Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawaban itu datang dari Swedia, sekitar 9.000 kilometer dari Nanggroe Aceh Darussalam. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kata Zaini Abdullah, tidak akan membubarkan diri sebab, jika gerakan itu disudahi, ”Komunikasi Jakarta dengan GAM bakal buntu.” Jika sudah buntu, Zaini memastikan segenap perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, pada Agustus 2005 bisa porak-poranda.
Zaini adalah Menteri Luar Negeri GAM. Setelah bergerilya selama empat tahun di gunung-gunung Aceh, dia hengkang ke Swedia pada 1980. Di sana, dia bermukim bersama sejumlah petinggi gerakan itu.
Penjelasan Zaini adalah jawaban terhadap tuntutan sejumlah petinggi di Jakarta agar gerakan yang berdiri sejak 1976 itu tutup buku begitu pilkada selesai. ”GAM harus segera dibubar-kan setelah gubernur baru terpilih,” kata Muladi, Ketua Lembaga Pertahanan Nasional.
Sjafrie Sjamsoeddin, Sekretaris Departemen Pertahanan dan Keamanan, juga mendesakkan hal serupa. Kata-nya, ”Simbol-simbol GAM sudah tidak berlaku lagi. Yang ada hanya Merah-Putih.”
Setelah Irwandi Yusuf, salah seorang pentolan GAM, dipastikan terpilih menjadi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, nasib GAM ini meriah dibahas di sejumlah media massa. Suhu politik antara Jakarta dan organisasi ini kembali memanas.
Dari Swedia, Zaini menegaskan bahwa GAM akan bubar bila tiga syarat berikut ini sudah dipenuhi: amendemen Undang-Undang Nomor 11/ 2006 tentang pemerintahan Aceh, pembentukan partai lokal, dan pembentukan pemerintahan di Aceh.
Amendemen UU Pemerintahan Aceh dilakukan, menurut Zaini, lantaran tidak sesuai dengan nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani di Helsinki. Cuma, dia tidak menyebutkan bagian mana yang tidak sesuai.
Jika boleh mengikuti alur pikiran Zaini, bukankah dengan terpilihnya Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sebagai pemimpin Aceh, ketentuan soal pembentukan pemerintahan itu sudah terpenuhi?
Inilah argumentasi dia. Pembentuk-an pemerintahan di Aceh, katanya, tidak secara otomatis selesai lantaran pilkada. Kelengkapan pemerintah di Aceh, menurut dia, bukan cuma para eksekutifnya, tetapi juga para legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dan anggota legislatif daerah itu baru dipilih lagi pada 2009. Karena itu, dia mendesak agar pembentukan partai lokal segera dibuka.
Tampaknya desakan mempercepat pembentukan partai lokal itu adalah bagian dari persiapan menuju Pemilih-an Umum 2009. Seperti kita ketahui, walau kursi gubernur Irwandi kokoh disokong suara terbanyak, dia tidak punya kaki sama sekali di DPRD Nanggroe Aceh Darussalam.
Padahal, terdapat sekitar 90 peraturan daerah yang harus disepakati di tingkat legislatif. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah juga harus dibahas lewat lembaga itu. Bisa dibayangkan repotnya Irwandi jika semua partai kompak mengunci semua programnya.
Nah, para petinggi GAM berharap bisa punya kaki di badan legislatif lewat Pemilihan Umum 2009. Itu sebabnya, mereka mendesak agar pendaftaran partai lokal segera dibuka. Komite peralihan Aceh (KPA) yang kini di-pimpin Sofyan Dawood, bekas juru bicara GAM, bakal menjelma menjadi partai politik lokal. Mereka amat yakin partai itu akan merebut banyak kursi di badan legislatif daerah.
Irwandi sendiri seperti menyokong penuh gagasan mengamendemen Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Dia bahkan bakal membentuk tim khusus guna melakukan evaluasinya.
Upaya ini tampaknya bisa menerbitkan sengketa terbuka dengan Jakarta, sebab undang-undang itu dibahas dan diketukkan palunya oleh DPR RI.
Para politisi di Senayan mengecam keras upaya revisi itu. ”Mereka tidak akan tunduk kepada Jakarta, melain-kan kepada pemimpin GAM di Swe-dia,” kata Permadi, anggota Komisi Pertahanan DPR.
Wenseslaus Manggut, Titits Setyaningtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo