Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA ide tentang rakyat adalah ide tentang pasar, dan pemilihan umum jadi toko kelontong besar, demokrasi akan memilih seorang Arnold Schwarzenegger.
Laris, laris, praktis!—itu mungkin teriak penjaja dalam politik di sebuah zaman ketika media akhirnya menyederhanakan segala hal. Pilihlah dia. Tak perlu program. Tak perlu sebuah lembaga yang mengelola seleksi kepemimpinannya. Tak perlu orang ramai tahu adakah mutunya telah teruji untuk memimpin sebuah masyarakat yang, sebagaimana lazimnya, penuh dengan konflik. Yang perlu adalah apa yang dalam pemasaran dan periklanan disebut brand-name, atau merek, atau logo, yang mudah dikenal. Praktis: tidak perlu menelisik dan mencari-cari lagi.
Saya tak hanya menulis tentang California. Indonesia yang tak lama lagi akan memilih presidennya barangkali akan mengalami proses yang kini terjadi di negara bagian Amerika Serikat yang mengandung Hollywood di salah satu sudutnya itu. Di California, para pemilih lebih cenderung kepada selebriti ketimbang partai-partai. Kini orang ingin menerapkan demokrasi yang langsung sebagaimana mereka jadi konsumen yang memesan baju, perhiasan, film, lagu, langsung melalui Internet.
Tanpa perantara, tanpa panduan seorang connoisseur, mereka bersua dengan begitu banyak pilihan. Juga pilihan calon kepala negara bagian mereka. Ketika Schwarzenegger muncul, sebagaimana ia muncul dalam Terminator, sebuah film yang dinikmati hampir semua orang, orang pun bertepuk: nah, ini dia!
Di Indonesia, Pemilihan Umum 2004 tampaknya belum akan menampilkan seorang bintang film tenar. Tapi di sini pun, orang akan menghadapi jorjoran sekian puluh partai politik yang hampir semua tanda gambarnya tak bisa kita ingat. Pemilihan tahun depan buat pertama kali juga akan jadi sebuah persaingan sekian puluh calon presiden, yang prestasinya hanya sayup-sayup sampai ke telinga banyak orang.
Pada saat yang sama, para pemilih sedang kecewa. Mereka kehilangan kepercayaan kepada partai-partai, sebagaimana mereka tak punya banyak harapan kepada kerja para wakil di DPR dan DPRD. Apa gerangan yang jadi pedoman bagi para pemilih kelak?
Pernah kita berangan-angan bahwa akan ada saatnya, ketika rakyat lebih "sadar politik", mereka akan memilih berdasarkan pertimbangan yang rasional: menelaah agenda yang ditawarkan sang calon, meneliti prestasi dan tabiatnya, dan membandingkannya dengan partai dan tokoh lain. Pernah kita percaya bahwa karena pendidikan sudah semakin membaik (sebuah premis yang entah datang dari mana), Indonesia akan melahirkan pemimpin yang mencerminkan tingkat kecerdasan baru itu. Tapi apa yang kemudian terjadi?
Dulu, Indonesia pernah dipimpin Bung Karno, seorang lulusan perguruan tinggi dengan erudisi yang mengesankan, dengan tulisan-tulisan yang terpelajar, tajam, dan menggugah. Kini kita tak tahu apa gerangan yang pernah ditulis (atau dipikirkan) Megawati. Dulu, Indonesia pernah punya Bung Hatta, seorang ekonom yang banyak membaca, menelaah, mengutarakan pikiran, dan tak henti-hentinya berjuang bersungguh-sungguh hingga ia baru menikah setelah Indonesia merdeka. Kini kita punya seorang Hamzah Haz….
Agar tak tampak bahwa Indonesia hanya satu-satunya kisah kemerosotan, baiklah saya sebutkan bahwa Amerika Serikat juga punya pengalaman mirip: negeri yang pernah punya presiden seorang Thomas Jefferson ini—seorang filosof, ilmuwan, arsitek, penemu—sekarang mendapatkan seorang George W. Bush, yang dengan pengetahuan umum yang terbatas mengutarakan yang hanya sedikit diketahuinya dalam bahasa Inggris yang juga terbatas.
Tapi apa lacur, dia, seperti Megawati, juga dipilih. Tampaknya, di tengah hiruk-pikuk apa dan siapa para tokoh yang berseliweran, dia adalah sebuah Coca-Cola atau McDonald's. Seperti Schwarzenegger, dia punya brand-name ("Bush") yang sudah dikenal orang banyak.
Agaknya sesuatu telah berlangsung dalam politik dewasa ini—sesuatu yang barangkali bisa disebut sebagai peng-kelontong-an informasi. Di toko kelontong, bermacam ragam hal ditawarkan. Tak ada yang telah diseleksi lebih dulu, menurut jenis, tingkat mutu, dan segmen pembeli. Dewasa ini, itulah yang terjadi—melalui Internet, iklan televisi dan radio dan surat kabar, melalui berita yang datang setiap jam dan hampir dari segenap penjuru. Semuanya menghambur serentak. Semuanya tak akan tertelan oleh siapa pun. Dan ketika para konsumen merasa mampu langsung menentukan pilihannya, mereka pun akhirnya berpedoman kepada "laris, laris, praktis". Pasar seakan-akan jadi total.
Apa pun yang dikatakan kaum "neo-liberal", ada yang terancam ketika pasar jadi total: ketika perhitungan laku dan tak laku, laris dan tak laris, menguasai semuanya, dan ketika tak ada mediasi lagi antara yang menawar dan yang menawarkan—karena mediasi itu pun ditentukan oleh kriteria laku atau tak laku. Pernah ada masanya kita tahu bahwa buku yang laris belum tentu buku yang bermutu. Pernah kita mendasarkan informasi kita tentang "bermutu" atau "tidak" kepada satu atau dua orang penilai yang berwibawa. Tapi dewasa ini, bukan penilaian para penilai itu saja yang digugat. Bahkan ide tentang "bermutu" itu sendiri sudah dirobohkan, seakan-akan di sana ada kekuasaan para cendekia yang memaksa.
Wibawa dianggap sebagai sebuah dosa. Para cendekia kini telah jadi makhluk yang dicurigai. Tapi orang lupa bahwa pasar yang total hanyalah sebuah ilusi. Selalu ada mediasi: agen-agen periklanan yang canggih dan humas yang bisa membuat merah atau biru apa saja yang hitam. Dengan kampanye yang dibiayai uang berjuta-juta, bukan konsumen yang memilih, melainkan konsumen yang dipilihkan. Benetton, Bush, Estee Lauder, Megawati, BMW, Nike, Schwarzenegger….
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo