Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terletak di sebuah gang kecil di jalan raya Soko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dua rumah tanpa pagar itu tampak sebagai rumah biasa. Yang tak biasa adalah para tamu di rumah ini. Hampir setiap hari ada saja yang datang untuk memberikan order, mulai dari kalender, buku, hingga stiker kampanye pemilihan kepala daerah. ”Yang paling banyak dari pesantren,” kata Ahmad Fanani.
Order memang tak pernah sepi bagi pria yang kini berusia 59 tahun itu. Sejak mendirikan percetakan sendiri, usaha Fanani terus berkembang. Saat ini, dengan mempekerjakan 22 karyawan tetap dan 15 karyawan lepas, penjualannya sudah Rp 700 juta setahun.
Awalnya, Fanani hanyalah seorang guru agama di madrasah dan sekolah menengah atas di Mojokerto. Selain itu, Fanani juga menulis buku agama Islam untuk siswa madrasah ibtidaiyah.
Bermula dari situlah Fanani juga dipercaya sebagai makelar pengadaan kitab dan kalender di lingkungan pondok pesantren. ”Hasilnya lumayan besar,” kata Fanani. Setidaknya, Fanani dan Komariah, istrinya, bisa naik haji dari usaha ini. ”Waktu itu ongkos haji cuma Rp 600 ribu,” katanya.
Tapi bukan Fanani kalau cepat puas. Pada l979 dia memberanikan diri mendirikan percetakan sendiri dengan nama CV Fajar. Tekad berwirusaha itu muncul berkat dorongan buruh potong kertas pelanggannya di Surabaya. ”Saya disindir, naik haji bisa kok beli mesin cetak tidak bisa,” ujar Fanani mengenang.
Dengan modal Rp 1 juta, akhirnya pemenang Danamon Award ini bisa membeli mesin bekas merek Toko. Sejak itu, dia mencetak sendiri order yang datang. Usahanya kian maju setelah dia join dengan seorang sales yang biasa mendapat order kalender dan kitab di lingkungan pesantren di Jombang. Karena pesanan terus meningkat, pada l988 Fanani membeli mesin baru seharga Rp 80 juta.
Toh, semua itu tak membuat dia kemaruk. Fanani, misalnya, tetap memakai jasa para sales lepas untuk memasarkan produknya.
Fanani juga tak berniat menguasai bisnis cetak itu sendirian. Yang dilakukan Fanani pada saat bisnisnya mencapai puncaknya pada 1994 terbilang aneh: dia membantu pekerjanya membuka usaha sendiri. Bahkan, beberapa dari mereka kini menjadi pesaingnya.
Saat itu, ada empat kelompok karya-wan yang disiapkan menjadi pengusaha. Mereka adalah yang kuat jiwa kewiraswastaannya dan sudah menguasai seluk-beluk bisnis percetakan.
Prinsip jiwa kewiraswastaan yang ditanamkan Fanani adalah kerja keras, jujur, dan bermanfaat bagi orang lain. ”Percuma pintar kalau tidak bermanfaat bagi orang lain,” kata sarjana mudanya dari Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini.
Kini ada delapan kelompok pengusaha sukses hasil binaannya. Mereka antara lain Agus Suwarna-Mustofa, pemilik CV Al Fajar yang juga berlokasi di Desa Kedungmaling, Kecamatan Soko.
Seperti Fanani, bisnis mereka juga moncer dengan omzet penjualan Rp 1 miliar per tahunnya, lebih besar ketimbang Fanani sendiri. Padahal keduanya dulunya hanya buruh harian di rumah Fanani. Selain punya rumah, mereka juga bisa membeli Kijang Innova plus pikap untuk angkutan.
Kisah sukses pasangan itu diikuti trio Muhamad Slamet, Abdul Somad, dan Arifur Rohman, pemilik CV Putra Fajar, yang omzetnya sudah Rp 700 juta. Ada yang lebih hebat. Penjualan CV Mojopahit sudah Rp 500 juta per tahun, meskipun usaha yang didirikan oleh, Wahyudi, dan Zuani ini baru berumur setahun.
Mengalirnya rezeki itu tak membuat mereka saling jegal atau perang harga. Fanani’s Boys ini justru mempunyai rasa kekeluargaan yang kuat. Mereka saling menolong jika kekurangan atau kelebihan order.
Fanani sendiri kini sudah setengah pensiun. Sejak enam tahun lalu, jabatan direktur di CV Fajar diserahkan ke Ahmad Dawawin, salah satu karyawan-nya. Anak bungsunya Hasyim Muhamad Abdul Haq menjadi wakil direktur. Tapi Fanani setiap hari masih ke percetakan. Tugasnya beralih menjadi pengawas. ”Lha, kalau pensiun, saya makan apa?” kata Fanani berseloroh.
Di sela-sela waktu luangnya, Fanani kini aktif mendampingi anak pertama-nya, Dudung Jamal, mengelola lembaga pendidikan. Sebidang tanah di Kedungmaling telah dibeli Fanani. Di tanah ini, Fanani membangun taman kanak-kanak dan madrasah ibtidaiyah. ”Saya berharap siswa di sini berguna bagi orang lain,” ujarnya.
Zed Abidien (Mojokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo