KABAR dari Senayan ini mungkin bisa melegakan masyarakat Papua. Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua dalam rapat paripurna DPR, 26 September lalu, setuju provinsi paling timur Indonesia ini men-dapatkan 80 persen pendapatan yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam lainnya. Kalau pemerintah juga satu suara dengan DPR, rakyat Papua bakal lebih makmur. Sebab, bumi Papua saat ini masih menyimpan banyak sumber daya alam yang belum digarap. Ini berbeda dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Meski mendapatkan jatah 70 persen, sumber daya alam daerah itu sudah banyak yang dieksploitasi.
Dari persetujuan itu, ada poin penting lain yang selama ini ditunggu-tunggu: ikut me-nikmati rezeki emas, tembaga, juga perak yang digali PT Freeport Indonesia. Bahkan, bukan sekadar ikut kecipratan, Pemerintah Daerah Papua juga berharap bisa memiliki saham Freeport. "Persetujuan ini berimplikasi sangat besar ke arah itu (pemilikan saham Freeport)," kata Priyo Budi Santoso, anggota Komisi VIII DPR.
Menurut Priyo, Pemerintah Daerah Papua akan mendapat prioritas memiliki saham Freeport jika perusahaan tambang dari Amerika Serikat itu melakukan divestasi. Men-dapatkan saham Freeport, siapa tak mau? Hasil yang didapat Freeport dari penambangan emas dan tembaga di pegunungan Grasberg, Jayawijaya, itu bukan main melimpahnya. Tahun 2000 lalu, dari penjualan 1,4 miliar pon tembaga dan 1,9 miliar ounces (1 ounce = 31 gram) emas, Freeport bisa membukukan pendapatan US$ 516 juta atau sekitar Rp 5,16 triliun (pada kurs Rp 10 ribu per dolar AS).
Hanya, untuk masalah Freeport ini rakyat Papua masih harus bersabar. Soalnya, hingga kini belum ada tanda-tanda Freeport akan mendivestasi alias menjual sahamnya ke pihak lain, termasuk Pemda Papua. Memang, sebagai-mana kontrak karya perusahaan tambang asing lainnya, dalam Kontrak Karya Freeport juga dicantumkan keharusan divestasi sampai dengan 51 persen. Tetapi, Freeport punya senjata untuk melawan kontrak karya terakhir yang digenggamnya sejak 1991 dan berlaku selama 30 tahun. Seperti diingatkan Siddharta Moersjid, Manajer Senior Komunikasi Per-usahaan Freeport Indonesia, ada Peraturan Pemerintah Tahun 1994 yang membolehkan penanaman modal asing (PMA) memiliki saham sampai 100 persen.
Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Wimpy S. Tjetjep, menyatakan bahwa, selama peraturan itu belum dicabut, pemerintah memang tidak bisa memaksa Freeport mendivestasikan sahamnya. "Dalam hal ini Freeport tidak bisa disalahkan," katanya. Wimpy sendiri setuju bila peraturan pemerintah itu ditinjau kembali. Sebab, bukan hanya Freeport yang bersembunyi di belakangan aturan itu. Perusahaan tambang asing lainnya juga banyak yang menjadikan aturan itu sebagai tameng untuk menolak divestasi.
Lalu, siapa yang harus disalahkan? Pemerintah? Yang jelas, kalaupun kini ada PMA yang "berbaik hati" melepas sahamnya, sebagian di antaranya sudah tidak ada artinya. Ibaratnya, yang mereka tawarkan sudah tinggal ampas belaka. Beberapa tambang yang digarap PMA berumur tinggal beberapa tahun, bahkan ada yang sudah nyaris tutup. PT Newmont Minahasa Raya, misalnya. Tambang emas ini umur tambangnya tinggal sampai tahun 2003. Sementara itu, baru pada tahun 2002 perusahaan ini punya kewajiban mendivestasikan 51 persen sahamnya. Newmont Minahasa tentu mau-mau saja menjual sahamnya. "Tetapi siapa yang mau beli?" kata Wimpy. Nasib yang sama juga terjadi pada perusahaan tambang emas, PT Kelian Equatorial Mining, yang pada tahun 2003 akan tutup tetapi baru pada 2002 diwajibkan melakukan divestasi 51 persen.
Alhasil, yang harus dibenahi bukan hanya peraturan pemerintah, tetapi juga kontrak karya yang tidak masuk akal seperti itu. Soal ide pencabutan aturan yang memberi kelonggaran kepada investor asing sebenarnya sudah lama disuarakan. Susilo Bambang Yudhoyono ketika menduduki kursi Menteri Pertambangan dan Energi sudah bertekad meninjau aturan itu. Susilo melihat bahwa kontrak karya pertambangan dengan peraturan pemerintah memang tidak sejalan. Karena itu, kalau memang mau memberi bagian kepada daerah, peraturan itu harus dicabut.
Hartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini