Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berlomba Memburu Laba Tinggi

Perbankan nasional disinyalir mencari keuntungan besar dengan menerapkan tingkat bunga kredit yang tinggi. Bunga tinggi juga menunjukkan adanya inefisiensi dalam perbankan nasional.

1 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG Chandra di lantai 6 Gedung Kebon Sirih, Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat malam dua pekan lalu tampak ramai. Seratus lima puluhan bankir dari bank pemerintah, bank swasta nasional, bank daerah, dan bank asing berkumpul dengan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam acara Pertemuan Tahunan Perbankan 2010. Sambil mengobrol santai, mereka makan malam bersama di meja-meja bundar yang ditata rapi di setiap penjuru ruangan.

Seusai santap malam, para bankir mendengarkan pidato Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution. Deputi gubernur senior bank sentral itu memaparkan rencana kebijakan Bank Indonesia pada tahun ini. Peran intermediasi bank menyalurkan kredit dan efisiensi perbankan mendapat sorotan. Untuk memperbaiki efisiensi perbankan, Bank Indonesia akan menerapkan benchmarking atas biaya dana, premi risiko, dan margin keuntungan. ”Peningkatan efisiensi ini agar bisa mendorong penetapan bunga kredit yang lebih wajar,” kata Darmin.

Arah kebijakan Bank Indonesia tersebut kembali dibahas dalam Dialog Perbankan 2010 di Gedung Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Puluhan bankir hadir, di antaranya Ketua Ikatan Bankir Indonesia yang juga Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo serta Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono. Mereka berdialog dengan Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad. ”Efisiensi perbankan juga dibahas,” kata Sigit. Diskusi berlangsung hingga sore. Sampai-sampai Muliaman, yang saat itu kurang fit, pulang dengan wajah kelelahan. ”Tolong carikan Panadol (obat flu),” ujar dia kepada stafnya.

lll

Dari sejumlah isu penting di sektor perbankan, tingkat bunga kredit masih menjadi isu panas dalam beberapa bulan terakhir. Suku bunga kredit dianggap masih cukup mahal meskipun suku bunga acuan (BI Rate) sudah sangat rendah. Darmin mencoba melakukan terobosan menekan bunga deposito, yang diduga menjadi biang kerok tingginya suku bunga kredit. Mantan Direktur Jenderal Pajak ini mendorong 14 bank besar bersepakat membatasi bunga deposito tak melebihi tujuh persen.

Hasilnya lumayan. Bank-bank gede mau menekan bunga depositonya. Data Bank Indonesia menunjukkan bunga deposito turun signifikan dari 10,97 persen pada November 2008 menjadi 7,12 persen setahun kemudian. Pada saat yang sama, Bank Indonesia juga memangkas BI Rate dari 9,5 persen menjadi 6,5 persen. Sayangnya, bunga kredit tak banyak bergerak, hanya turun 1,11 persen dari 14,65 persen menjadi 13,54 persen.

Tudingan miring pun tertuju ke perbankan nasional. Mereka dianggap memburu laba besar dengan menerapkan bunga kredit yang tinggi. Tudingan seram lainnya: tingginya tingkat bunga kredit menunjukkan perbankan belum efisien, seperti disinggung Darmin tadi. Menurut Latif Adam, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, inefisiensi perbankan terlihat dari tingginya margin bunga bersih (NIM) alias selisih bunga simpanan dengan bunga kredit. Margin bunga bersih plus bunga deposito merupakan penentu tingkat bunga kredit perbankan. Adapun komponen margin bunga bersih terdiri atas premi risiko, biaya overhead, dan margin keuntungan.

Data Bank Indonesia menunjukkan margin bunga bersih perbankan nasional 5-6 persen, lebih tinggi dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara dan regional Asia, yang hanya 3-4 persen. Tingginya margin bunga bersih ini membuat bunga kredit menjadi tinggi. ”Sekarang bunga kredit masih 12-14 persen,” kata Adam. ”Idealnya, bunga kredit di bawah 10 persen.” Muliaman mengakui margin bunga bersih bisa ditekan lagi sekitar dua persen. Artinya, kata dia, ”Masih ada ruang penurunan suku bunga kredit.”

Inefisiensi perbankan nasional juga terlihat dari tingginya rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan tingginya bunga riil (selisih bunga nominal dan inflasi). Dalam empat bulan terakhir, kata Adam, BOPO naik dari 83,71 persen menjadi 84,76 persen, di atas angka ideal Bank Indonesia 80 persen.

Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies yang dirilis Australia National University, bunga riil di Indonesia saat ini sembilan persen, naik dibanding sebelumnya, 7-8 persen. Bunga riil di Malaysia hanya 2,3 persen dan Thailand 6,3 persen. ”Di kedua negara itu, bunga riil membaik, tapi kita malah memburuk,” kata Adam. ”Jelas ada yang keliru dalam perbankan kita.”

Adam menduga salah satu faktor penyebab inefisiensi adalah bank cenderung memiliki sendiri gedung perkantoran ketimbang menyewanya. Alhasil, biaya pemeliharaan dan pembangunan perkantoran menjadi tanggungan bank. Buntutnya, biaya overhead perbankan meningkat. Kesepakatan 14 bank menurunkan bunga deposito juga tak menjamin biaya dana (cost of fund) yang dipikul perbankan turun.

Strategi perbankan berkompetisi dalam memperebutkan nasabah, katanya, berubah dari menawarkan bunga deposito tinggi menjadi menawarkan beraneka ragam hadiah. Hampir semua bank besar dan menengah berlomba memberikan hadiah mobil mewah. Tak ayal, biaya dana relatif tidak berubah meskipun bunga deposito menurun.

Bank Indonesia juga geregetan lantaran bunga kredit tak kunjung turun signifikan. Kebon Sirih sempat melemparkan wacana akan mengeluarkan aturan pembatasan margin bunga bersih. Respons berdatangan dari para bankir. Wakil Direktur BCA Jahja Setiaatmadja kepada Tempo di Jakarta pekan lalu mengatakan margin bunga bersih di Indonesia tinggi lantaran bank masih berkembang sehingga perlu tambahan modal.

Menurut Jahja, Bank tak bisa terus meminta dari pemegang saham. ”Jadi harus dari keuntungan (yang melonjak berkat NIM yang tinggi),” ujarnya. BOPO semua bank juga, kata dia, tidak sama karena bank harus berekspansi, menambah cabang dan anjungan tunai mandiri, serta menutup biaya operasional tabungan yang lebih tinggi dari deposito.

Soal lain adalah pendapatan bank dari fee base income yang masih rendah sehingga belum bisa menutup biaya operasi. Itu yang dikatakan Direktur Utama BNI Gatot Suwondo. ”Jadi perlu NIM tinggi untuk menutup biaya,” ujarnya. Di dalam BOPO, kata dia, ada pencadangan kredit bermasalah yang dalam dua tahun terakhir naik karena krisis global.

Direktur Utama Bank DKI sekaligus Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Winny Erwindia menambahkan, margin bunga bersih di bank pembangunan daerah tinggi karena mayoritas pinjaman tak memiliki jaminan aset tetap. Alhasil, ada risiko tinggi yang diterapkan dalam suku bunga.

Inflasi juga menjadi sorotan Direktur Utama BRI Sofyan Basyir. Ia menilai tingginya bunga kredit sangat dipengaruhi tingginya inflasi Indonesia dibanding negara lain. Akibatnya, para pemilik dana tidak mau mendapat bunga rendah karena akan tergerus inflasi. Dana pensiun milik lembaga pemerintah, misalnya, harus mendapat bunga tinggi agar tak melanggar aturannya. ”Ini lingkaran yang dari dulu tidak bisa disembuhkan,” ujarnya. ”Jadi perlu ada pemahaman bersama.”

Direktur Investasi Dana Pensiun Telkom Wahyudi Salasa mengakui bunga yang bisa memberikan pendapatan memadai menjadi salah satu penilaian kinerja sesuai dengan anggaran dasar dana pensiun. Atas dasar itu, wajar bila dana pensiun sebagai pemilik dana meminta bunga tinggi. ”Kurang fair meminta pemilik dana tidak meminta bunga tinggi,” katanya di Jakarta pekan lalu.

Muliaman tetap optimistis tingkat bunga kredit akan segera menurun bila permintaan kredit meningkat dan mulai tingginya selera perbankan menyalurkan pinjaman. ”Gencarnya persaingan memberikan kredit akan menekan bunga kredit.” Karena itu, kata Muliaman, Bank Indonesia tak akan mengeluarkan aturan pembatasan margin bunga bersih agar tingkat bunga kredit bisa turun. Bank Indonesia hanya akan menyamakan persepsi atas definisi komponen-komponen penentu biaya dana dan margin bunga bersih. ”Selebihnya biar mekanisme pasar saja,” katanya. Direktur Utama BTN Iqbal Lantaro mendukung langkah Bank Indonesia agar tingkat bunga kredit diatur oleh pasar saja.

Abdul Sobur, pengusaha dan pemilik Kriya Nusantara, berharap Bank Indonesia tetap mengatasi masalah tingginya tingkat bunga kredit. Alasannya, suku bunga kredit di Indonesia memang jauh lebih mahal dibanding negara lain. Malaysia dan Thailand, misalnya, di bawah 8 persen, sedangkan Cina sekitar 5 persen. Dengan tingkat bunga tinggi, 12-14 persen, pengusaha dan eksportir Indonesia sulit bersaing dengan eksportir dari negara lain.

Sandiaga Uno, Ketua Komisi Tetap Usaha Kecil dan Menengah Kamar Dagang dan Industri Indonesia, sepakat dengan Sobur. Tapi Sandiaga mengingatkan, masalah perkreditan bukan saja tingginya tingkat bunga. Bank-bank harus berkomitmen mempermudah aksesibilitas pengusaha untuk mendapatkan kredit. Persyaratan mendapatkan kredit juga jangan berbelit-belit dengan proses yang panjang. ”Masalah ini banyak dikeluhkan pengusaha kecil dan menengah,” katanya.

Padjar Iswara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus