Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGAN-angan Chairul Hadi buyar seketika. Lelaki 51 tahun itu langsung mengubur mimpinya punya rumah susun di kawasan Pulogebang, Jakarta Timur, ketika tahu cicilan pembelian bangunan itu mencapai Rp 1 juta per bulan selama 15 tahun. ”Berat, Mas,” katanya kepada Tempo pekan lalu. Maklum, penghasilan karyawan perusahaan swasta ini cuma Rp 2 juta sebulan.
Pembangunan rumah susun Pulogebang merupakan bagian dari rencana besar pemerintah membangun seribu menara rumah susun untuk kelas menengah bawah dalam lima tahun mendatang. Program ini ditegakkan lewat Keputusan Presiden No. 22/2006, pada 9 Desember lalu. Di situ disebutkan, setiap kota berpenduduk minimal 1,5 juta jiwa wajib membangun rumah susun.
Hunian vertikal dipilih lantaran ketersediaan lahan, terutama di perkotaan, makin terbatas. Padahal kebutuhan hunian meningkat dari tahun ke tahun. Kekurangan pasokan sampai saat ini, kata Menteri Negara Perumahan Rakyat Yusuf Asy’ari, mencapai enam juta unit.
Per tahunnya, permintaan rumah tangga baru sebanyak 800 ribu unit. Sedangkan kemampuan penyediaan rumah hanya 100-150 ribu. ”Jadi, setiap tahun selalu ada tumpukan permintaan,” kata Yusuf.
Di perkotaan, pembangunan rumah susun dinilai sebagai solusi yang paling mungkin ditempuh pemerintah. Selain irit lahan, hunian ini bisa dibangun di tengah kota, sehingga kaum pekerja bisa lebih menghemat ongkos menuju tempat kerjanya.
Untuk itu, Pulogebang ditunjuk sebagai proyek percontohan rumah susun bersama sejumlah lokasi lainnya di Jabodetabek, seperti Pulogadung, Marunda, Kali Malang, dan kawasan industri Jababeka, Cikarang. ”Pulogebang paling siap,” kata Yusuf.
Bertempat di tanah milik Perumnas, rumah susun ini sudah siap dibangun, meski sebagian lahannya masih berupa sawah. Lokasinya sekitar satu kilometer dari kantor Wali Kota Jakarta Timur.
Semula program seribu tower dicanangkan di area milik Departemen Pertahanan di Berlan, Jakarta Timur, dan lahan milik PT Kereta Api di Manggarai, Jakarta Selatan. Tapi batal. ”Pihak Departemen Pertahanan minta kawasan Berlan ditunda,” kata Menteri Yusuf. Alasannya, ”Masih perlu dilakukan sosialisasi.”
Adapun PT Kereta Api sudah memiliki program sendiri. ”Mereka akan membangun Menteng Railway Business City di sana,” kata Asisten Deputi Menteri Perumahan Rakyat Bidang Formal, Paul Marpaung. Karena itulah, Pulogebang yang dipilih untuk pencanangan program ini, Januari mendatang.
Kelak, di lahan 7,2 hektare itu bakal dibangun dua tower setinggi 20 lantai. Tiap lantai meliputi 30 unit, tiap unit seluas 30-36 meter persegi. Total per tower mencapai 600 unit. Fondasi bangunannya terbuat dari beton, berdinding batako. Di dalamnya terdapat dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruang tamu.
Persoalannya, biaya pembangunan hunian jangkung itu ternyata cukup mahal. Untuk satu tower dengan 100 unit saja, butuh biaya Rp 60 miliar, atau Rp 60 juta per unit. Itu pun belum menghitung biaya pajak, perizinan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta biaya tetek-bengek lainnya.
Karena itulah, kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia, Lukman Purnomosidi, program rumah susun yang semula ditujukan untuk karyawan berpenghasilan Rp 1,5-3 juta, seperti Chairul Hadi, diubah targetnya menjadi untuk kalangan pekerja berpenghasilan Rp 2,5- 4 juta.
Agar tak rugi, harga jual pun dipatok Rp 100-150 juta per unit. Dengan patokan itu, cicilan pembelian mencapai Rp 1 juta per bulan untuk jangka waktu 15 tahun. Pengembang, kata Lukman, bisa saja menurunkan harga jual asalkan mendapat insentif dari pemerintah. ”Antara lain pembebasan pajak dan BPHTB,” ujarnya.
Persoalan lain yang harus dijawab pemerintah adalah ketersediaan lahan. Sebab, lahan kosong di Jakarta kebanyakan sudah ada pemiliknya. Kalaupun dimiliki BUMN, tak semuanya bisa dialokasikan untuk program seribu tower. Contohnya, ya PT Kereta Api tadi. ”Di antara lembaga pemerintah seharusnya ada koordinasi yang baik,” kata Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch.
Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo