Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berlomba Memuasi Dahaga Teh

Kompetisi bisnis teh hijau siap minum makin seru. Peluang pasar masih terbuka.

25 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIDI celingukan. Minuman kegemarannya, teh hijau beraroma jasmine kemasan botol plastik, tak lagi nongkrong di rak minuman kemasan di sebuah hipermarket terkenal di Jakarta. Khawatir salah lihat, ia memperlambat gerak bola matanya, memelototi deretan botol di sepanjang rak. Hasilnya nihil.

Masih ragu juga, Didi, 36 tahun, bertanya kepada petugas hipermarket. ”Siapa tahu dipindah ke rak lain,” gumamnya. Pencarian itu akhirnya berhenti setelah ia mendengar penjelasan, ”Produk itu sudah ditarik dari peredaran, Pak.”

Pria bertubuh subur itu maklum: beberapa pekan lalu Badan Pengawas Obat dan Makanan memang menyerukan penarikan sejumlah minuman kemasan—termasuk minuman kesukaannya. Alasannya, informasi yang dicantumkan di label tak sesuai dengan kandungan isi. Ini dinilai merugikan konsumen.

Sebetulnya, Didi tak begitu peduli seruan itu. Seperti biasa, ia tetap menenggak minuman teh hijau kegemarannya. Toh, kebijakan Badan POM itu tak membuatnya kecewa. Sebagai penggemar teh hijau, dengan mudah ia beralih ke merek lain. Ada banyak pilihan, seperti rasa teh hijau asli, jasmine, apel, dan madu. Pilihannya jatuh pada rasa madu.

Dalam dua tahun terakhir, pasar memang dibanjiri teh hijau siap tenggak. Hampir semua perusahaan air minum kemasan papan atas membuat produk jenis ini. PT ABC President, misalnya, pertengahan tahun lalu meluncurkan tiga varian Nu Green Tea sekaligus. Rivalnya, PT Coca-Cola Indonesia, menyusul dengan mengeluarkan Frestea Green, pada akhir 2005.

Buat Coca-Cola, ini bukan bisnis baru. Induk usahanya, The Coca-Cola Company, sebelumnya telah melemparkan produk serupa di pasar Asia, se-perti merek Nestea Green Tea, Heaven And Earth, dan Marocha.

Raja teh botol Indonesia, PT Sinar Sosro, tak mau kalah. Setelah sukses bermain di black tea, kini Sosro masuk ke bisnis teh hijau. Pada awal 2006 mereka meluncurkan Green-T dengan dua rasa. Produsen teh siap minum kemasan botol pertama di dunia ini mempertahankan pakem klasik rasa kelat teh hijau (astringency). PT Tang Mas juga mengikuti dengan memproduksi Zeastea.

Tak banyak yang tahu, siapa pelopor minuman yang mengusung misi kesehatan ini. Adalah Edy Susianto dan Peter NG, pencetus ide pembuatan minuman teh hijau kemasan botol di Indonesia. Ceritanya bermula ketika Peter berkunjung ke Thailand dan Cina. Banyak minum teh hijau di sana, eh, flek hitam di wajahnya menipis.

Dia yakin semua itu karena khasiat teh hijau. Maka, muncullah ide mengemas teh hijau siap minum. Melalui bendera PT Cherrio Primas Industrindo (Cherindo) yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah, sepasang sahabat itu memperkenalkan Beverin Green Tea, dua setengah tahun lalu. ”Sembilan bulan berikutnya, produk sejenis mulai marak beredar di pasar,” kata Peter, Presiden Direktur Cherrio Primas, kepada Tempo.

Belakangan, rivalitas bisnis teh hijau siap minum makin terasa. Di sebuah hipermarket, perang harga dilakukan secara terbuka. Sosro sempat memangkas harga hampir 50 persen produk teh hijau kemasan botol 450 ml, dari biasanya Rp 3.350 menjadi Rp 1.870. Hal serupa dilakukan ABC President, dengan memberikan potongan harga 30 persen menjadi Rp 2.290 untuk kemasan yang sama.

Ketatnya persaingan ini diakui Arif Mujahidin, Media Relations Manager Coca-Cola Indonesia. Seribu jurus ditempuh untuk menggaet pelanggan, antara lain dengan menekan harga. Upaya menghemat harga bisa ditempuh dengan mengganti botol plastik dengan kemasan botol gelas.

Berbeda dengan kebanyakan produsen yang menggunakan kemasan botol plastik, yang sekali pakai langsung dibuang (one way), kemasan botol gelas bisa diisi ulang (refillable glass bottle/RGB). ”Kalau main di kemasan one way, harganya pasti di atas Rp 3.000,” kata Arif. ”Sebaliknya, dengan kemasan RGB, harga bisa ditekan sekitar separuhnya.”

Arif optimistis peluang pasar masih ada. Pasalnya, bisnis ini baru marak dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan da-ta Asosiasi Produsen Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), pertumbuhan penjualan air minum dalam kemasan rata-rata di atas 10 persen per tahun.

Pangsa pasar komoditas ini pada 2005 tercatat sekitar 12 miliar liter atau 50 liter per kapita per tahun. Angka ini tergolong kecil bila dibandingkan dengan Uni Emirat Arab, 113 liter per kapita per tahun, Thailand 73, Italia 165, Amerika Serikat 80, dan Prancis 140. Pada 2010, diperkirakan penjualan air minum dalam kemasan mencapai 17 miliar liter.

Khusus minuman teh hijau kemasan botol, PT Cherrio mencatat, pangsa pasar domestik mencapai 10 juta botol per bulan. Dari jumlah itu, Beverin Green Tea baru merebut 2-3 persennya. Diakui harganya memang kurang kompetitif: Rp 3.500-3.900 per botol. ”Kami perlu botol yang lebih bagus dan lebih tebal, karena minumannya tidak memakai pengawet,” kata Peter.

Retno Sulistyowati dan Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus