BERMULA dari tulisan berjudul "Permainan sidang tilang di pengadilan makin 'gila'" yang dimuat harian Pos Kota terbitan 17 Oktober 1988. Isinya tentang permainan sidang tilang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang makin "gila". Dalam tulisan itu disebut-sebut "keterlibatan" Jaksa Naek Marpaung, yang bertindak sebagai penuntut umum, dan "menguasai" berkas tilang yang tidak sempat disidangkan, karena para pelanggar peraturan lalu lintas tersebut terlambat hadir atau tak hadir sama sekali. Karena tak muncul di persidangan, mereka yang kena tilang itu berurusan langsung dengan Marpaung, dan dikabarkan harus membayar denda tambahan. Praktek ini disebut Pos Kota -- dengan mengutip sejumlah pakar hukum -- sebagai tindak korupsi. Esoknya, Pos Kota menurunkan berita berjudul "Jaksa yang mainkan sidang tilang diperiksa Kejaksaan Tinggi Jakarta." Akibat dua berita itu, Redaktur Pelaksana Pos Kota M. Syukri Burhan dihadapkan ke meja hijau Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Sabtu pekan lalu. Menurut Jaksa M. Situngkir, yang bertindak sebagai penuntut, tulisan itu tidak berimbang dan tidak dikonfirmasikan. Ia, selain mendakwa Pos Kota dengan sengaja menyerang nama baik Marpaung, juga menuding harian itu telah menyiarkan tulisan yang menghina korp jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada terbitan 20 Oktober, Pos Kota memuat penjelasan Humas Kejaksaan Agung yang menyangkal kebenaran berita tentang "permainan" kasus tilang tersebut. "Itu tak menghalangi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk menuntut," kata Situngkir. Betulkah Marpaung mengutip denda tambahan dari mereka yang tak hadir di sidang tilang? Syukri menjamin bahwa kebenaran berita penyelewengan yang ditulis Susilo itu tak perlu diragukan. Informasi mengenai itu diperoleh Susilo dari sumbersumber yang layak dipercaya. "Kalau kami berniat tidak baik, kami tulis nama lengkap jaksa itu," katanya. Dalam tulisan yang mengguncangkan para jaksa itu, memang, Pos Kota tak menulis nama jelas Jaksa Marpaung. Susilo, yang bakal diajukan sebagai saksi, juga menyangkal telah menulis berita itu secara sepihak. Ia, katanya, sebelum menurunkan tulisan yang "menghebohkan" itu sudah berupaya menjumpai Marpaung di kantornya, yang hanya beberapa meter dari gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Tapi, tidak ketemu," kata Susilo. Maka tulisan tentang "skandal" di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat itu sempat tertahan dua hari sebelum naik cetak. Pemimpin Redaksi Pos Kota Sofyan Lubis menyayangkan langkah yang ditempuh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa Marpaung, katanya, secara pribadi belum menggunakan hak jawabnya. "Kalau ia mau menggunakan hak tersebut, kami akan memuatnya sesuai dengan kode etik," tambah Sofyan. Tulisan yang dimuat Pos Kota terbitan 20 Oktober semata-mata mengutip keterangan Humas Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan bukan bantahan dari Marpaung. Pengacara Teguh Samudera, yang bertindak sebagai pembela Pos Kota, menyarankan pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk melaporkan kasus Jaksa Marpaung terlebih dulu kepada Dewan Kehormatan Pers. Karena kasus tersebut menyangkut delik pers. Dan, "Pers punya kode etik sendiri," katanya. Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) D. H. Assegaf tak menyalahkan bila Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat memilih jalur pengadilan. Kalau mengadu ke Dewan Kehormatan, mereka akan diberi formulir, yang isinya antara lain pengadu tak diperkenankan lagi menggunakan jalur hukum di pengadilan. "Karena Dewan Kehormatan sudah memiliki sendiri sanksi-sanksinya," kata Assegaf. AKS, Mukhsin Lubis, dan Leila S Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini