JEPANG semakin genit, agaknya, setelah diimbau dari sana sini. Misi investasi yang dipimpin Menteri Muda Ginandjar Kartasasmita, sepanjang minggu lalu, memang bukan satu-satunya imbauan bagi Jepang dalam bulan ini. Ada 17 delegasi dari berbagai negara bagian Amerika Serikat, ada dari India, dan bahkan dari Oman. Bulan depan, RRC akan mengirimkan utusan dagangnya ke sana, dengan kekuatan ratusan pengusaha. Korea Selatan lebih hebat: mereka mengumumkan akan mengirimkan tiga gelombang, sampai akhir tahun ini, dengan jumlah peserta disebutkan "sangat besar". Tapi Ginandjar, ketua BKPM, punya kiat tersendiri dalam berurusan dengan orang Jepang. Lulusan universitas pertanian Tokyo (1965) itu mempromosikan Indonesia dengan bahasa Jepang yang fasih kepada para pengusaha di Tokyo dan Osaka. Reklamenya di Osaka, Jumat lalu, lugas. Judulnya: Indonesia pilihan yang tepat untuk investasi Anda. Dikemukakan bahwa kedatangan misinya - yang terdiri atas lebih dari 65 pengusaha, pejabat tinggi, pimpinan bank, dan didampingi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Bappenas J.B. Sumarlin - untuk memikat kembali minat investor Jepang yang belakangan ini terkait ke Amerika Serikat. Tahun lalu, begitu catatan BKPM menunjukkan, modal Jepang di sini hanya tertanam US$ 31 juta dari atau hanya 3,5% dari seluruh modal asing. Dengan kata lain, cuma dua proyek dari 24 proyek PMA yang masuk selama 1984. Padahal, investasi Jepang ke berbagai negara, sampai 1981, terbesar masih ke Indonesia dan kedua AS. Tapi, sampai Maret 1985, modal Jepang di sini hanya sekitar US$ 4,7 milyar (untuk 203 proyek) sedang di AS pada 1983 sudah sekitar US$ 16,5 milyar (10.846 proyek) sampai dengan Maret 1984. Itulah sebabnya berbagai kemudahan kini ditawarkan Ginandjar: "Pemerintah Indonesia telah melancarkan berbagai upaya untuk memperbaiki iklim Investasi serta kondisi perekonomian pada umumnya ...." Misalnya, prosedur investasi sudah dipermudah, dengan menyederhanakan berbagai peraturan dan perombakan organisasi BKPM sendiri. Begitu juga prosedur pabean dan angkutan laut yang dulu banyak dianggap menghambat. Pokoknya, hal-hal yang selama ini dikeluhkan para penanam modal sudah banyak yang dibereskan. "Tapi," kata Ginandjar kepada TEMPO, "ada hal-hal yang secara prinsip tidak bisa ditawar, misalnya soal hak tanah atau larangan bagi PMA untuk berdagang." Kesibukan menyambut berbagai misi dagang agaknya tidak mengurangi kehangatan Jepang menyambut misi investasi pertama dari sini, dengan munculnya ratusan pengusaha memenuhi acara yang diatur Hill and Knowlton, konsultan AS yang disewa Bappenas. Kikuo Ikeda, 69, presiden perusahan yang memegang Proyek Kali Brantas, Nippon Koei, misalnya menyatakan bahwa apa yang diutarakan Menteri Ginandjar menunjukkan perubahan sikap pemerintah yang lebih luwes kepada dunia usaha. Semangat Menteri Muda UP3DN itu - yang berpidato panjang dalam bahasa Jepang, mengajak para pejabat tinggi (di antaranya Dirjen Pajak dan Sekjen Departemen Pertanian) untuk berbicara langsung dengan pengusaha, bertemu secara pribadi dengan banyak pengusaha, serta membawa rombongan yang cukup besar - kata seorang pengusaha yang mengaku sudah berusaha di Indonesia 20-an tahun itu, "sangat mengharukan". Tapi, apakah semuanya itu cukup bisa menggerakkan perhatian Jepang yang sedang terpesona ke Barat dan mulai bersentuhan dengan RRC? Jawabannya tidak sekarang. "Yang jelas," kata Ginandjar, "sambutan pengusaha Jepang jauh di atas perkiraan, berbagai persoalan investasi semakin jelas, dan bahkan beberapa persoalan dapat diselesaikan secara on the spot." Persoalan yang dapat diselesaikan dalam pertemuan antara Menteri dan seorang pengusaha, misalnya, mengenai Indonesianisasi PMA. Ginandjar mengakui bahwa banyak timbul soal di sana - terutama dalam hal perusahaan yang bersangkutan masih rugi. "Tapi, semua persoalan dapat diselesaikan, asal dilihat kasus demi kasus. Salah satu jalan keluar adalah memberi perpanjangan waktu proses untuk Indonesianisasi," kata Ginandjar. Puas? Sikap dagang orang Jepang memang tidak bisa ditebak seketika. Setelah bertemu dengan beberapa pengusaha, Arifin Panigoro, presiden direktur Meta Epsi Drilling Company, salah seorang peserta misi, menganggap sikap tuan rumah skeptis - mungkin, katanya, mengingat pengalaman masa lalu. Jetro, organisasi untuk promosi perdagangan luar negeri Jepang, memang menyatakan bahwa 80 persen usaha Jepang di sini sekarang dalam keadaan merugi. Prof. Moh. Sadli, salah seorang ahli yang mendampingi misi, beranggapan sama. "Yah, itulah kenyataannya," katanya kepada TEMPO di kantor Kadin di Osaka. Toshikuni Yahiro, 70, ketua Sogo-Shosha yang sangat berpengaruh dari Mitsui, terus terang menunjukkan sikap seperti yang dirasakan baik Sadli, Panigoro, maupun peserta-peserta lain. "Bukan saya tidak percaya kepada kebijaksanaan baru pemerintah Indonesia. Tapi, kalau kenyataan menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga perusahaan patungan kini mengalami kesulitan, mau tak mau kami harus bertanya: Apakah pemerintah mampu menciptakan iklim agar mereka dapat kembali berusaha dengan baik? Kalau tidak, tak ada gunanya mengundang investasi investor. Sebab, modal yang sudah masuk harus dipelihara dan dilindungi," kata Yahiro kepada TEMPO (lihat: Daripada Mengimbau Investor Baru . . . ). Seorang ahli ekonomi dari Jetro, Keiichi Oguro, tidak mempermasalahkan soal "pengalaman pahit". Setelah melakukan riset di sini, katanya, ia memang tidak melihat peluang lagi bagi suatu usaha atau industri yang hasilnya dikonsumsi di dalam negeri. Yang masih menarik adalah investasi berupa perluasan atau kepanjangan dari industri yang sudah ada dan yang pasarnya sudah pasti. Tapi, yang terbaik adalah industri untuk ekspor. Untuk itu, kata Oguro, Indonesia harus membuat suatu daerah ekonomi yang istimewa. Di situ, modal asing dapat bebas masuk 100 persen, tanpa harus berpatungan. Hak-hak istimewa juga harus diberikan, misalnya memecat buruh yang dianggap tidak produktif. Dengan begitu, akan tumbuh tenaga-tenaga yang bagus yang pada akhirnya merupakan human resources bagi negara di masa mendatang. Itu hanya sebuah ide. "Mungkin baik dilihat lewat kaca mata Jepang" seperti kata Takeo Uemura, 60, bekas presiden direktur perusahaan tekstil di sini, PT Tificorp, yang pernah tinggal di Indonesia selama hampir 10 tahun. Tapi, katanya, Indonesia tentu mempunyai cara yang lebih baik, yang berdasarkan cara berpikir Indonesia sendiri. Uemura melihat kegagalan sebagian besar PMA Jepang dari segi lain. Salah satunya adalah ketidakpastian. Misalnya, soal DSP (Daftar Skala Prioritas). Setahu dia, ada pengajuan proyek yang sudah ditolak berdasarkan DSP, tapi akhirnya diam-diam dihidupkan. Hal itu, katanya, sangat mempengaruhi 'Permintaan dan Suplai" yang sudah direncanakan pemerintah sendiri. Terhadap kekhawatiran semacam itu, Kikuo Ikeda dari perusahaan terkemuka di bidang konsultan rekayasa Nippon Koei mengusulkan, antara pemerintah Jepang dan Indonesia perlu dibuat persetujuan perlindungan investasi yang akan merupakan jaminan kedua pemerintah untuk menghindari risiko investasi. Jepang pernah mengadakan persetujuan semacam dengan Mesir (1977), Sri Lanka (1982), dan kini tengah berunding dengan RRC. Umumnya mengenai jaminan terhadap perlindungan harta benda perusahaan sampai kewajiban mengganti kerugian bila secara sepihak salah satu pemerintah melakukan nasionalisasi. Siapa tahu hal itu - seperti soal lain yang menyangkut hubungan ekonomi Jepang-Indonesia - akan dibicarakan dalam pertemuan komite ekonomi kedua negara yang ke-6, November mendatang, di Bali. Harun Musawa & Seiichi Okawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini