Ruangan kecil tempat siaran Radio M-97 FM di bilangan Jalan Borobudur, Jakarta, itu penuh sesak. Rick Wakeman tiba-tiba ingin mengunjungi satu-satunya radio rock progresif di Indonesia itu. Rick ternyata orangnya ramah. Banyak tertawa. Lelaki kelahiran Middlesex, Inggris, 18 Mei 1949 ini berkisah lucu-lucu tentang pengalamannya bergabung dengan Yes. Dalam Yes, hanya ia satu-satunya pemakan daging, sementara yang lain—termasuk Jon Anderson—vegetarian. "Menyenangkan. Saya kebagian jatah menyantap semua daging yang tersedia," katanya tergelak. Berikut petikan wawancara TEMPO dengan Rick Wakeman.
Lagu Journey to the Centre of the Earth diinspirasikan dari novel Jules Verne. Apakah Anda memang penggemar Verne?
Saya adalah penggemar berat Jules Verne. Saya menyukai fiksi ilmiah. Ada dua penulis ternama soal fiksi ilmiah, H.G. Wells dan Jules Verne. Dibandingkan dengan H.G. Wells, menurut saya Verne punya muatan ilmiah yang baik. Dari sederetan novelnya, banyak yang menjadi kenyataan. Around the World in Eighty Days (1873) kini mudah dilakukan. Begitu pula Twenty Thousand League Under the Sea (1870) dan From the Earth to the Moon (1866). Yang sampai sekarang belum bisa dilakukan adalah perjalanan masuk ke perut bumi, Journey to the Centre of the Earth (1864). Karena itu, saya buat komposisinya
Untuk Journey to the Centre of the Earth di era 1970-an, Anda menggunakan Dave Hemming sebagai narator. Di Return to the Centre of the Earth, Anda menggandeng Patrick Stewart sebagai pembaca cerita. Siapa yang paling Anda sukai dari keduanya?
Dave Hemming adalah narator yang luar biasa. Sekadar untuk Anda ketahui, Dave Hemming manggung dengan memar di sebelah matanya. Itu hasil tinju istrinya, yang memergoki Dave mencium seorang sekretaris, ha-ha-ha. Patrick Stewart sendiri amat mengagumkan. Ia penggemar berat Jules Verne, seperti saya. Ia begitu menjiwai fiksi ilmiah karena telah begitu lama menggeluti Star Trek sebagai Kapten Picard. Jadi, ini kombinasi yang mengesankan.
Apakah Anda punya rencana untuk kembali menggubah novel ke dalam musik?
Saya ingin melakukan itu. Namun, masalahnya, itu membutuhkan waktu yang panjang dan biaya amat mahal.
Mengapa Anda tertarik menggarap karakter istri-istri raja Henry dalam The Six Wives of Henry VII?
Saat itu saya memborong buku-buku untuk dibaca dalam pesawat. Ada satu yang berjudul The Private Live of Henry VII. Saat membacanya, melodi mendadak muncul dalam kepala saya. Saya tak bisa menghilangkannya. Melodi itu berputar dan berputar terus di benak saya. Saya kemudian berpikir, mengapa saya tidak menggarap musik tentang keenam istri Henry VII? Saya kemudian membeli lebih banyak buku lagi tentang istri-istri Henry VII dan mempelajari karakter mereka sampai kemudian membuat musik untuk tiap-tiap istri.
Anda keluar-masuk Yes beberapa kali. Dari sekian lama dengan Yes, periode mana yang paling berkesan bagi anda?
Yang paling berkesan adalah periode-periode awal, saat Yes menggarap Fragile dan Close to the Edge. Saat ini, pihak manajer dan perusahaan rekaman membiarkan kami melakukan apa yang ingin kami lakukan dengan musik kami. Pada masa-masa berikutnya, perusahaan rekaman dan para manajer sedikit-banyak sudah mulai ikut campur dalam musik Yes. Kami pun mulai harus melakukan hal-hal untuk menyenang-nyenangkan hati mereka.
Mungkinkah Yes dalam formasi penuh datang ke Indonesia kelak?
Mengapa tidak? Dulu memang kebanyakan manajer kelompok musik memilih sirkuit-sirkuit umum seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Memang mudah. Hanya dengan beberapa kali telepon, semua beres. Namun, setelah kami melakukan tur di Amerika Latin, akhirnya manajer kami pun mulai berani mencoba. Kami ke Polandia sebelum Tembok Berlin runtuh. Juga Rusia. Jadi, mengapa tidak di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini