"APAKAH Anda masih mempercayai pemerintah Anda?" tanya seorang profesor Amerika, yang minggu sebelumnya merupiahkan dolar yang baru diterimanya. Aku tersenyum. Malam sebelumnya, Menteri Keuangan Radius Prawiro mengumumkan devaluasi rupiah terhadap dolar sebesar 45%. Padahal rakyat Indonesia sudah terlena oleh janji-janji pemerintah, yang tak akan melakukan devaluasi. Devaluasi ternyata jadi juga dilakukan di tengah-tengah resesi dan deflasi, dan pada saat rupiah sedang tidur di bank-bank sebagai deposito. Devaluasi 12 September 1986 merupakan sebuah klimaks drama yang dimulai awal tahun ini, ketika harga minyak merosot dari US$ 28 per barel menjadi US$ 17, menjadi US$ 10, menjadi US$ 8, lalu naik jadi US$ 10, dan kini diharapkan stabil pada US$ 12-13. Tragisnya, drama ini terjadi pada saat DPR baru saja mengesahkan APBN 1986 - 1987, dengan sasaran penerimaan dari minyak dan gas bumi berjumlah Rp 9,7 trilyun berdasarkan asumsi harga minyak US$ 25 per barel. Apabila harga minyak stabil pada USS 12, dan volume ekspornya juga tetap, perhitungan matematis sederhana menunjukkan bahwa kalau sasaran penerimaan Rp 9,7 trilyun itu harus dicapai akan diperlukan satu devaluasi lebih dari 100%. Apabila tidak dilakukan devaluasi, maka penerimaan dari minyak hanya akan mencapai Rp 4,7 trilyun. Devaluasi 45%, yang dilakukan di pertengahan tahun anggaran 1986-1987, kira-kira akan menghasilkan tambahan penerimaan Rp 1,1 trilyun, jumlah yang masih belum cukup untuk membiayai proyek-proyek Inpres. Devaluasi memang cara yang paling enak untuk meningkatkan penerimaan pemerintah. Karena pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengatur kurs, maka pemerintah tinggal menyetel kurs sesuai dengan jumlah tambahan penerimaan yang dikehendakinya. Karena itu, agaknya pemerintah tak memilih alternatif yang dikemukakan beberapa ekonom selama ini, seperti kebijaksanaan moneter yang lebih longgar, atau pengeluaran surat berharga untuk para penabung di dalam negeri. Devaluasi juga akan meningkatkan kewajiban pembayaran utang luar negeri. Pada 1978 dan 1983, tahun ketika dilakukan devaluasi sebelumnya, jumlah utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah masing-masing Rp 526 milyar dan Rp 2.073 milyar, atau 19% dan 25% dari seluruh pengeluaran rutin. Sekarang keadaan sudah berubah. Utang luar negeri yang harus dibayar tahun anggaran ini akan mencapai Rp 4.183 milyar, atau 32% pengeluaran rutin. Dengan devaluasi 45%, maka tambahan beban pembayaran utang luar negeri ini saja bisa berjumlah Rp 1,5 trilyun -- lebih besar dari tambahan penerimaan minyak. Jelas, makin besar kewajiban pembayaran utang luar negeri, makin mahal harga sebuah devaluasi. Sedangkan manfaat devaluasi kali ini barangkali tambahan penerimaan yang diperoleh bisa digunakan untuk memancing dana bantuan luar negeri untuk pembiayaan proyek-proyek, yang selama ini terhalang karena tak ada dana rupiah di dalam negeri. Kalau pengaruh devaluasi terhadap APBN bisa jelas kelihatan maka tidak demikian halnya dengan pengaruhnya terhadap neraca pembayaran. Ekspor nonmigas memang akan meningkat dengan tambahan perangsang dari devaluasi, tapi ini sesuatu yang tak mendadak. Yang segera terjadi adalah penekanan impor. Selama ini, impor Indonesia memang merosot secara drastis. Antara 1982 dan 1985, impor turun dari US$ 20,6 milyar menjadi US$ 13 milyar. Sekarang, impor barang-barang konsumsi turun US$ 621 juta, bahan mentah dan barang setengah jadi turun US$ 550 juta, tapi impor barang modal turun menjadi US$ 2.440 juta. Karena impor barang modal merupakan indikator kegiatan investasi selama ini, maka bisa dibayangkan penurunan kegiatan investasi yang terjadi, serta akibatnya pada tambahan lapangan kerja. Devaluasi dan kebijaksanaan luar negeri yang masih proteksionistis dipastikan akan lebih menekan impor lagi. Yang dikhawatirkan adalah bahwa tingkat impor selama ini sudah mencapai maintennce level, tingkat minimal yang tak bisa ditekan lagi tanpa membahayakan tingkat investasi dan kesempatan kerja. Ekspor minyak dan gas di APBN diperkirakan US$ 12,5 milyar atas dasar harga minyak US$ 25 per barel. Karena harganya sekarang hanya US$ 12, maka ekspor minyak akan US$ 6 milyar lebih rendah dari sasaran. Mengecilnya ekspor minyak akan memperbaiki defisit pada pos jasa-jasa minyak dan gas, hingga defisit pada transaksi berjalan akan lebih buruk hanya dengan US$ 4 milyar dari yang diperkirakan pada APBN. Artinya, defisit transaksi berjalan akan mencapai US$ 6 milyar. Apabila transaksi modal tak berubah cadangan devisa kita pada akhir tahun anggaran akan berkurang US$ 6 milyar, jadi tinggal hanya US$ 4 milyar saja. Apakah cadangan devisa yang hanya cukup untuk 4 bulan impor itu terlalu kecil? Rupanya, pemerintah memandang terlalu riskan untuk bekerja dengan devisa sebesar itu. Apabila cadangan devisa jatuh seperti itu Anda hanya punya dua pilihan: cari tambahan utang atau melakukan devaluasi. Kalau impor sudah tidak bisa ditekan lagi, maka sekarang terserah eksportir kita untuk menerima tantangan. Perangsang sudah diberikan lewat Paket 6 Mei dan devaluasi. Tantangan yang dihadapi memang tidak ringan. Tahun lalu ekspor nonminyak kita mandek pada US$ 5,8 milyar, jumlah yang sama dengan setahun sebelumnya. Ekspor komoditi primer turun 5%, tapi ditolong oleh kenaikan ekspor manufaktur. Pertumbuhan ekonomi negara industri yang mulai bergerak awal 1986, bulan-bulan terakhir ini melemah lagi, padahal minyak yang mereka beli sudah murah sekali. Sekalipun hambatan tarif yang dikenakan negara industri terhadap ekspor kita relatif rendah (kecuali Jepang, yang rata-rata mengenakan tarif 7% terhadap ekspor hasil pertanian kita), hambatan nontarif, seperti pembatasan impor, kuota, masih dihadapi 20% ekspor kita ke MEE, 15% ke Jepang, dan 5% ke AS. Jumlah macam tekstil kita yang terkena kuota di AS meningkat dari sembilan golongan pada 1984 menjadi 34 golongan sekarang. Ada dua masalah yang dihadapi eksportir kita. Keunggulan produksi mereka yang padat karya merupakan masalah yang sensitif di negara pengimpor, karena bisa menyaingi industri mereka yang sama. Kedua, eksportir barang-barang manufaktur kita merupakan pendatang baru. Akibatnya, pasar yang mereka rebut belum besar, seperti direbut Taiwan, Korea Selatan, dan RRC, tapi sudah keburu menghadapi pembatasan impor yang digalakkan. Sekalipun demikian, eksportir kita harus berhasil dalam melaksanakan misi yang dibebankan kepada mereka. Pengorbanan yang diberikan pemerintah dan masyarakat lewat devaluasi tidak kecil. Sebab, sebuah devaluasi, kata seorang ekonom, adalah sebuah pajak terselubung yang dipaksakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini