Roland dan Korg ukuran sekitar 7 oktaf serta synthesizer Mini Moog. Tanpa banyak cingcong, jari-jemarinya bertamasya menjelajah tuts. Sebuah nomor pembuka yang megah terdengar. Ya Tuhan, inilah Journey to the Centre of the Earth, yang dianggap sebagai salah satu tonggak musik rock tahun 1970-an. Rick Wakeman. Di era 1970-an nama ini dikenal sebagai pemain keyboard yang mengembangkan semacam "sastra rock". Itu karena inspirasi lagunya bertolak dari novel-novel atau legenda-legenda sejarah. Journey to the Centre of the Earth berangkat dari novel Jules Verne. Seperti dapat kita lihat dalam CD Rick Wakeman Live 1975 yang telah beredar di Indonesia, pementasannya dahulu selalu diiringi orkestra dan paduan suara terkenal dunia. Seorang aktor membacakan petikan novel Jules Verne. Pada tahun 1999, untuk memperingati 25 tahun Journey, sebuah pentas akbar didukung oleh 150 musisi dan London Symphony Orchestra bertajuk Return to the Centre of the Earth diadakan. Kawan-kawan lama Wakeman—Ozzy Ozborne dari Black Sabbath, Justin Hayward dari Moody Blues—ikut ambil bagian. Aktor yang membaca adalah Patrick Stewart, pemain Kapten Picard dalam film Star Trek. Pementasan di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) malam itu memang tanpa orkes dan paduan suara. Tapi penampilan Rick yang dibantu Damian Wilson (vokal) itu memaku 1.700-an penonton—rata-rata berumur 30 sampai 40-an tahun—di atas kursi dan menenggelamkan mereka dalam kekhusyukan. Memang, jumlah penonton terlalu kecil dibanding ruang JHCC yang berkapasitas 400 ribu orang. Tapi terlihat betapa mereka semua penggemar sejati sang dewa rock, Wakeman. "Rasanya tak dapat dipercaya Rick datang," kata Darma Setiawan, seorang penonton kelahiran Malang. Satu penggemar Wakeman dari Yogya bahkan membawa kaset lusuh Journey to the Centre of the Earth terbitan Perina zaman baheula untuk ditandatangani Rick. "Dahulu setiap berita sekecil apa pun mengenai Rick di majalah Aktuil kita baca," tuturnya mengenang. Rick Wakeman adalah salah satu nabi bagi anak muda "generasi cutbrai". Ia bergabung dengan Yes pada tahun 1971. Nyaris bersama pencetan keyboard-nya, semua singel Yes menyabet penghargaan Gold atau Platinum. Rick, yang waktu mudanya berambut pirang sepinggang, boleh dibilang pelopor untuk album dengan tema tunggal yang panjang, seperti The Myth and the Legend King Arthur (1975), dan The Six Wives of Henry VII (1973). Pada sekitar tahun 1975, pembuatan album tematis demikian lalu menjadi kecenderungan umum grup rock. The Who, Pink Floyd, Genesis, Jethro Tull, semua melakukan itu. Tapi tandingannya dalam mengolah synthesizer mungkin hanyalah Keith Emerson dari Emerson, Lake and Palmer. Simak bagaimana King Arthur dimainkan malam itu: suasana kolosal, bak langkah-langkah berderap kuda para kesatria Meja Bundar. "Nomor berikut adalah Catherine of Aragon," demikian Rick berteriak dari panggung. Dan penonton seperti disengat listrik saat mendengar lagu 1984. Ini gubahan Rick dengan Tim Rice dari novel George Orwell. Kemudian, Jane Seymour. "Kali ini kami akan mempersembahkan Merlin the Magician dengan aransemen khusus untuk Anda," ujarnya. Pada nomor lagu yang berkisah tentang penyihir kesohor, Rick melakukan duel keyboard dengan Adam Wakeman, anaknya. Dengan hand keyboard yang disandang seperti gitar, mereka melebur ke tengah penonton. Ayah dan anak ini pernah menghasilkan album bersama: Wakeman with Wakeman. Solo permainan panjang yang dahsyat. Berliku-liku. Menyihir. Mini Moog menghasilkan suara khas beraura Gregorian dan klasik. Buntut lagu ini langsung disambar dengan nomor No Earthly Connection yang diwarnai efek vocoder yang membuat suara manusia seperti suara mesin (pernah dipopulerkan oleh grup STYX lewat lagu Mr. Roboto). Dan penonton seakan terlempar pada suatu iman musik yang lain. Mungkin nostalgia. Mungkin juga sebuah ingatan akan suatu kultur antikemapanan—tempat grup-grup art rock ikut mengkritik datangnya abad mesin yang mereduksi manusia. Roh itu yang kini sirna, diganti selera generasi lain yang lebih ringan. Bahkan di Inggris, sarang rock progresif, seperti diakui penggebuk drum Tony Fernandez, anak mudanya jarang tertarik. "Yang mewabah kini adalah techno dan house music," katanya. Maka, Rick cukup terkesima bahwa di Jakarta ada Indonesia Progressive Society—komunitas khusus pencinta rock progresif. Ia tidak tahu bahwa di Bandung, Malang, dan Surabaya bahkan pernah ada band-band epigon Yes. Dulu dari Surabaya ada Grass Rock, misalnya. Bahkan Totok Tewel, mantan gitaris El Pamas, pernah diprotes salah seorang pengunjung fanatik Yes di Gondola Restoran lantaran ia berimprov-isasi—dengan menyelipkan lirik keroncong—dalam sebuah lagu Yes. Bagi si penonton, hal itu dianggap "menodai kesucian" Yes. Akhirnya, meluncurlah lagu "sakral" Yes: Starship Trooper. Penonton menjerit: "Yes! Yes!" Ini kisah tentang sebuah pesawat ruang angkasa yang mengarungi semesta. Dan melantunlah dari Damian Wilson: "Sister bluebird flying high above, shine your wings forward to the sun…. Starship trooper go sailing on by…." Seno Joko Suyono dan Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus