SUNGGUH beringas. Jumat malam lalu, toko besar alias pasar swalayan Golden Truly di Jakarta Pusat bagaikan diserbu pasukan panik tapi berduit. Ratusan ibu rumah tangga serentak menurunkan susu kaleng, minyak goreng, pembersih lantai, seprai, selimut, barang pecah belah. Beli, beli, beli. Bagaikan membalas, pemilik toko mengerahkan orangnya untuk mengamankan barang yang tersisa. Suasana mirip lomba. Siapa cepat, dapat untung. Dan itulah efek pertama, beberapa menit setelah Menteri Keuangan Radius Prawiro mengumumkan pemotongan 45% nilai rupiah terhadap dolar AS, sejak pukul 20.00 WIB, 12 September lalu. Dalam riuh rendah itu, sebenarnya orang berhitung. Ada yang berani mengeluarkan Rp 460.000 hanya untuk belanja keperluan sehari-hari. Tapi tak merasa rugi malam itu di Golden Truly. Dalam beberapa menit saja, mereka merasa akan untung sekitar Rp 50.000 sampai Rp 200.000. Sebab bisa dipastikan: barang yang sempat mereka beli malam itu, dalam satu dua hari, sudah akan naik harganya. Terutama barang dengan komponen impor. Hal serupa bukan hanya terjadi diJakarta. Di Pontianak, misalnya, toko serba ada Ponti Sari bahkan rebutan rezeki berkisar pada soal yang sepele. Direktur pasar swalayan itu, Tan Lim Kun, terpaksa memblokir kasir, kendati para pembeli masih ramai. Tak urung terjadi perang lidah antara pembeli dan pemilik Ponti Sari. "Maksud kami menutup kasir, supaya yang biasa beli pasta gigi 10 buah jangan ambil 40. Sisakan bagi orang lain," begitu alasannya. Tentu saja, bukan cuma sekadar tapal gigi saja yang malam itu hendak dibeli orang berduit di Pontianak. Sebuah sedan Ford Laser yang dipajang di pekan raya Pontianak, malam itu juga hendak dibayar oleh seseorang dengan tunai, kendati Rp 3 juta masih perlu diambil di rumahnya. Dia gagal. Penjual lebih pintar. Siapa yang tak mau ambil kesempatan? Sewaktu berbicara di TVRI, Jumat malam, Radius memang sudah mengimbau agar masyarakat khususnya pedagang dan produsen barang, mengkalkulasikan harga barangnya dengan tidak asal gebrak. Devaluasi memang akan membikin harga naik, tapi tak sampai 45%. Pengalaman dari devaluasi November 1978 dan Maret 1983, seperti dimonitor pemerintah, menunjukkan, kenaikan harga barang tidak mencapai sebesar tingginya devaluasi. Inflasi November 1978 tercatat 2,37% sedangkan April 1983 tercatat inflasi 2,43%. Apalagi dewasa ini, barang kebutuhan pokok cukup tersedia. Dan pemerintah menjamin harga beberapa jenis barang dan jasa yang dikelola badan usaha milik negara tidak akan dinaikkan. Misalnya listrik, telepon, angkutan kereta api, dan bahan bakar. Tapi devaluasi adalah devaluasi, dan guncangan tetap guncangan. Teristimewa, karena sock yang diakibatkan pemerintah kali ini cukup parah. Rupiah, dengan turun 45% nilainya, mencatat rekor terjun tersendiri. Hanya segelintir orang kaya atau perusahaan, yang sempat membeli dolar sebelum devaluasi, dan berarti kini mendadak tambah 45% kekayaan rupiahnya. Sebagian besar masyarakat, secara tiba-tiba, berada antara lemas dan cemas: mereka khawatir rupiah di kantung atau gaji yang diterima akan mengkeret. Para pengusaha dan pedagang pun bingung bagaimana cara meningkatkan harga barang, bila mesin dan bahan lain yang diimpor naik 45%. Padahal, daya beli masyarakat sudah lemah. Maka, banyak pengusaha dalam satu dua hari ini terpaksa menahan barangnya. Kalangan produsen benang untuk industri tekstil, misalnya, Sabtu lalu saling menelepon untuk kemudian sepakat bertemu di Kartika Chandra, Senin. Sampai berita ini diturunkan, belum jelas bagaimana kesepakatan harga benang produksi mereka. Tapi pabrik benang Textra Amspin, yang menjadi barometer harga benang lokal, menurut Aminuddin, direktur utamanya, akan menaikkan harga 25%-30%. Kenaikan harga itu tentu akan berantai ke industri pertenunan kain dan pakaian jadi, yang dibutuhkan masyarakat luas. Tapi tak cuma tekstil. Bahan pokok lain juga langsung ikut naik harga. Apalagi buat masyarakat penduduk Pulau Batam dan Tanjungpinang: beras, minyak goreng, gula, sampai dengan sayur harus mereka impor dari Singapura. Dengan kata lain, mereka harus bayar semua itu dengan hitungan dolar, yang tentu saja mengalami kenaikan harga sekitar besarnya devaluasi. Minyak goreng, misalnya, naik dari Rp 3.200 jadi Rp 4.600 per kg. Jangankan di daerah perbatasan dengan Singapura itu. Di Jakarta sendiri harga beras sudah bergerak naik 1%-30% meskipun tak jelas hubungannya dengan devaluasi. Yang agak bisa dipastikan menggila ialah harga obat. Obat-obatan belum termasuk jenis bahan pokok yang dikendalikan. Harganya sudah tinggi, terutama jenis obat keras sebagaimana baru saja diributkan. Kini obat ini, yang bahan bakunya diimpor sudah siap-siap untuk bergolak lebih tak terjangkau lagi. Pedagang besar farmasi di Pontianak, misalnya, telah memblokir stok, sementara toko-toko penjual bebas telah menaikkan harga obat lokal sekitar 20%, dan harga obat impor 30%. Pasar mobil, khususnya merk Jepang, dengan devaluasi itu tahun ini dua kali kena gebuk. Awal tahun, para penyalur mobil Jepang di sini sudah harus menyesuaikan harga karena kenaikan kurs yen sekitar 50%. "Belum selesai kami melakukannya, sudah digebuk lagi dengan devaluasi," kata Soebronto Laras, Dirut PT Indo Mobil Utama yang juga menjadi Ketua Gabungan Industri Mobil Indonesia. Mobil-mobil rakitan jenis niaga, yang sudah menyerap sekitar 40% komponen lokal, harus mengalami kenaikan harga sekitar 15%-20%. Tapi mobil jenis sedan, yang hampir seluruh komponennya masih harus diimpor, mau tak mau harus mengalami kenaikan 40%-45% seperti besarnya devaluasi. Kalau dihitung mulai dari pengaruh penguatan yen sampai devaluasi rupiah, menurut Soebronto, harga mobil Jepang harus dinaikkan sekitar 80% sejak awal tahun ini. Barang-barang elektronik impor maupun rakitan merk impor juga sudah dipastikan akan membubung harganya. Kwan Ceh, pemilik toko elektronik di Batam, merasa rugi karena menjual dua mesin cuci Hitachi seharga Rp 195.000 dan sebuah televisi warna Philips 14 inci, dengan harga Rp 220.000. Sejak Sabtu lalu, terpaksa ia menyetel harga semua barangnya 20%-45% di atas harga sebelumnya. Menurut A Sioe, pemilik tiga toko elektronik di Proyek Senen, Jakarta, rata-rata harga barang elektronik kini naik. Produkproduk pabrik lokal seperti Polytron, dinaikkan 15%-20%. Rakitan PT National Gobel malah dinaikkan 20% --25%. Sedangkan barang-barang elektronik impor, seperti Video (VCR) Sony C-30, naik sekitar 35% menjadi Rp 500.000 per unit. Tetapi tidak semua perusahaan yang memproduksi dengan komponen impor berani menyesuaikan harga. PT Multi Bintang Indonesia, produsen minuman yang membutuhkan bahan baku impor sampai 60% masih merasa perlu melihat dulu perkembangan pasar. "Secara umum, keadaan ekonomi sekarang sebenarnya jauh lebih parah dari keadaan waktu terjadi devaluasi 1983," ujar Dirut Tanri Abeng. Menurut Abeng, bila harga segera dinaikkan, hanya para pedagang perantara yang akan diuntungkan -- apalagi kalau masyarakat main tabrak barang saja. M.W., Laporan: Biro Jakarta & Daerah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini