Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Nasib Wartawan Di Sarang Gerilya

Dalam menjalankan tugasnya, wartawan tak selalu bisa tenang. Sering juga nyawanya ikut terancam. Dipukul dan dibunuh sudah biasa. Ada yang dipenjarakan, diculik. Itu terjadi di Indonesia dan luar negeri.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJADI wartawan mungkin lebih banyak tak enak daripada enaknya. Apalagi wartawan yang bekerja di tengah kobaran perang. Mereka harus pandai-pandai "bermain" di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Kalau nasib sedang tak memihak, bisa-bisa nyawa terancam. Nasib seperti itu setidaknya kini menimpa 18 wartawan dari koran Eelandu di Jaffna, 300 km utara Kolombo (Sri Lanka). Semula memang tak ada yang mengetahui nasib mereka, sampai Ahad pekan lalu, salah seorang wartawan -- minta dirahasiakan namanya -- lolos dari saran penculik dan mengungkapkan peristiwa ini. Penculikan sebenarnya sudah terjadi Kamis dua pekan lalu. Ketika itu para wartawan sedang bekerja menyiapkan koran mereka. Penculiknya adalah tentara gerilyawan Tamil dari Front Revolusi Kemerdekaan Rakyat Eelam (EPRLF). Ke-18 wartawan lalu dinaikkan ke truk dan dibawa ke suatu tempat yang dirahasiakan. Tindakan keras EPRLF terhadap Eelandu ini bukanlah yang pertama kalinya. September lalu mereka juga pernah menutup koran tersebut, gara-gara memuat iklan peringatan kematian salah seorang pemimpin dari gerilyawan Tamil lainnya, yakni Macan Tamil Kemerdekaan Eelam. Maka, kelompok EPRLF -- yang didukung tentara India -- berang terhadap koran yang sudah berusia 30 tahun itu. Soalnya, EPRLF bermusuhan dengan Macan Tamil sekalipun sama-sama memperjuangkan otonomi buat minoritas Tamil di Sri Lanka. Sebaliknya, Macan Tamil juga pernah meledakkan kantor Eeladu, Februari silam. Pasalnya, koran ini memberitakan bergabungnya kelompok Macan Tamil dengan EPRLF yang pro-India itu. Pemberitaan ini, sekalipun ada benarnya, dianggap tak sejalan dengan beleid Macan Tamil. Akan halnya nasib wartawan yang diculik itu, sampai kini belum jelas. Menurut wartawan yang lolos, mereka disiapkan oleh EPRLF untuk bekerja di sebuah koran baru. Bisa dibayangkan mereka akan bekerja di bawah todongan senjata, seraya menulis berita-berita yang sesuai dengan kepentingan EPRLF. Tapi diculik agaknya lebih baik ketimbang dibunuh. Paling sedikit ada 38 wartawan di belahan bumi lainnya yang telah dibantai sepanjang tahun ini saja. Hal itu diungkapkan oleh Asosiasi Reporter Garis Depan Prancis, awal bulan ini. Dan Amerika Latin mencatat rekor kematian jumlah wartawan. Di kawasan panas itu, 24 kuli tinta yang tewas. Belum terhitung 254 wartawan lainnya yang dipenjarakan. Tahun lalu, wartawan yang tewas tercatat 27 orang. Di Indonesia, sama saja. Dalam menjalankan tugasnya, kuli tinta tak selalu bisa tenang. Sering juga nyawanya ikut terancam. Tahun lalu setidaknya ada dua wartawan yang tewas, seorang di antaranya Saud Batubara, wartawan Sinar Indonesia Baru di Medan dengan bekas tusukan benda tajam di lehernya. Ada dugaan, kematian Saud berkait dengan tulisannya tentang sindikat penjualan bayi di Belawan. Soalnya, tak lama setelah menulis berita itu, ia diancam akan dibunuh. Kasus kematian Saud sampai sekarang masih remang-remang. Masih di Medan, nasib serupa juga menimpa Azhar Adam wartawan Sinar Pembangunan. Agustus tahun silam, Azhar dihajar Iqbal Hasibuan di kantor DLLAJR cabang Medan. Sesudah melapor ke Poltabes Medan, setibanya di rumah, Azhar muntah darah. Setelah dirawat di RS Gelugur selama 20 hari, ia meninggal. Menurut Betty Pandiangan. istri almarhum, setelah insiden pemukulan tadi, Azhal mengalami shock beral yang merenggut nyawanya. Cara-cara keras, bukanlah modus baru dalam membungkam aktivitas wartawan. Penyebabnya macam-macam. Ada yang terganggu karena dampak pemberitaan, misalnya, mengancam sumber penghasilan atau merugikan nama baik. Tapi, ada juga yang jengkel misalnya, nyamuk pers dianggap sewenang-wenang dalam pemberitaan, tidak mau diajak kompromi, atau memeras sumber berita. Tak heran bila akhir-akhir ini semakin meningkat saja jumlah wartawan yang "dihajar" oleh sumber berita. Paling menggemparkan adalah insiden penganiayaan terhadap wartawan majalah Vista, oleh suami artis Jenny Rachman. Kasus ini berlanjut pada pemboikotan terhadap semua kegiatan pasangan suami istri itu, sampai akhirnya Jenny Rachman minta maaf. Sekalipun demikian, cara-cara keras belum berhenti. Ada wartawan Merdeka yang digebuk atas perintah seorang pengusaha di Kalimantan, lalu wartawan Pos Kota mengalami hal yang sama karena ulah adik seorang jaksa. Kasus babak belur ini juga menimpa wartawan Editor gara-gara kemarahan seorang dokter di RS Gelugur Medan wartawan Waspada dipukuli sekelompok calo darah di RS Pirngadi Medan wartawan Bukit Barisan di kantor Polantas Langsa, Aceh Timur, dan wartawan Berita Buana yang "digarap" cala ekspedisi di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dan masih banyak lagi. Dari sejumlah laporan yang masuk ke meja Ketua Umum PWI Pusat, H.M. Soegeng Widjaja, menyimpulkan bahwa kasus timbul karena kesalahpahaman. "Profesi dan citra wartawan masih belum clear di kalangan masyarakat. Sehingga prasangka selalu saja menjadi konsekuensi setia wartawan yang mencari berita," katanya. Ia berupaya melindungi wartawan, antara lain dengan kewajiban memiliki kartu anggota PWI. "Kalau semua wartawan memiliki kartu anggota dan semua instansi yang dihubungi wartawan mengerti siapa pemiliknya, kesalahpahaman bisa dikurangi," tambak Soegeng. Sekalipun begitu, tak semua wartawan Indonesia harus dibela. Menurut Ketua Dewan Kehormatan Pers, D.H. Assegaff, wartawan yang harus dilindungi adalah yang mendapat perlakuan keras berdasarkan pekerjaannya sebagai wartawan, dan bukan karena persoalan pribadi. Ahmad K Soeriawidjaja, Leila S Chudori, S Napitupulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus