Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA lembar surat dari Ketua Tim General Audit PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hasby Ashidiqi, mendarat juga di Kejaksaan Agung awal Mei lalu. Semestinya, warta internal 13 April 2005 berisi draf temuan pemeriksaan ini hanya berujung di meja jajaran direksi perusahaan listrik pelat merah itu. Di sinilah awal geger.
Temuan lembaga pemeriksa ini menyebutkan, bagi-bagi "bonus" PLN 2003 Rp 186,25 miliar (Rp 4,33 miliar dinikmati komisaris dan direksi) menabrak Pasal 62 Undang-Undang Nomor 1/1995 tentang Perseroan Terbatas: "tantiem diambil dari laba perusahaan". Juga Pasal 28 Anggaran Dasar PLN tentang Pembagian Keuntungan. Artinya, "Setiap pembayaran tantiem selalu dikaitkan dengan laba."
Padahal, menurut BPK, PLN tercatat masih merugi Rp 3,53 triliun. Rapat umum pemegang saham pada 25 Juni malah menyetujui pemberian "bonus" kepada komisaris, direksi, dan karyawan. Hitung punya hitung—berdasarkan formula tantiem—Direktur Utama Eddie Widiono kebagian Rp 579,45 juta. Anggota komisaris dan direksi lainnya menerima Rp 86 juta-Rp 521 juta.
BPK menjelaskan, formula penghitungan tantiem itu didasarkan pada hak dan nilai kerja yang diambil dari bagian laba perusahaan. PLN dua tahun lalu masih merugi triliunan rupiah sehingga, sebetulnya, tidak ada bagian keuntungan perusahaan yang dapat diberikan untuk "bonus". Akibatnya, kata BPK, pembayaran tantiem itu—dalam risalah rapat ditulis sebagai "jasa produksi"— membebani keuangan perusahaan.
Menurut pemeriksaan lembaga yang berkantor di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, itu di tahun yang sama manajemen PLN juga membagikan insentif prestasi kerja ke direksi dan karyawan. Uang yang dibayarkan Rp 179,4 miliar ini diberikan berdasarkan faktor kinerja individu, kinerja organisasi, tarif, dan disiplin waktu kerja.
Adalah Serikat Pekerja PLN yang melaporkan sekaligus mengirim temuan itu ke kejaksaan. Puas "memelototi" berkas-berkas BPK, lembaga hukum negara ini mencium adanya dugaan pidana korupsi. Akhirnya, pekan lalu kejaksaan menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus bagi-bagi duit PLN. "Jumlahnya lebih dari tiga orang," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Hendarman Supandji.
Menurut Hendarman, semua orang yang diduga menggerogoti uang rakyat itu sudah memenuhi kriteria tindak pidana korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri dan orang lain, melakukan perbuatan melawan hukum, dan menyalahgunakan wewenang sehingga menimbulkan kerugian negara. Namun, dia enggan merinci nama-nama tersangka. Dia punya alasan: mau melapor dulu ke Jaksa Agung.
Roes Ariawijaya menolak disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pemberian "bonus" itu. "(Pembagian) itu kan operasional, jadi lebih banyak manajemen yang bertanggung jawab," katanya. Dia berkilah, jasa produksi tidak melanggar undang-undang karena memang tidak diatur. Dasar hukum pembagian itu: Pasal 35 Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117/2002 tentang Pemberian Insentif.
Eddie Widiono balik melempar bola panas itu. Menurut dia, temuan BPK terlalu tendensius. Soalnya, pembagian tantiem merupakan keputusan rapat yang disetujui pemerintah selaku pemegang saham tunggal PLN. "Direksi hanya melakukan pembayaran. Direksi tidak salah, dong," katanya. "Problem bukan di PLN, tapi di Kantor Kementerian BUMN."
Bagi Menteri Negara BUMN Sugiharto, penetapan status tersangka belum cukup baginya untuk mengambil langkah taktis. Misalnya memberhentikan sementara atau selamanya pejabat-pejabat yang terlibat. "Masih asas praduga tidak bersalah, belum memiliki kekuatan hukum tetap," katanya. Memang banyak cara untuk bertahan—atau mempertahankan.
Stepanus S. Kurniawan, Grace S. Gandhi, Astri Wahyuni, Agriceli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo